Bab 7: Tarekat Syattariyyah di Sumatra Barat: Teks dan Konteks
7.1. Penjelasan Umum
Seperti telah dikemukakan pada Bab 2, tarekat Sya‹‹Œriyyah telah mengalami, setidaknya, empat fase sejak awal pertumbuhannya di Iran dan Turki Usmani dengan nama tarekat ‘Isyqiyyah dan Bis‹Œmiyyah, kemudian memulai konsolidasinya di India dengan nama Sya‹‹Œriyyah, sebelum kemudian merumuskan ajarannya secara lebih sistematis di Haramayn, dan mengangkat sejumlah khalifah yang berasal dari berbagai pelosok negeri, termasuk para khalifah dari Dunia Islam Melayu-Indonesia.
Dengan tersebarnya tarekat Sya‹‹Œriyyah tersebut ke wilayah lain di luar Haramayn, maka corak dan kecenderungan ajaran tarekat ini pun mulai memperlihatkan dinamikanya yang khas dan bersifat lokal, karena dipengaruhi oleh adat, tradisi dan budaya masing-masing tempat di mana tarekat tersebut berkembang.
Bab 7 ini utamanya diarahkan untuk melihat dinamika dan perkembangan tarekat Sya‹‹Œriyyah di Sumatra Barat dengan tetap mendasarkan pada data-data pokok dalam naskah-naskah Sya‹‹Œriyyah yang telah dikemukakan sebelumnya. Pembahasan atas data-data yang bersifat tekstual tersebut akan ditempatkan dalam konteks wacana keagamaan yang berkembang di Sumatra Barat. Selain itu, dalam bab ini juga akan dikemukakan berbagai ciri dan karakteristik tarekat Sya‹‹Œriyyah di Sumatra Barat, dengan berbagai ekspresinya yang bersifat lokal.
7.2. Tarekat Sya‹‹Œriyyah dalam Konteks
Wacana Keagamaan Islam di Sumatra Barat
Beberapa sarjana meyakini bahwa tarekat Sya‹‹Œriyyah bukan merupakan tarekat pertama yang masuk ke Sumatra Barat, karena sebelumnya telah ada tarekat Naqsybandiyyah, yang kemungkinan dibawa masuk ke wilayah ini pada paruh pertama abad ke-17 (Dobbin 1992: 146; Azra 1988: 27). Akan tetapi, Schrieke (1973: 28) mengisyaratkan bahwa tarekat Naqsybandiyyah baru masuk ke Sumatra Barat pada sekitar tahun 1850-an. Hal ini diamini oleh sarjana lain semisal Martin van Bruinessen (1996: 124), dan Karel A. Steenbrink (1984: 178).
Jika pendapat kedua di atas benar, maka tentu saja tarekat Sya‹‹Œriyyah jauh lebih dahulu hadir di Sumatra Barat, karena beberapa sumber lokal menyebutkan bahwa tarekat ini telah masuk ke Sumatra Barat pada akhir abad ke-17, ketika Syaikh Burhanuddin kembali dari Aceh setelah belajar dengan Abdurrauf al-Sinkili (lihat, antara lain, Amin 1993: 37).
Naskah-naskah Sya‹‹Œriyyah lokal bahkan cenderung menegaskan bahwa tarekat Sya‹‹Œriyyah merupakan jenis tarekat pertama yang masuk ke Sumatra Barat. Naskah Kitab Menerangkan Agama Islam di Minangkabau misalnya, menyebutkan bahwa Syaikh Burhanuddin membawa tarekat Sya‹‹Œriyyah ke wilayah ini pada tahun 1070 H/1659 M. Mulai saat itu, demikian naskah ini menjelaskan, corak Islam yang ada di Minangkabau hanya satu, yaitu:
“…agama Islam yang bermazhab Imam SyŒfi’¥ dan beri’tikad memakai iktikad ahl al-sunnah wa al-jamŒ’ah, dan dalam bertasawuf memakai tarekat Sya‹‹Œr¥…” (h. 73).
Tarekat Naqsybandiyyah sendiri disebutkan baru masuk sekitar 127 tahun kemudian. Jika perhitungannya dimulai dari tahun kedatangan Syaikh Burhanuddin di atas, maka berarti tarekat Naqsybandiyyah masuk ke Sumatra Barat pada sekitar tahun 1786 M. Dalam Kitab Menerangkan Agama Islam di Minangkabau tertulis:
“…maka seratus dua puluh tujuh tahun kemudian barulah datang tarekat naqsyabandi dalam bertasawuf yang zikir tarekatnya zikir qalbi dengan kalimat Allah Allah, yang dalam hati amalnya, ada murid bertawajjuh sesudah sembahyang magrib, dan bersuluk selama empat hari, yang dibawa oleh seorang ulama yang duduk mengajar di kampung Cangking Koto Candung Ampat Angkat, yang dimasyhurkan orang Tuan Syaikh Cangking (Syaikh Koto Tuo), bilangan bulannya bernama bilangan lima yang dua hari dahulunya dari bilangan taqwim yang dibawa Syaikh Burhanuddin”. (h. 73)
Terlepas dari tepat atau tidaknya angka tahun yang disebutkan, asumsi bahwa tarekat Sya‹‹Œriyyah masuk terlebih dahulu ke Sumatra Barat dibanding tarekat Naqsybandiyyah sesungguhnya cukup masuk akal, terutama jika memperhatikan sumber-sumber lokal yang ditulis oleh kalangan ulama Sya‹‹Œriyyah di Sumatra Barat, yang cenderung memperlihatkan sikap sebagai pihak yang “bertahan” terhadap berbagai kecenderungan faham dan ritual tarekat Naqsybandiyyah yang sedikit banyak dianggap berbeda dengan faham dan ritualnya, dan oleh karenanya dianggap mengancam pengaruh atau kharisma para ulama Sya‹‹Œriyyah tersebut di kalangan masyarakat.
Seperti dikemukakan Schrieke (1973: 25), pada awal abad ke-19, ketegangan antara tarekat Sya‹‹Œriyyah dan tarekat Naqsybandiyyah memang tak terhindarkan. Bahkan, pertentangan antara dua kelompok tarekat tersebut pada gilirannya menjadi bagian dari faktor penyebab munculnya konflik sosial di Sumatra Barat, di samping juga faktor lainnya seperti konflik antara ulama tua dan ulama muda. Berkaitan dengan konflik antara tarekat Sya‹‹Œriyyah dengan tarekat Naqsybandiyyah ini, Dobbin (1992: 148) misalnya mencatat terjadinya pertentangan sengit yang menyebabkan permusuhan terbuka antara pusat Sya‹‹Œriyyah di Ulakan dengan Taram dan Talawi yang berorientasi pada tarekat Naqsybandiyyah.
Tetapi, sejauh menyangkut ketegangan tersebut, tampaknya yang menjadi pangkal utamanya bukan semata-mata persoalan perbedaan faham dan ajaran, melainkan juga dipengaruhi oleh masalah rebutan pengaruh dan kehormatan (Dobbin 1992: 148). Beberapa sumber misalnya menginformasikan bahwa Syaikh Jalaluddin, seorang Syaikh tarekat Naqsybandiyyah paling berpengaruh dari Cangking telah berhasil menarik perhatian sejumlah pengikut tarekat Sya‹‹Œriyyah di Ulakan untuk berpindah menjadi pengikut tarekat Naqsybandiyyah. Hal ini tentu saja mengakibatkan terjadinya konflik terbuka antara guru-guru tarekat Naqsybandiyyah dengan guru-guru dari tarekat Sya‹‹Œriyyah (Bruinessen 1996: 125).
Tentu saja, persoalan yang menyangkut perbedaan faham dan ajaran juga menjadi salah satu pemicu terjadinya ketegangan tersebut. Ini pun dengan catatan bahwa, sejauh data yang dijumpai, hal yang dipertentangkan itu bukan menyangkut doktrin-doktrin tasawuf itu sendiri, melainkan lebih berorientasi pada aspek syariat.
