Kontroversi Kaum Paderi: Jika Bukan Karena Tuanku Nan Renceh

Sumber: H.J.J.L. Ridder de Stuers, De vestiging en uitbreiding den Nederlanders ter Westkust van Sumatra, Deel 1, Amsterdam: P.N. van Kampen, 1849: menghadap hlm. 92
Oleh Suryadi
Masyarakat Minangkabau masa lampau pernah merasakan pengalaman pahit akibat radikalisme agama. Di awal abad ke-19, demikian catatan sejarah, dekadensi moral masyarakat Minang sudah tahap lampu merah. Golongan ulama kemudian melancarkan gerakan kembali ke syariat, membasmi bid’ah dan khurafat. Mereka melakukannya dengan pendekatan persuasif melalui dakwah dan pengajian. Namun, kemudian muncullah seorang yang radikal dan militan di antara mereka: ia bersama pengikutnya memilih jalan kekerasan. Akibatnya, pertumpahan darah antara sesama orang Minangkabau tak terhindarkan, yang menorehkan lembaran hitam dalam sejarah Minangkabau. Siapa lagi ulama yang radikal itu kalau bukan Tuanku Nan Renceh.
Ingat nama Tuanku Nan Renceh, ingat pada Perang Paderi. Dialah panglima Paderi yang paling militan dan ditakuti. Sosoknya tidak sejelas namanya yang sudah begitu sering disebut dalam buku-buku sejarah. Tak banyak data historis mengenai dirinya. Hanya ada catatan-catatan fragmentris yang terserak di sana-sini. Tulisan ini mencoba merekonstruksi sosok Tuanku Nan Renceh berdasarkan berbagai catatan tersebut, baik yang berasal dari sumber asing (Belanda) maupun dari sumber pribumi sendiri.
Tuanku Nan Renceh berasal dari Kamang Ilia, Luhak Agam. Kurang jelas kapan persisnya ia dilahirkan, tapi pasti dalam paruh kedua tahun 1870-an. Tak ada catatan historis mengenai masa mudanya. Namun, sedikit banyak dapat direkonstruksi melalui satu sumber pribumi, yaitu Surat Keterangan Syekh Jalaluddin (SKSJ) karangan Fakih Saghir, salah seorang ulama Paderi dari golongan moderat (lihat transliterasi SKSJ oleh E. Ulrich Kratz dan Adriyetti Amir: Surat Keterangan Syeikh Jalaluddin Karangan Fakih Saghir.
Menurut SKSJ (yang ditulis sebelum tahun 1829), di masa remaja Tuanku Nan Renceh, di darek (pedalaman Minangkabau) muncul seorang lama berpengaruh, yaitu Tuanku
Tahun-tahun terakhir abad ke-18 Tuanku Nan Renceh sudah aktif berdakwah bersama sahabatnya, Fakih Saghir. Mereka “berhimpun...dalam masjid
Tampaknya bintang Tuanku Nan Renceh cepat bersinar, dan itu karena satu hal: sikapnya yang sangat radikal dan militan. Ia segera melibatkan diri sepenuh hati dan jiwa ke dalam Gerakan Paderi. Ini mungkin karena berita tentang Negeri Mekah yang didengarnya dari tiga haji yang baru pulang dari
Di awal tahun 1820-an Tuanku Nan Renceh sudah menjadi salah seorang komandan perang Kaum Paderi yang menguasai lima nagari, yaitu Kamang, Bukik, Salo, Magek, dan Kota Baru. Ia dan pasukannya sangat ditakuti: bila mereka menyerang suatu nagari dapat dipastikan bahwa nagari itu menderita. Tarup (lumbung padi) dan rumah dibakar, penduduk yang melawan dibunuh atau ditawan. Fakih Saghir dalam SKSJ menggambarkan aksi bengis pasukan Tuanku Nan Renceh ketika menyerang nagari Tilatang: “Maka sampailah habis nagari Tilatang dan banyaklah [orang] berpindah dalam nagari; dan sukar menghinggakan ribu laksa rampasan, dan orang terbunuh dan tertawan lalu kepada terjual, dan [wanita] dijadikannya gundi’nya [gundiknya]”. Yang melakukan perbuatan kejam itu kebanyakan pengikut Tuanku Nan Renceh dari Salo, Magek, dan Kota Baru, sehingga pihak lawan menghina mereka dengan istilah “kerbau yang tiga kandang” (Kratz & Amir: 37), sebab perbuatan mereka dianggap sudah sama dengan perilaku binatang.