Para pengikut tarekat Naqsybandiyyah memang dikabarkan tidak menyukai ajaran martabat tujuh, sebuah ajaran tentang teori penciptaan alam yang bersumber dari kitab al-Tuúfah al-Mursalah ilŒ R´ú al-Nab¥ karangan al-BurhŒnp´r¥. Ajaran ini dikembangkan oleh Abdurrauf al-Sinkili, sebagai khalifah tarekat Sya‹‹Œriyyah, dalam berbagai karangannya, serta dielaborasi untuk menjelaskan dan menginterpretasi doktrin waúdat al-wuj´d yang pernah menghebohkan di Dunia Melayu-Indonesia itu.
Persoalannya, penting dicatat bahwa dalam konteks Sumatra Barat, ajaran waúdat al-wuj´d itu sendiri ternyata tidak diteruskan dan dikembangkan oleh para pengikutnya, mereka bahkan melucuti ajaran tersebut dari keseluruhan ajaran tarekat Sya‹‹Œriyyah dengan alasan bertentangan dengan prinsip-prinsip syariat (lihat Kitab Menerangkan, h. 70), sehingga, sejauh berkaitan dengan ajaran waúdat al-wuj´d ini, corak tarekat Sya‹‹Œriyyah di Sumatra Barat menjadi relatif berbeda dengan corak tarekat Sya‹‹Œriyyah yang dikembangkan, misalnya, oleh al-Sinkili di Aceh (Dobbin 1992: 144), kendati dalam beberapa hal lain, seperti menyangkut ritual zikir atau penekanan pada aspek syariat, tidak ada perbedaan yang terlalu tajam di antara keduanya.
Di antara persoalan yang sering menjadi arena perdebatan antara tarekat Naqsybandiyyah dengan Sya‹‹Œriyyah adalah menyangkut penetapan awal dan akhir bulan puasa Ramadan. Schrieke misalnya melaporkan bahwa selama bertahun-tahun, di sekitar Padang Panjang selalu terjadi pertentangan sengit antara Sya‹‹Œriyyah dan Naqsybandiyyah menyangkut persoalan tersebut. Demikian halnya di Pariaman, hingga sekarang masih terjadi perbedaan pendapat antara penganut tarekat Sya‹‹Œriyyah di Ulakan dengan penganut Naqsybandiyyah di Cangking mengenai awal dan akhir bulan puasa. Biasanya, para penganut Sya‹‹Œriyyah merayakan puasa Ramadan atau atau dua hari kemudian setelah para penganut tarekat Naqsybandiyyah merayakannya, sehingga karenanya mereka mendapatkan julukan “orang puasa kemudian”, sementara tarekat Naqsybandiyyah disebut orang sebagai “orang puasa dahulu”.[1] Hal ini, persis seperti apa yang digambarkan dalam kutipan di atas tentang tarekat Naqsybandiyyah, yakni: “…bilangan bulannya bernama bilangan lima yang dua hari dahulunya dari bilangan taqwim yang dibawa Syaikh Burhanuddin…”.
Akan tetapi, penting juga dicatat bahwa konflik lebih tajam yang melibatkan para pengikut tarekat Sya‹‹Œriyyah di Sumatra Barat ini sesungguhnya terjadi ketika pada tahun 1804, tiga Haji putra Minangkabau kembali dari Tanah Suci Makkah setelah menuntut ilmu selama beberapa tahun. Ketiga Haji tersebut adalah Haji Miskin dari Pandai Sikat Padang Panjang, Haji Abdurrahman dari Piyobang Payakumbuh, dan Haji Sumanik dari Batusangkar. Tampaknya, pemikiran keagamaan ketiga Haji tersebut banyak dipengaruhi oleh gagasan pembaharuan kaum Wahabi di Makkah, yang diajarkan oleh Muúammad ibn ‘Abd al-WahhŒb (1115-1206 H/1703-1792 M), seorang ulama asal Nejd di Arab Timur. Pandangan-pandangan Muúammad ibn ‘Abd al-WahhŒb ini banyak yang sejalan dengan pandangan-pandangan keagamaan seorang ulama pembaharu sebelumnya, yakni Taq¥ al-D¥n Ibn Taymiyyah (661-728 H/1263-1328 M), yang mengkampanyekan agar, dalam beragama, umat Islam kembali kepada al-Quran dan mencontoh Nabi.[2]
Pada awalnya, kaum Wahabi di Makkah semata-mata menyerukan umat Islam untuk kembali ke ajaran Islam yang murni, tidak bercampur bid’ah, khurafat, dan takhayul. Tetapi dalam perkembangan berikutnya, seruan itu berubah menjadi gerakan yang cenderung menggunakan tindakan-tindakan radikal, yang dengan tegas membedakan antara orang yang beriman dengan yang tidak beriman, serta menganjurkan perang suci (jihad) terhadap orang-orang yang tidak mau mengikuti seruannya (Rahman 1997: 286-294).
Dalam gerakan dakwahnya, kaum Wahabi berangkat dari satu asumsi bahwa sebagian kalangan umat Islam telah melakukan dan mengembangkan praktek-praktek keagamaan yang menyimpang dari ajaran-ajaran Islam, dan oleh karenanya harus ditumpas, dengan cara apapun. Di antara kelompok yang menjadi “sasaran dakwah” gerakan Wahabi adalah para penganut tasawuf dan tarekat, yang oleh kaum Wahabi dianggap telah berlebihan dalam menjalin hubungan dengan Tuhan. Oleh karenanya, mereka menolak tindakan pengeramatan terhadap kuburan para sufi yang dianggap sebagai orang suci. Selain itu, mereka juga melarang umat Islam untuk mengisap tembakau, melarang pemakaian kain sutera, melarang penggunaan tasbih dalam berzikir, dan lain-lain.
Gagasan-gagasan Wahabi seperti inilah yang kemudian dibawa oleh tiga Haji di atas, ke tanah airnya, Minangkabau. Mereka berpandangan bahwa di kalangan masyarakat Minangkabau, khususnya di kalangan para penganut tarekat Sya‹‹Œriyyah, banyak dilakukan praktek-praktek keagamaan yang bersifat bid’ah, khurafat, dan bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar Islam, sehingga karenanya harus “diluruskan”, atau bahkan diperangi dengan jalan kekerasan jika diperlukan.
Akan tetapi, dalam perjalanannya, gagasan-gagasan yang diusung oleh tiga Haji itu ternyata mendapat tantangan keras dari guru-guru tarekat Sya‹‹Œriyyah, sehingga tidak dapat berjalan mulus seperti yang diharapkan. Haji Miskin misalnya, sampai harus berpindah-pindah tempat tinggal dari satu kampung ke kampung lainnya, karena selalu dimusuhi oleh para penganut tarekat Sya‹‹Œriyyah yang belum bisa menerima faham pembaharuannya. Terakhir, Haji Miskin menyelamatkan diri ke Bukit Kamang, dan pada 1811 ia meneruskan gerakannya di Aie Tabik, di Luhak Lima Puluh Kota (Chatib & Erman 2002: 191).
Selain dalam konteks pertentangan dengan tarekat Naqsybandiyyah, khususnya dalam persoalan penetapan awal puasa Ramadhan, dalam konteks gerakan pembaharuan ini pula kiranya kita dapat menempatkan naskah RisŒlah M¥zŒn al-Qalb, naskah Kitab Menerangkan Agama Islam di Minangkabau, dan naskah KitŒb al-Taqw¥m wa al-êiyŒm yang ketiganya ditulis oleh Imam Maulana Abdul Manaf Amin. Dalam RisŒlah M¥zŒn al-Qalb, pengarang menjelaskan:
“Adapun sebabnya maka disusun buku ini adalah berkehendak setengah saudara kita untuk memberi penjelasan tentang adanya dua faham untuk beramal ibadat kepada Allah, yaitu disebut orang Kaum Tuo (kaum kuno) dan Kaum Mudo (kaum baru) sehingga kami orang awam merasa ragu-ragu manakah yang akan diikuti…Oleh karena kita banyak membaca buku-buku sejarah dan buku hadis, maka dapatlah saya mengabulkan kehendak saudara-saudara kita itu barang alakadarnya” (h. 3).
Naskah Kitab Menerangkan Agama Islam di Minangkabau juga menjelaskan bahwa sebab ditulisnya naskah ini adalah karena setelah datangnya tarekat Naqsybandiyyah, dan disusul kemudian munculnya faham Wahabi yang diusung oleh tiga Haji di atas, corak ritual keagamaan masyarakat Minangkabau menjadi bermacam-macam, dan menimbulkan kebingunan di sebagian kalangan orang awam:
“…ada memakai u§all¥ ada yang tidak, ada pula yang memasuki puasa menilik hilal lebih dahulu dan adapula cukup dengan melihat almanak saja, ada yang sembahyang tarawih dua puluh ditambah witir tiga, dan adapula yang delapan rakaat ditambah dengan witir tiga rakaat…” (h. 3).
Tak heran kemudian, jika dalam uraian berikutnya —seperti tampak dalam pemerian naskah— naskah RisŒlah M¥zŒn al-Qalb, naskah Kitab Menerangkan Agama Islam di Minangkabau, dan naskah KitŒb al-Taqw¥m wa al-êiyŒm mencoba menjelaskan secara terperinci, dan menunjukkan kebenaran —dalam perspektif penganut tarekat Sya‹‹Œriyyah tentunya— isu-isu apa saja yang menjadi ajang perdebatan dan pertentangan, baik dengan tarekat Naqsybandiyyah maupun dengan tiga Haji, yang disebut sebagai perpanjangan tangan gerakan Wahabi di atas.
Naskah KitŒb al-Taqw¥m wa al-êiyŒm sendiri secara panjang lebar menjelaskan bahwa, kendati metode hisab taqwim merupakan ajaran Nabi dalam menentukan awal bulan Qamariyah, tetapi, khusus untuk bulan Ramadhan, Nabi memberikan tuntunan tersendiri, yakni dengan metode ru’yat al-hilŒl (melihat bulan). Dalam konteks Sumatra Barat, hal ini tentu saja ditujukan untuk menyanggah pendapat para penganut tarekat Naqsybandiyyah, yang tetap berpegang pada metode hisŒb taqw¥m untuk menentukan awal hari semua bulan Qomariyah, termasuk awal hari bulan puasa Ramadhan, sehingga hingga kini, selalu terjadi perbedaan di antara keduanya.
Penting dikemukakan bahwa dalam keseluruhan perdebatan yang melibatkan tarekat Sya‹‹Œriyyah tersebut, naskah RisŒlah M¥zŒn al-Qalb, naskah Kitab Menerangkan Agama Islam di Minangkabau, dan naskah KitŒb al-Taqw¥m wa al-êiyŒm cenderung menegaskan bahwa hingga beberapa puluh tahun lamanya, corak ritual dan ibadah yang dikembangkan oleh para ulama Sya‹‹Œriyyah lah yang pada akhirnya diterima oleh masyarakat Minangkabau. Naskah RisŒlah M¥zŒn al-Qalb misalnya mengatakan:
“…di waktu itu, yaitu di tahun 1840 M sampai tahun 1908 M, seluruh Nusantara ini (Indonesia) satu saja coraknya amal orang, yaitu kalau sembahyang sama-sama beru§all¥, sama berqunut tampung tangan, kalau kematian sama dibacakan talkin, kalau tiba bulan rabiul awwal sama-sama memperingati maulid Nabi Muhammad Saw beserta jamuannya…kalau kematian di rumah seseorang, maka datanglah guru-guru beserta rakyat menghadiahkan bacaan-bacaan amal, seperti membaca al-Quran bertahlil, dan lain-lain amal, waktu memasuki puasa dan akan berhari raya sama-sama memakai rukyat, artinya melihat awal bulan, dan sembahyang tarawihnya dua puluh rakaat, tidak ada yang membuat delapan rakaat…” (h. 80).
Hal yang sama juga dikemukakan kembali oleh Imam Maulana Abdul Manaf Amin dalam naskah Kitab Menerangkan Agama Islam di Minangkabau, seraya diakhiri dengan ungkapan: “…di waktu itulah keadaan negeri aman dan amal ibadat satu…” (h. 62).
Akan tetapi, rupanya pergolakan keagamaan yang melibatkan kelompok tarekat Sya‹‹Œriyyah ini meruncing kembali pada awal abad ke-20, tepatnya ketika pada sekitar tahun 1906 empat ulama Minangkabau kembali dari Tanah Suci Makkah setelah beberapa tahun belajar agama kepada Syaikh Ahmad Khatib al-Minangkabaw¥. Keempat ulama itu adalah: Haji Muhammad Jamil Jambek Bukittinggi, Haji Muhammad Taib Umar Sungayang Batusangkar, Haji Abdullah Ahmad Padang Panjang, dan Haji Abdul Karim Amrullah Maninjau.
Secara spesifik, keempat ulama pembaharu ini memang menyoroti praktek tarekat, khususnya tarekat Sya‹‹Œriyyah, yang banyak dianut oleh masyarakat Minangkabau. Mereka menganggap bahwa praktek tarekat tersebut bertentangan dengan ajaran Islam. Dijelaskan oleh pengarang bahwa: “…tarekat itu sudah menjadi perbincangan mereka dengan guru mereka bahwa tarekat itu adalah salah…” (RisŒlah M¥zŒn al-Qalb, h. 84). Oleh karenanya, keempat ulama ini sangat proaktif mengajak kepada kalangan penganut tarekat Sya‹‹Œriyyah untuk meninggalkan praktek keberagamaannya.
Pada tahun 1907 misalnya, Haji Muhammad Jamil Jambek mengadakan pertemuan terbatas dengan mengundang tokoh-tokoh ulama tarekat Sya‹‹Œriyyah untuk datang ke rumahnya dan berdiskusi berkaitan dengan perbedaan pandangan atas praktek tarekat tersebut. Di antara ulama tarekat Sya‹‹Œriyyah yang hadir, dan rata-rata telah berusia tua, adalah: Syaikh Khatib Muhammad Ali al-Padani, Syaikh Muhammad Dalil (Tuanku Syaikh Bayang), Tuanku Syaikh Khatib Sayyidina Syaikh Muhammad Taib Sibarang Padang, dan Tuanku Imam Masjid Ganting padang. Adapun dari kelompok ulama pembaharu, yang rata-rata masih berusia muda, antara lain: Haji Abbas Daud Balingka, yang dikenal sebagai Inyiek Balingka, Haji Abdullah Ahmad Padang Panjang, dan Haji Abdul Karim Amrullah Maninjau, yang dikenal sebagai Inyiek Rasul.
Diceritakan bahwa dalam pertemuan tersebut terjadi perdebatan hangat antara dua kelompok ulama ini tentang boleh tidaknya praktek tarekat menurut Islam. Akan tetapi, kendati berlangsung hingga larut malam, tidak tercapai kata sepakat di antara dua kelompok ulama tersebut, sehingga perbedaan pandangan, dan karenanya pertentangan, antara para ulama tarekat Sya‹‹Œriyyah dengan para ulama pembaharu pun terus berlangsung. Dan, momentum inilah yang disebut dalam naskah RisŒlah M¥zŒn al-Qalb sebagai asal mula munculnya istilah Kaum Tua dan Kaum Muda:
“…maka di sinilah asal mulanya sebutan kaum tua (kaum kuno), karena ulama-ulama yang mempertahankan tarekat itu telah tua-tua semuanya, yaitu lima puluh tahun ke atas. Sedangkan yang membatalkan tarekat itu ulama-ulama muda semuanya, yaitu tiga puluh tahun ke bawah. Maka dinamai orang mereka kaum muda (kaum baru) sehingga masyhurlah sesudah itu sebutan kaum kuno dan kaum muda. Maka di sinilah asal mulanya sebutan itu…” (h. 85-86).