Fakih Saghir menyebutkan bahwa Tuanku Nan Renceh “kecil tubuhnya” (Kratz & Amir: 24), yang memang bersesuaian dengan namanya (kata Minang renceh berarti kecil, lincah, dan bersemangat). H.A. Steijn Parvé dalam “De secte der Padaries in de Padangsche Bovenlanden” (Indisch Magazijn [selanjutnya IM]1, 1e Twaalftal, No.4:21-40) menyebutkan bahwa Tuanku Nan Renceh bertubuh kecil, kurus, bertabiat beringasan, dan memiliki sinar mata yang berapi-api—cerminan dari sifat radikal dan keras hatinya. Pakaiannya mungkin seperti pakaian kebanyakan pengikut Paderi, seperti yang dideskripsikan oleh P.J. Veth dalam “De Geschiedenis van Sumatra,” (De Gids 10e Jrg., Januarij: 1850, hal. 21), Thomas Stamford Raffles dalam Memoir of of the Life and the Public Services of Sir Thomas Stamford Raffles editan Lady Sofia Raffles (Singapore: Oxford University Press, 1991 [reprinted ed.]: 349-50), atau sketsa visual oleh [E.] Francis dalam “Korte Beschrijving van het Nederlandsch Grondgebied ter Westkust
Tak ada riwayat apapun tentang keluarga Tuanku Nan Renceh. Nama kecilnya juga tidak diketahui. Hanya ada sedikit kisah tragis bahwa ia memulai jihadnya dengan cara sadis: ia menyuruh bunuh bibinya sendiri—menurut Mangaraja Onggang Parlindungan (op cit.:134) ibu Tuanku Nan Renceh sendiri yang bergelar “orang kaya” (urang kayo)—yang tidak mau mengikuti perintahnya berhenti makan sirih, yang dianggap kebiasaan yang tidak sesuai dengan Islam. Mayatnya tidak dikuburkan tapi dibuang ke hutan karena dianggap kafir (lihat: Muhamad Radjab, Perang Paderi di Sumatera Barat (1803-1838), Djakarta: Perpustakaan Perguruan Kementerian P.P. dan K., 1954:18-19; Christine Dobbin, Kebangkitan Islam dan Ekonomi Petani yang Sedang Berubah:
Naskah SKSJ mencatat bahwa akhirnya Tuanku Nan Renceh memusuhi Tuanku Nan Tuo yang tetap memegang sikap moderat dalam memperjuangan cita-cita Gerakan Paderi. Tuanku Nan Tuo mengecam cara-cara di luar peri kemanusiaan yang dilakukan oleh Tuanku Nan Renceh dan pengikutnya terhadap penduduk nagari-nagari yang mereka taklukkan. Tuanku Nan Renceh menghina ulama kharismatik yang dituakan di darek itu dengan menyebutnya sebagai “rahib tua” dan Fakih Saghir, sahabat dan bekas teman seperguruannya, digelarinya “Raja Kafir” dan “Raja Yazid” (Kratz & Amir: 41).
Perpecahan di kalangan pemimpin Paderi tak terelakkan: Tuanku Nan Renceh membentuk kelompok sendiri yang terkenal dengan sebutan “Harimau Nan Salapan” yang militan, yaitu Tuanku di Kubu Sanang, Tuanku di Ladang Lawas, Tuanku di Padang Luar, Tuanku di Galuang, Tuanku di Kota Hambalau, Tuanku di Lubuk Aur, Tuanku di Bansa dan Tuanku Nan Renceh sendiri (Kratz & Amir: 39). Mereka memisahkan diri dari Tuanku Nan Tuo dan mencari patron (imam besar) yang baru, yaitu Tuanku di Mansiang. Tuanku Nan Renceh dan pengikutnya pun beberapa kali berusaha membunuh Tuanku Nan Tuo. Ia menganggap mantan gurunya itu menghalang-halangi tujuannya dan terus-menerus mengeritik jalan radikal yang ditempuhnya bersama pengikutnya. Namun, seperti diceritakan Fakih Saghir dalam SKSJ, upaya pembunuhan itu gagal.