Dari penjelasan di atas, jelas bahwa tiga naskah, yakni naskah RisŒlah M¥zŒn al-Qalb, naskah Kitab Menerangkan Agama Islam di Minangkabau, dan naskah al-êiyŒm wa al-Taqw¥m, yang ketiganya ditulis oleh Imam Maulana Abdul Manaf Amin, ditulis untuk menjelaskan pergolakan keagamaan yang pernah terjadi di kalangan masyarakat Minangkabau. Dalam perspektif penulis naskah-naskah tersebut, yang notabene adalah pengikut tarekat Sya‹‹Œriyyah sendiri, pergolakan tersebut diakibatkan oleh dua hal: pertama, karena adanya perbedaan pandangan antara para pengikut tarekat Sya‹‹Œriyyah dengan tarekat Naqsybandiyyah, dan kedua, karena adanya “serangan” dari kaum pembaharu atas berbagai ritual dan praktek keagamaan kaum tarekat.
7.3. Perkembangan dan Silsilah
Tarekat Sya‹‹Œriyyah di Sumatra Barat
Sejauh menyangkut awal masuknya Islam ke Sumatra Barat, sebagian sarjana berpandangan bahwa Syaikh Burhanuddin lah orang yang pertama kali membawanya (lihat, antara lain, Arnold 1913: 366; al-Attas 1969: 11). Menurut Arnold dan al-Attas, Syaikh Burhanuddin, selain berguru kepada Syaikh Abdurrauf Singkel, adalah juga murid dari Syaikh ‘AbdullŒh ‘rif, seorang pengembara Arab yang membawa Islam ke wilayah Utara Sumatra pada sekitar tahun 506 H/1112 M. Akan tetapi, —seperti dikemukakan Azra (1988: 12)— pandangan tersebut sulit diterima, selain karena tidak didukung data-data historis, juga karena Syaikh Burhanuddin sendiri diketahui hidup jauh dari masa hidupnya Syaikh ‘AbdullŒh ‘rif tersebut, yakni pada awal hingga akhir abad ke-17 (Daya 1990: 35).
Sebagian sumber lain mengatakan bahwa Islam sudah masuk ke Sumatra Barat pada abad pertama hijriyah, atau abad ke-7 dan 8 Masehi, jauh sebelum Syaikh Burhanuddin lahir, melalui para saudagar Muslim yang tidak dan belum dikenal, sedangkan Syaikh Burhanuddin sendiri “hanya” seorang muballig terkemuka pada abad ke-17, dan bukan pembawa Islam pertama ke Sumatra Barat (Boestami dkk. 1981: 3).
Berkaitan dengan nama Syaikh Burhanuddin ini, penting diperhatikan bahwa nama tersebut tampaknya tidak hanya merujuk pada ulama tokoh Sya‹‹Œriyyah, murid Syaikh Abdurrauf Singkel, yang kemudian menjadi tokoh sentral di Ulakan saja. Menurut Mahmud Yunus (1979: 20-21), misalnya, di Sumatra Barat terdapat, setidaknya, dua nama Syaikh Burhanuddin: pertama, Syaikh Burhanuddin sebagai pembawa Islam untuk pertama kalinya. Ia awalnya mengajar di Batu Hampar, kemudian pindah ke Kumpulan, dekat Bonjol, kemudian juga mengajar di Ulakan, Pariaman, dan akhirnya menetap di Kuntu, Kampar Kiri hingga wafatnya pada sekitar tahun 610 H/1214 M, sehingga ia dikenal dengan sebutan Syaikh Burhanuddin Kuntu (Abdulah 1999: 36-37).
Dalam naskah RisŒlah M¥zŒn al-Qalb, Imam Maulana Abdul Manaf Amin juga mencatat bahwa Syaikh Burhanuddin yang dianggap sebagai pembawa Islam masa awal ke Sumatra Barat adalah seorang saudagar Arab yang datang —bersama rombongan para pedagang— ke Sumatra Barat pada sekitar tahun 814 H/1411 M. Pada awalnya, Syaikh Burhanuddin, yang orang Arab ini, mengembangkan Islam di daerah Siak, sebelum kemudian berpindah ke, dan menetap di, Kuntu, Kampar Kiri, dan mengajar di sini hingga wafatnya pada tahun 839 H/1435 M, sehingga ia lebih dikenal sebagai Syaikh Burhanuddin Kuntu. Konon, gaung dakwah Syaikh Burhanuddin Kuntu ini sampai juga ke daerah Indragiri, Riau. Ia juga diriwayatkan pernah mendakwahkan Islam ke kalangan istana Pagaruyung (RisŒlah M¥zŒn al-Qalb, h. 153-154).
Penting dicatat bahwa, berdasarkan informasi yang terdapat dalam beberapa naskah tulisannya, angka tahun yang diberikan Imam Maulana Abdul Manaf Amin seringkali jauh lebih awal dari angka yang dicatat oleh para sejarahwan umumnya. Oleh karenanya, yang lebih penting diperhatikan dalam hal ini adalah bahwa di kalangan masyarakat Minangkabau sendiri, Islam diyakini telah menyebar pada sekitar abad ke-15.
Adapun Syaikh Burhanuddin yang kedua adalah seorang putra Minangkabau yang kemudian menjadi khalifah utama tarekat Sya‹‹Œriyyah di Ulakan, Pariaman, sehingga ia lebih dikenal dengan sebutan Syaikh Burhanuddin Ulakan. Dalam naskah Inilah Sejarah Ringkas Auliyaullah al-Salihin Syaikh Burhanuddin Ulakan yang Mengembangkan Agama Islam di Daerah Minangkabau diriwayatkan bahwa waktu kecil, Syaikh Burhanuddin Ulakan —yang diperkirakan lahir pada sekitar tahun 1056 H/1646 M— bernama Pono. Ia lahir di daerah Priangan, Padang Panjang, daerah yang diyakini sebagai daerah asal Minangkabau, sebelum kemudian pindah mengikuti keluarganya ke daerah Sintuk, Lubuk Alung, Pariaman. Ayahnya bernama Pampak, dari suku Koto, sedangkan ibunya bernama Nili dari suku Guci. Sebelum belajar kepada Syaikh Abdurrauf al-Sinkili di Aceh, diriwayatkan bahwa Pono muda berguru kepada Syaikh ‘AbdullŒh ‘rif di desa Tapakis, seorang pengembara Arab, yang konon juga merupakan murid dari Syaikh Aúmad al-QusyŒsy¥ di Madinah, dan oleh karenanya dikenal sebagai Syaikh Madinah (Amin 1993: 10; Hamka 1974: 149; bandingkan dengan Daya 1990: 179).[3] Setelah Syaikh ‘AbdullŒh ‘rif wafat, Pono —sesuai saran gurunya— kemudian pergi ke Aceh untuk belajar kepada Syaikh Abdurrauf al-Sinkili. Dari al-Sinkili inilah Pono mendapatkan nama barunya, Burhanuddin (Amin 1993: 19).
Dalam sumber-sumber lokal digambarkan bahwa hubungan Burhanuddin Ulakan dengan al-Sinkili tergolong istimewa. Ketaatan dan sikap hormat (ta’½¥m) Burhanuddin kepada al-Sinkili, misalnya, digambarkan persis seperti ketaatan al-Sinkili kepada gurunya, al-QusyŒsy¥:
“...adab dan tertib Burhanuddin kepada gurunya Syaikh Abdurrauf di dalam menuntut ilmu tidak ada ubahnya seperti adab dan tertib Syaikh Abdurrauf pula terhadap gurunya, Syaikh Aúmad al-QusyŒsy¥, yaitu mendukung dari tempat tinggalnya ke tempat mengajar, yaitu di Masjid, selain mendukung guru juga Burhanuddin menggembalakan ternak Syaikh Abdurrauf, yaitu kambing tiap-tiap hari dan lagi menggali tabat (kolam) ikan di sekeliling masjid…” (Amin 1993: 21; bandingkan dengan Ronkel 1914).