Seperti diuraikan oleh seorang penulis berinisial v.D.H. dalam artikelnya “Oorsprong der Padaries (Eene secte op de Westkust van
Tuanku Nan Renceh dan pengikutnya menjadi momok besar bagi masyarakat Minang waktu itu, khususnya Kaum Adat. Semakin meluasnya pengaruh faksi radikal Kaum Paderi yang dibidani oleh Tuanku Nan Renceh telah mendorong Kaum Adat minta bantuan kepada Belanda. Pada 21 Februari 1821 mereka resmi menyerahkan wilayah darek kepada Kompeni dalam perjanjian yang ditandatangani di Padang, sebagai kompensasi kepada Belanda yang bersedia membantu melawan kaum Paderi. Ikut "mengundang" sisa keluarga Dinasti Pagaruyung di bawah pimpinan Sultan Muningsyah yang selamat dari pembunuhan oleh pasukan Paderi yang dipimpin Tuanku Pasaman di Koto Tangah, dekat Batu Sangkar, pada 1815.
Namun saya tidak menemukan data sejarah yang menunjukkan bahwa Tuanku Nan Renceh pernah berhadapan langsung dengan Belanda di
[Vigelius] dalam “Fragmenten eener beschrijving van
Tahun-tahun berikutnya Benteng Bonjol dikepung Belanda, hingga akhirnya jatuh pada 17 Agustus 1837. Sumber-sumber pertama (bronnen) yang mencatat pengepungan itu pada tahun-tahun terakhir sebelum Bonjol jatuh dapat dibaca dalam karya Gerke Teitler, Het einde Padri Oorlog: het beleg en de vermeestering van Bondjol 1834-1837: een bronnenpublicatie [Akhir Perang Paderi. Pengepungan dan Perampasan Bonjol 1834-1837; sebuah publikasi sumber].
Sulit untuk dibantah bahwa sepak terjang golongan radikal dalam Kaum Paderi yang dibidani Tuanku Nan Renceh telah semakin memperkuat keinginan Kaum Adat untuk minta bantuan kepada Belanda, karena mereka betul-betul merasa dihinakan oleh orang-orang yang masih satu sukubangsa dengan mereka sendiri.
Tuanku Nan Renceh adalah sosok kontroversial: seorang penganjur agama Islam tapi dalam melakukan misinya sudah melewati dogma-dogma Islam sendiri. Tangannya terlalu banyak berlumur darah sudara-saudaranya sendiri sesama orang Minang. Masih untung kekeliruan ini akhirnya disadari oleh Tuanku Imam Bonjol, ulama Paderi penerus Tuanku Nan Renceh (lihat Sjafnir Aboe Nain, op cit., hal. 39, Naskah). Jika Tuanku Nan Renceh dan pengikutnya tidak bersikap radikal, mungkin jalan sejarah Minangkabau (Perang Paderi) akan jadi lain.
Masa lalu tak akan kembali. Tapi “jangan sekali-kali melupakan sejarah”, kata almarhum Presiden Sukarno. Untuk konteks kekinian masyarakat kita, kisah Tuanku Nan Renceh patut menjadi cermin sejarah bagi generasi Minangkabau dan generasi Indonesia pada umumnya, baik kini maupun masa depan, terutama bagi mereka yang tangannya menggenggam kekuasaan, yang tak sadar apa akibatnya jika dengan sikap radikal dan taklid menjadikan agama sebagai komoditas politik.
----------------------
Suryadi, dosen dan peneliti pada Talen en Culturen van Zuidoost-Azië en Oceanië, Universiteit Leiden, Belanda (homepage: www.indonesisch.leidenuniv.nl; s.suryadi@let.leidenuniv.nl)
Print This Page
11 Kommentare:
artikel nya menarik bagi awak selaku urang minang...
ada info lain tentang sejarah minang kabau?
Assalamualaikum Saudara Penulis,
Saya berasal dari Malaysia. Arwah bapa saya orang Minangkabau dari kamang Bukit Tinggi telah merantau ke Malaysia kerana tidak mahu menjadi 'pemerintah' katanya. Pernah saya dibawa balik nagari ke Kamang dan di bawa menziarahi kubur Tuanku Nan Renceh.Dari kecil nama itu telah disebut kepada saya dan diceritakan bagaimana beliau meninggal dunia.
Menurut arwah bapa saya, Tuanku Nan Renceh ada pertalian darah dengannya, 'datuk saudara' atau 'saudara' saya kurang ingat. tapi cerita kematiannya saya ingat sekali.
Pada masa hidupnya Tuanku Nan Renceh tidak dapat didekati dan dijatuhi oleh sesiapa pun dari kalangan musuh beliau. Musuh beliau telah berpakat mencari jalan dan mendatangi beliau beramai-ramai dengan memegang sebatang galah panjang setiap seorang. Mereka mengelilingi beliau dan menggunakan galah panjang tersebut untuk menjatuhkan Tuanku Nan Rencah. Apabila sudah jatuh, mereka beramai-ramai menoreh kulit beliau dengan pisau cukur (zaman dahulu pisau cukur sekeping dan amat tajam) hingga beliau meninggal dunia, samada on the spot atau beberapa ketika kemudian. Melihat semangat bapa saya bercerita, Tuanku Nan Renceh adalah seorang hero. Wallahua'lam.
Radenajengkartina 3 Disember 2008
saya seperti membaca kisah Tuanku nan renceh yang mirip betul dengan kisah syekh siti jenar di jawa, cuman letak perbedaannya, bila tuanku nan renceh memperjuangkan paham ekstrimis wahabi, sedang syekh siti Jenar mengajarkan paham sufisme al-halaj...
apalagi setelah membaca komentar Raden ajeng kartina diatas..
bigung saya jadinya.. mohon pencerahannya, wassalam
Raden Ajeng Kartinya mendengar versi yang berbeda tentang kematian Tuanku nan Renceh. Namun, menurut sumber yang saya kutip dalam artikel ini, Tuanku nan Renceh meninggal karena sakit, bukan karena berperang dengan Belanda
Salam,
Suryadi
RIWAYAT TUANKU NAN RENCEH MASIH DILIPUTI KEGELAPAN
Nama Tuanku Nan Renceh sudah tidak asing lagi di telinga banyak orang. Para peneliti sejarah gerakan pemurnian Islam di Minangkabau pun pasti sangat hafal betul nama yang satu ini. Namun seperti dinukil Suryadi, sosok Nan Renceh tidak sejelas namanya yang sudah begitu sering disebut dalam buku-buku sejarah.
Putra Kamang bertubuh kecil ini diyakini pula sebagai salah seorang tokoh proklamator dan lokomotif utama Gerakan Paderi pada awal abad ke-19 silam. Selain militan dan karenanya pantas ditakuti, fragmen-fragmen kehidupan bekas murid Tuanku Nan Tuo Ampek Angkek ini pun penuh dengan aneka kontroversi. Meski banyak cap tak elok dilekatkan pada dirinya, hingga setakat ini kisah hidup Nan Renceh masih diliputi sejuta misteri yang perlu disigi dan digali, direkonstruksi serta diulangkaji.
Sebagai dasar pijakan untuk menyusun mozaik sejarah hidup lebih utuh dari sosok tokoh pemberani yang tak jarang dibenci ini, otobiografi karangan Fakih Saghir, anak Tuanku Nan Tuo sekaligus teman seperguruan Tuanku Nan Renceh di zaman-zaman awal pergerakan itu layak dijadikan referensi pokok.
Karangan Fakih Saghir yang disusunrangkai dari situs Malay Concordance Project itu dapat dibaca di: http://tuankunanrenceh.blogspot.com
tulisan ini perlu di kritis lagi,,karna sumbernya kebnayakan dari pihak yg berseberangan dg tuanku nan renceh,,(jagan sampai tulisan ini jadi fitnah!!!karna setiap fitnah akan dipertanggung jawabkan di akhirat)
artikel ini perlu dikritiki secara tajam!!!!
Kami di kecamatan tilatang kamang agam,tempat tuanku nan renceh lahir dan dimakamkan menganggap beliau pahlawan,sudah jadi cerita turun temurun dari nenek moyang kami,pembela bagi kaum yang lemah,Kami menganggap beliau pahlawan jauh sebelum pemerintah mengakui bahkan jauh sebelum indonesia merdeka,silahkan datang kekamang mudik untuk tahu siapa sebenarnya tuanku nan renceh.
Salam! saya ucapkan,saya drp m'sia lg tepat d negeri kelantan,sedang mencari biodata saorang tokh drp Kamang nama beliua ialah Ulud Bagindo Chatib,telah banyak laman saya cari tapi tak berhasil,ada sasiapa bisa membantu saya. oo!!! lupa utk perkenalkan diri saya !!Harithkamaruljamal@yahoo.com!!! TQ
Saya jadi teringat judul satu artikel: Andaikan Hitler Jadi Diterima di Sekolah Seni Lukis di Wiena Dulu, Perang Dunia II tidak akan terjadi.
ya .. kalau mensyiarkan ajaran agama dg cara memaksa apalagi membunuh, jelas salah dan bukan ajaran Rasulullah. Rasulullah SAW berperang karena diperangi oleh musuh-musuhnya... make it simple!
jika ada saksi dan atau bukti yang menunjukkan cara syiarnya seperti itu, berarti bukan pahlawan
Post a Comment