Riwayat yang berkaitan dengan berapa lama Syaikh Burhanuddin Ulakan belajar kepada Syaikh Abdurrauf al-Sinkili agak simpang siur. Beberapa sumber di antaranya menyebutkan bahwa Syaikh Burhanuddin Ulakan belajar di Aceh selama 13 tahun.[4] Akan tetapi, sumber-sumber lokal sendiri menyebut angka 30 tahun.[5]
Dalam hal ini, tidak mudah untuk memastikan angka yang paling mendekati kebenaran, apalagi beberapa angka tahun yang disebut dalam naskah-naskah lokal seringkali meragukan karena tidak sesuai dengan sumber-sumber sejarah lainnya. Dalam hal awal kedatangan Syaikh Burhanuddin dan keempat temannya ke Aceh misalnya, naskah Inilah Sejarah Ringkas Auliyaullah al-Salihin Syaikh Burhanuddin Ulakan yang Mengembangkan Agama Islam di Daerah Minangkabau menceritakan:
“...selamatlah perjalanan mereka sampai ke negeri Sinkil. Setelah tiba di Sinkil, didapatlah keterangan bahwa Syaikh Abdurrauf telah duduk mengajar di Sinkil telah setahun lamanya, yaitu dari tahun 1039 H …” (Amin 1993: 19).
Dari kutipan di atas, diisyaratkan bahwa al-Sinkili kembali dari Haramayn pada tahun 1039 H/1629 M, padahal, beberapa sumber lain menyebut bahwa al-Sinkili baru kembali pada tahun 1072 H/1661 M, yakni setahun setelah gurunya, al-QusyŒsy¥, wafat (Rinkes 1909; Voorhoeve 1980; Azra 1994). Hal lain yang meragukan adalah keterangan yang menyebutkan bahwa Syaikh Burhanuddin kembali ke Minangkabau pada tahun 1070 H/1659 M (Amin 1993: 37). Informasi ini jelas terbantahkan jika dapat dipastikan bahwa al-Sinkili baru kembali pada tahun 1072 H/1661 M seperti disebutkan di atas.
Sesungguhnya, jika angka tahun 1039 H yang disebutkan dalam kutipan di atas diabaikan saja, dan lebih memperhatikan kalimat: “…setelah tiba di Sinkil, didapatlah keterangan bahwa Syaikh Abdurrauf telah duduk mengajar di Sinkil telah setahun lamanya…” dalam naskah tersebut di atas, maka —dengan mengasumsikan bahwa al-Sinkili tiba di Aceh dari Haramayn pada tahun 1072 H/1661 M— berarti Syaikh Burhanuddin mulai belajar dengan al-Sinkili pada tahun 1073 H/1662 M. Kemudian, tentang berapa lama Syaikh Burhanuddin belajar dengan al-Sinkili, barangkali patut diperhatikan apa yang dikemukakan Burhanuddin Daya bahwa Syaikh Burhanuddin pertama kali mendirikan suraunya pada tahun 1680 M (Daya 1990: 79). Artinya, ada rentang waktu sekitar 18 tahun sejak keberangkatan Syaikh Burhanuddin ke Aceh. Tentu saja, —sekali lagi— tidak mudah menentukan angka pasti lamanya Syaikh Burhanuddin belajar dengan al-Sinkili, tetapi diduga kuat kurang dari 30 tahun.
Terlepas dari adanya beberapa ketidakjelasan menyangkut riwayat hidup dan riwayat pendidikannya, satu hal yang tidak diragukan adalah bahwa Syaikh Burhanuddin Ulakan telah memainkan peran yang sangat penting dan menentukan dalam proses islamisasi di alam Minangkabau. Segera setelah kembali ke kampung halamannya, Syaikh Burhanuddin mendirikan surau Sya‹‹Œriyyah, sebuah lembaga pendidikan tradisional sejenis ribŒ‹, di Tanjung Medan, yang saat itu segera termasyhur sebagai salah satu, kalau tidak satu-satunya, pusat keilmuan Islam di wilayah ini.[6] Surau Syaikh Burhanuddin ini pada mulanya diberi nama “Surau Batang Jelatang”, dan kini dikenal sebagai “Surau Gadang” (Yafas dkk. 1984: 129).
Murid-murid Syaikh Burhanuddin Ulakan pun datang dari berbagai pelosok; di antara mereka banyak yang kemudian diangkat menjadi khalifah tarekat Sya‹‹Œriyyah, dan menyebarkannya di desa masing-masing melalui lembaga surau yang mereka dirikan pula.
Di antara murid-murid Syaikh Burhanuddin Ulakan, empat orang di antaranya adalah sahabat-sahabatnya sendiri ketika menuntut ilmu kepada Syaikh Abdurrauf al-Sinkili di Aceh. Konon, ketika Syaikh Burhanuddin diizinkan pulang oleh gurunya, al-Sinkili, keempat sahabatnya itu juga memohon izin kepada al-Sinkili untuk mengikuti Syaikh Burhanuddin. Saat itu al-Sinkili tidak memberikan izin karena mereka dianggap belum “lulus”, dan masih harus menyelesaikan pelajarannya. Akan tetapi, keempat sahabat Syaikh Burhanuddin Ulakan tersebut memaksa pulang, sehingga mereka berangkat dengan tanpa mendapat restu dari al-Sinkili.
Kemudian, keempat sahabat Syaikh Burhanuddin Ulakan tersebut mencoba menyebarkan ajaran Islam kepada masyarakat di desanya masing-masing, yakni: Datuk Maruhun Panjang ke Padang Ganting Batusangkar, Syaikh Tarapang ke Kubung Tiga Belas Solok, Syaikh Mutanasir ke Koto Tangah Padang, dan Syaikh Buyung Muda ke Bayang Pulut-pulut Bandar Sepuluh. Ternyata, kedatangan mereka tidak disambut sebagaimana mestinya seorang guru tarekat, bahkan tidak sedikit masyarakat yang membencinya. Dalam naskah Inilah Sejarah Ringkas Auliyaullah al-Salihin Syaikh Burhanuddin Ulakan yang Mengembangkan Agama Islam di Daerah Minangkabau diceritakan:
“...Tetapi, entah oleh karena belum sepenuh hati guru melepasnya pulang ke kampung, maka setelah dicobanya menyiarkan agama Islam di kampung mereka masing-masing, tidak suka orang mengikuti mereka, sehingga kebanyakan orang benci mendengarkan perkataan mereka dan sangat benci melihat mereka…” (Amin 1993: 54; lihat juga Amin, Sejarah Ringkas Syaikh Surau Baru, h. 13 ).
Sementara itu, pada saat yang sama, keempat orang ini menyaksikan sahabatnya, Syaikh Burhanuddin Ulakan, mendapatkan sambutan terhormat yang luar biasa besar dari masyarakat Tanjung Medan khususnya, dan masyarakat Minangkabau dari berbagai pelosok umumnya:
“...penuntut sangat ramai berdatangan dari tiap-tiap nagari di Minangkabau ini. Orang yang datang itu bukan yang muda-muda saja, tetapi juga yang tua-tua dan perempuan-perempuan…” (Amin 1993: 53-54).
Akhirnya, keempat sahabat Syaikh Burhanuddin ini memutuskan untuk kembali menyempurnakan ilmunya kepada Syaikh Abdurrauf al-Sinkili di Aceh. Akan tetapi, setelah tiba di Aceh, al-Sinkili meminta agar mereka melanjutkan berguru kepada Syaikh Burhanuddin saja di surau Tanjung Medan. Dan Syaikh Burhanuddin Ulakan pun kemudian menerima mereka sebagai murid-muridnya, sekaligus pembantu-pembantunya dalam mengajarkan Islam, dengan corak tarekat Sya‹‹Œriyyah (Amin, Sejarah Ringkas, h. 15).
Oleh Syaikh Burhanuddin, keempat sahabatnya ini tidak ditempatkan di Tanjung Medan, melainkan diberikan tempat tinggal dan mengajar tersendiri, yakni di suatu tempat yang di kemudian hari dikenal sebagai Ulakan, tempat di mana Syaikh Burhanuddin dimakamkan pada tahun 1111 H/1699 M, beberapa tahun setelah wafatnya Syaikh Abdurrauf al-Sinkili di Aceh (Abdullah 1980: 57).
Dengan kemasyhurannya sebagai seorang tokoh penyebar ajaran Islam, Syaikh Burhanuddin Ulakan memantapkan dirinya sebagai ulama Minangkabau paling penting menjelang akhir abad ke-17, di mana hampir semua ulama Minangkabau, termasuk mereka yang kemudian berbeda pendapat dan memilih jenis tarekat selain Sya‹‹Œriyyah, dari generasi berikutnya, belajar dan berguru kepadanya.
Di antara murid Syaikh Burhanuddin Ulakan adalah seorang ulama besar di Padang Darat, Tuanku Nan Tuo Mansiangan, guru bagi Tuanku Nan Tuo di Cangking, Ampek Angkek, yang belakangan memilih mengembangkan tarekat Naqsybandiyyah dan menjadi rival tarekat Sya‹‹Œriyyah di Ulakan.[7] Seperti telah dikemukakan dalam bab sebelumnya, sejauh menyangkut sejarah Islam di Minangkabau, “tarekat Ulakan”, yang Sya‹‹Œriyyah, dan “tarekat Cangking”, yang Naqsybandiyyah, mengalami pertentangan yang lumayan sengit, sehingga timbul kesan, seolah-olah ada dua macam Islam di Minangkabau: “Islam Ulakan”, dan “Islam Cangking”.[8] Akan tetapi, yang ingin ditegaskan di sini adalah, betapa pun belakangan muncul pertentangan tersebut, keduanya tetap memiliki silsilah keilmuan dengan tarekatnya Syaikh Burhanuddin.
Apalagi, berkaitan dengan Tuanku Nan Tuo di Cangking, kendati memilih untuk mengembangkan tarekat Naqsybandiyyah, ia, bersama-sama dengan ulama tarekat Sya‹‹Œriyyah lain, sangat giat mengkampanyekan rekonsiliasi antara ajaran tasawuf dan syariat. Melalui suraunya sendiri di Cangking, Ampat Angkat, Tuanku Nan Tuo meraih kemasyhurannya sebagai ulama syariat dan tasawuf. Karena keahliannya dalam dua aspek Islam ini, Tuanku Nan Tuo dilukiskan dalam Hikayat Jalaluddin sebagai “Sul‹Œn ‘lim AuliyŒ AllŒh” yang menjadi “pemimpin seluruh ulama Minangkabau yang termasuk golongan ahl al-sunnah wa al-jamŒ’ah”.[9] Pada masa berikutnya, perjuangan Tuanku Nan Tuo di Cangking ini dilanjutkan oleh salah seorang muridnya yang bernama Fakih Shagir Jalaluddin, yang menulis naskah Hikayat Jalaluddin yang dikutip di atas.
Kembali kepada Syaikh Burhanuddin Ulakan, hal lain yang penting ditegaskan adalah bahwa melalui institusi tarekat, dalam hal ini tarekat Sya‹‹Œriyyah, yang menjadi sarana Syaikh Burhanuddin Ulakan dalam mendakwahkan Islam, ajaran-ajaran Islam tampaknya lebih mudah diterima oleh sebagian besar masyarakat Minangkabau. Hal ini sangat dimungkinkan karena, dalam dakwahnya, Islam tarekat lebih mengedepankan pentingnya kualitas spiritual dan penyucian batin (tah©¥b al-nafs) dibanding praktek dan ritual syariat, sehingga, di wilayah mana pun tarekat berkembang, masyarakat yang menerima umumnya tidak menunjukkan penolakan keras.[10] Apalagi, dalam tarekat terdapat tradisi silsilah[11], yang menegaskan bahwa berbagai ajaran tarekat yang disampaikan, telah melalui mata rantai guru-murid yang terpercaya, dan silsilahnya bahkan sampai kepada Nabi Saw.
Demikianlah, hingga saat ini, di Sumatra Barat —sebagaimana halnya juga dalam dunia tarekat di wilayah lain— ikatan silsilah dijadikan sebagai salah satu syarat jika seseorang ingin diakui menjadi seorang guru tarekat (mursyid), di samping beberapa syarat lainnya seperti: sudah mendapat izin (ijŒzah) dari gurunya, taat melaksanakan perintah Allah lahir dan batin, serta sabar dan rajin mengikuti pengajian.[12] Silsilah yang menghubungkan seorang guru tarekat Sya‹‹Œriyyah di Sumatra Barat sampai kepada guru-gurunya dan bahkan sampai kepada Nabi ini, pada gilirannya memberikan keyakinan bahwa ajaran-ajaran Islam yang dibawa oleh Syaikh Burhanuddin benar-benar dapat dipertanggungjawabkan otentisitasnya. Masyarakat Minangkabau bahkan meyakini bahwa, karena tarekat berasal dari Nabi, maka mengingkarinya adalah berarti mengingkari Nabi (Daya 1990: 177).
Perkembangan tarekat Sya‹‹Œriyyah di Sumatra Barat sendiri tampaknya tidak dapat dipisahkan dari institusi surau, yang secara umum telah memainkan peran penting dalam proses transmisi berbagai ilmu pengetahuan Islam.[13] Dalam hal ini, Syaikh Burhanuddin —yang kemudian diikuti oleh para khalifah berikutnya— bisa dianggap berhasil dalam menyerap potensi lokal dengan memanfaatkan institusi surau, yang dalam masyarakat Minangkabau sejak awal telah berfungsi sebagai rumah tempat tinggal para pemuda setelah akil baligh, terpisah dari rumah keluarga yang menjadi tempat tinggal wanita dan anak-anak (Dobbin 1992: 142). Kendati sudah tidak berfungsi lagi sebagai pusat keilmuan Islam seperti pada awal perkembangannya, hingga kini, ribuan surau masih dapat dijumpai di Sumatra Barat. Khususnya di surau-surau tua yang pernah menjadi basis tarekat, biasanya dijumpai sejumlah kitab keagamaan, baik yang masih ditulis tangan (manuscripts) maupun kitab cetakan.
Di surau inilah para khalifah tarekat Sya‹‹Œriyyah, mulai dari Syaikh Burhanuddin Ulakan sendiri, hingga murid-muridnya di berbagai pelosok di Sumatra Barat, membangun jaringan guru-murid sehingga tercipta saling-silang hubungan keilmuan yang sangat kompleks, dan melibatkan banyak ulama lokal. Di bawah ini, penulis mencoba merekonstruksi silsilah tarekat Sya‹‹Œriyyah di Sumatra Barat, yang didasarkan pada beberapa naskahnya, dan pada daftar silsilah yang dibuat oleh para ulama lokal tarekat Sya‹‹Œriyyah. Penting penulis kemukakan bahwa, sangat disayangkan, sebagian besar sumber-sumber yang ada tidak menyebutkan masa hidup dari nama-nama ulama yang terdapat dalam silsilah tarekat Sya‹‹Œriyyah ini, sehingga agak sulit untuk menguji kesahihan saling-silang hubungan guru-murid yang disebutkan.
Khalifah tarekat Sya‹‹Œriyyah setelah Syaikh Burhanuddin Ulakan sendiri tampaknya berjumlah puluhan, sehingga tidak mengherankan jika silsilah tarekat yang berkembang hingga saat ini bisa melalui jalur yang berbeda-beda. Selain itu, sumber-sumber lokal pun ternyata menyebutkan sejumlah nama khalifah yang urut-urutannya agak berbeda satu dengan yang lain (Yafas dkk.1984: 130). Khalifah-khalifah Syaikh Burhanuddin Ulakan tersebut, beberapa di antaranya —seperti disebutkan dalam naskah Muballigul Islam (h. 216-218)— melanjutkan kepemimpinan Syaikh Burhanuddin di surau Tanjung Medan, Ulakan. Mereka adalah:
1. Syaikh Abdurrahman sebagai khalifah pertama, kemudian dilanjutkan secara berturut-turut oleh
2. Syaikh Khairuddin;
3. Syaikh Jalaluddin;
4. Syaikh Idris, yang konon juga merupakan kawan dekat Syaikh Burhanuddin sendiri ketika belajar dengan Syaikh Madinah di Air Sirah Tapakis;
5. Syaikh Abdul Muhsin, yaitu Tuanku Tapi Pasang yang tinggal di surau Tangah Padang;
6. Syaikh Habibullah. Pada masa ini, di Tanjung Medan Ulakan terdapat tiga khalifah yang menjadi pimpinan di surau Tanjung Medan, yakni: Syaikh Habibullah sendiri, Syaikh Khalidin, yang dikenal dengan sebutan Tuanku nan Hitam, dan Tuanku Fakih Mansur. Ketiga ulama ini merupakan murid langsung dari Syaikh Abdul Muhsin;
7. Syaikh Ahmad Qasim;
8. Tuanku Tibaru nan Tuo;
9. Syaikh Abdul Jalil, cucu dari Tuanku Tibaru nan Tuo.
Susunan dan urutan khalifah Syaikh Burhanuddin Ulakan di atas sedikit berbeda dengan susunan yang disebutkan dalam sebuah buku kecil berjudul Petunjuk ziarah ke Maqam Syaikh Burhanuddin Ulakan yang disusun oleh Yayasan Raudhatul Hikmah Jakarta. Dalam buku —yang juga menyertakan informasi tentang masa kepemimpinan masing-masing khalifah— ini disebutkan bahwa susunan dan urutan khalifah Syaikh Burhanuddin yang menjadi pimpinan di Ulakan adalah:
1. Syaikh Muhammad Idris bin Salim, yang menjadi khalifah mulai dari tahun 1111 H/1699 M sampai 1126 H/1714 M;
2. Syaikh Abdurrahman bin Abdurrahim (1126 H/1714 M-1137 H/1724 M);
3. Syaikh Kaharuddin (1137 H/1724 M-1146 H/1733 M) (dalam daftar di atas, tertulis Syaikh Khairuddin);
4. Syaikh Jalaluddin (1146 H/1733 M-1161 H/1748 M)
5. Syaikh Abdul Muhsin Tuanku Faqih (1161 H/1748 M-1180 H/1766 M);
6. Syaikh Abdul Hasan bin Husin (1180 H/1766 M-1194 H/1780 M);
7. Syaikh Khaliluddin bin Khalid (1194 H/1780 M-1211 H/1796 M);
8. Syaikh Habibullah bin Alif (1211 H/1796 M-1231 H/1815 M);
9. Syaikh Tuanku Qusya’i (1231 H/1815 M-1248 H/1832 M)
10. Syaikh Tuanku Ja’far bin Muhammad (1248 H/1832 M-1280 H/1863 M)
11. Syaikh Tuanku Muhammad Sani (1280 H/1863 M-1311 H/1893 M);
12. Syaikh Tuanku Busai (1311 H/1893 M-1366 H/1948 M); dan
13. Syaikh Tuanku Barmawi (mulai 1366 H/1948 M sampai sekarang).
Selain dua sumber di atas, di kalangan penganut tarekat Sya‹‹Œriyyah di Sumatra Barat, juga beredar sebuah susunan silsilah yang disusun oleh tiga orang ulama tua tarekat Sya‹‹Œriyyah, yakni: Buya Mata Air Pakandangan, Buya Angku Pakandangan, dan Buya Tapakis. Dalam silsilah ini dijelaskan bahwa di antara murid Syaikh Burhanuddin Ulakan, yang kemudian berjasa mengembangkan tarekat Sya‹‹Œriyyah di Sumatra Barat adalah empat orang khalifahnya, yakni: Syaikh Janggut hitam Lubuk Ipuh, Syaikh Abdurrahman Ulakan, Syaikh Kapih-kapih Paninjauan Padang Panjang, dan Syaikh Mula Ibrahim Lunang Pesisir Selatan.[14]
Kemudian, melalui jalur khalifah yang disebut pertama, yakni Syaikh Janggut hitam, muncul pula khalifah tarekat Sya‹‹Œriyyah bernama Syaikh Abdurrahman Lubuk Ipuh, yang menurunkan estafet kekhalifahan berikutnya kepada Syaikh Malalo Lima Puluh.[15] Mulai dari Syaikh Malalo Lima Puluh inilah, silsilah tarekat Sya‹‹Œriyyah semakin kompleks dengan melahirkan, antara lain, empat khalifah ternama, yakni: Syaikh Mata Air Pakandangan, Syaikh Balindung Pilubang, Syaikh Cubadak Air Pariaman, dan Syaikh Aluma Koto Tuo Bukit Tinggi.
Dari murid Syaikh Malalo Lima Puluh yang pertama, yakni Syaikh Mata Air Pakandangan, muncul seorang murid bernama Syaikh Kamumuwan, guru dari Buya Angku Pakandangan, salah seorang ulama yang menyusun silsilah ini. Kemudian, murid Syaikh Malalo Lima Puluh yang kedua, yakni Syaikh Balindung Pilubang, juga mengangkat seorang khalifah bernama Syaikh Talang Koto Bangku, yang merupakan guru dari Syaikh Kubung Sungai Ranti. Dalam sebuah salinan lain dari silsilah ini, hubungan Syaikh Talang Koto Bangku dengan Syaikh Kubung Sungai Ranti bukan hubungan guru-murid, melainkan kawan seangkatan yang berguru kepada Syaikh Balindung Pilubang. Hal ini mungkin saja terjadi, karena tidak jarang seseorang berguru kepada kawan seperguruannya yang dianggap lebih pandai. Adapun murid Syaikh Malalo yang ketiga, yakni Syaikh Cubak Air Pariaman, tidak diketahui memiliki khalifah penggantinya.
Perkembangan tarekat Sya‹‹Œriyyah di Sumatra Barat juga banyak ditentukan oleh murid Syaikh Malalo yang keempat, yakni Syaikh Aluma Koto Tuo Bukit Tinggi. Ia merupakan khalifah tarekat Sya‹‹Œriyyah yang dianggap sangat berjasa dalam menjadikan daerah Koto Tuo Bukit Tinggi sebagai salah satu sentra tarekat terpenting di Sumatra Barat. Di antara murid-murid Syaikh Aluma Koto Tuo, yang diketahui adalah Syaikh H. Ismail Kiambang (w. 1965), Buya Angku Panjang Sungai Sarik, Angku Paingan Sungai Limo, dan Angku Talawi. Selain sama-sama sebagai murid seperguruan, Syaikh H. Ismail Kiambang dan Angku Talawi juga memiliki hubungan kekeluargaan, karena belakangan Angku Talawi menikah dengan putri dari Syaikh H. Ismail Kiambang tersebut.
Menarik dikemukakan bahwa Angku Talawi, pada awal tahun 1950-an pernah diminta oleh para penganut tarekat Sya‹‹Œriyyah di Batang Kabung untuk membantu mengajar di beberapa surau mereka. Saat itu, yang telah lebih dahulu mengajar di surau Batang Kabung, dan beberapa surau lain di sekelilingnya, adalah Imam Maulana Abdul Manaf Amin. Menjelang Pemilihan Umum pertama tahun 1955 —saat di mana masing-masing partai gencar berkampanye mencari dukungan— terjadi ketegangan hubungan antara murid-murid Angku Talawi dengan murid-murid Imam Maulana Abdul Manaf Amin akibat perbedaan pilihan partai di antara mereka (Amin 2002: 47-57).[16] Di satu sisi, Angku Talawi bergabung dengan Partai Islam Indonesia (PII), sementara di sisi lain, Imam Maulana Abdul Manaf Amin menjadi anggota partai PERTI. Selain karena persoalan perbedaan partai, ketegangan tersebut juga konon terjadi karena Imam Maulana Abdul Manaf Amin tidak menerima dirinya dituduh sebagai orang Muhammadiyah oleh Angku Talawi, kendati ayahnya memang seorang pimpinan salah satu organisasi Islam terbesar di Indonesia tersebut.
Adapun Syaikh H. Ismail Kiambang, selain merupakan murid dari Syaikh Aluma Koto Tuo, juga pernah belajar tarekat kepada Tuanku Bintungan Tinggi. Di antara murid-murid Syaikh H. Ismail Kiambang, yang diketahui adalah Buya Abdurrazak Mata Air Pakandangan, salah seorang penyusun silsilah ini, Buya Surau Yubadak Sungai Asam, dan Tuanku Ali Umar Kiambang. Nama yang disebut terakhir adalah ulama yang mengembangkan tarekat Sya‹‹Œriyyah di daerah Bungus.
Buya Abdurrazak Mata Air Pakandangan sendiri mempunyai seorang anak, yaitu Haji Tuanku Sinaro Paneh Pakandangan, yang belakangan —bersama Buya Ansaruddin— menjadi pimpinan di pesantren Darul Ulum Kampung Panas Pakandangan, kecamatan 2 x 11 Enam Lingkung Kabupaten Padang Pariaman (Viviani 1990/1991). Haji Tuanku Sinaro, kendati ayahnya juga telah mencapai kedudukan sebagai khalifah tarekat, justru belajar tarekat Sya‹‹Œriyyah dari guru lain, yakni Tuanku Haji Musa di surau Kabun Tapakis Ulakan, yang juga merupakan murid dari Syaikh Aluma Koto Tuo. Di pesantren Darul Ulum yang ia pimpin, Haji Tuanku Sinaro juga memiliki beberapa orang murid, di antaranya adalah Tuanku Basril Pakih Batuah dan Akhalis Malin Saidi, yang —pada sekitar tahun 1989— mulai mengembangkan tarekat Sya‹‹Œriyyah di Kenegerian Surian Kecamatan Pantai Cermin Kabupaten Solok (Amiruddin 1994: 58-59).
Adapun dari murid Syaikh Koto Tuo Bukit Tinggi yang lain, yakni Angku Panjang Sungai Sarik, muncul dua orang khalifah, yakni: Buya Tapakis, yang juga salah seorang penyusun silsilah ini, dan Buya Angku Sidi Batang Cino.
Demikianlah silsilah khalifah tarekat Sya‹‹Œriyyah di Sumatra Barat melalui khalifah Syaikh Burhanuddin Ulakan yang bernama Syaikh Janggut Hitam Lubuk Ipuh.
Silsilah tarekat Sya‹‹Œriyyah melalui khalifah Syaikh Burhanuddin Ulakan yang lain tidak kurang kompleksnya. Syaikh Abdurrahman Ulakan misalnya, memiliki dua orang khalifah, yakni Syaikh Abdul Muhsin Ulakan dan Syaikh Sultan al-Kisai ibn Habibullah Ulakan. Belakangan, nama yang disebut terakhir merupakan khalifah yang memainkan peranan penting dalam penyebaran tarekat Sya‹‹Œriyyah di Sumatra Barat, karena melalui dirinya lah muncul sejumlah murid yang mengembangkan tarekat Sya‹‹Œriyyah di berbagai pelosok Minangkabau.
Dari catatan yang dijumpai, Syaikh Sultan al-Kisai ibn Habibullah Ulakan setidaknya memiliki lima murid utama, yaitu: pertama, Syaikh Abdul Wahab Calu Sijunjung, guru bagi Syaikh Supayang Solok. Dalam naskah RisalŒh M¥zŒn al-Qalb, Imam Maulana Abdul Manaf Amin memberikan sedikit informasi mengenai identitas Syaikh Abdul Wahab Calu Sijunjung ini. Disebutkan bahwa Syaikh Abdul Wahab berasal dari daerah Awur. Selain murid dari Syaikh Sultan al-Kisai ibn Habibullah Ulakan, ia juga pernah berguru langsung kepada Syaikh Abdul Muhsin Ulakan, guru bagi Syaikh Sultan al-Kisai ibn Habibullah Ulakan sendiri. Seusai menyelesaikan pelajarannya, Syaikh Abdul Wahab ditugaskan oleh gurunya untuk mengembangkan tarekat Sya‹‹Œriyyah di Desa Calu, Sijunjung, hingga ia dikenal dengan sebutan Angku Syaikh Calu atau Inyik Calu. Syaikh Abdul Wahab meninggal dan dikuburkan di Calu. Hingga kini, pusaranya banyak diziarahi orang, khususnya para penganut tarekat Sya‹‹Œriyyah dari berbagai pelosok di Minangkabau (Amin 1989: 70-71).
Murid Syaikh Sultan al-Kisai ibn Habibullah Ulakan yang kedua adalah Syaikh Talawi Padang Ganting, yang kemudian memiliki dua orang murid utama, yakni: Angku Koto Tujuh dan Angku Ampalu Tinggi. Angku Koto Tujuh menurunkan kekhalifahan tarekat Sya‹‹Œriyyah kepada Angku Lubuk Puar.
Adapun Angku Ampalu Tinggi sendiri —yang nama aslinya adalah Syaikh Haji Ibrahim— memiliki, setidaknya, empat orang murid utama, yakni: Buya Sasak, Angku Sidi Talawi Sampan, Buya Angku Salif Kiramat, dan Syaikh Muhammad Nur, atau yang dikenal sebagai Syaikh Tuanku Kalumbuk (1894-1979).[17] Imam Maulana Abdul Manaf Amin juga dikabarkan pernah berguru kepada Syaikh Haji Ibrahim ini pada awal tahun 1940-an, ketika Syaikh Haji Ibrahim mengajar di Batang Kabung sebelum menjadi khalifah tarekat Sya‹‹Œriyyah di Ampalu Tinggi (Amin 2002: 3). Penting dicatat bahwa pada sekitar tahun 1955, atas permintaan dari Imam Maulana Abdul Manaf Amin, dan atas restu dari Angku Ampalu Tinggi, Buya Angku Salif —yang sering dipanggil sebagai Tuanku Sutan Guru Besar— duduk mengajar di surau Batang Kabung, menjadi ulama tarekat Sya‹‹Œriyyah terkemuka di daerah tersebut, serta — pada tahun 1966— mendirikan sekolah Perti, bersama-sama dengan Imam Maulana Abdul Manaf Amin (Amin 2002: 45-47).
Penting dikemukakan bahwa, berkaitan dengan Syaikh Sultan al-Kisai ibn Habibullah Ulakan, dalam naskah Sejarah Ringkas Syaikh Paseban al-Syattari (h. 5), karangan Imam Maulana Abdul Manaf Amin, disebutkan bahwa Syaikh Paseban —tokoh tarekat Sya‹‹Œriyyah asal Koto Panjang, Koto Tangah, Padang, yang juga guru bagi Imam Maulana Abdul Manaf Amin sendiri— pertama kali belajar tarekat kepada seorang guru bernama Syaikh Habibullah, yang disebutnya sebagai khalifah keenam dari Syaikh Burhanuddin Ulakan.
Berdasarkan data-data yang tersedia, dan berdasarkan pada sebutan “Habibullah” yang terdapat di akhir nama Syaikh Sultan al-Kisai di atas, penulis menduga bahwa Syaikh Habibullah yang menjadi guru Syaikh Paseban ini adalah masih keturunan dari Syaikh Sultan al-Kisai ibn Habibullah Ulakan itu sendiri.[18] Selain kepada Syaikh Habibullah, Syaikh Paseban (w. 1356 H/1937) juga pernah belajar, kendati hanya sebentar, kepada Syaikh Malalo Lima Puluh, yang silsilahnya akan dikemukakan di bawah. Dalam hal ijazah tarekatnya sendiri, Syaikh Paseban mendapatkannya dari dua guru pertama tersebut, melainkan dari guru berikutnya, yakni Angku Syaikh Padang Ganting, guru bagi Angku Surau Gadang Pakandangan (Amin 2001: 7-9).
Syaikh Paseban sendiri diketahui memiliki beberapa orang murid yang mengambil baiat darinya, seperti: Angku Fakih Lutan dari Koto Tangah, Angku Inyik Adam juga dari Koto Tangah, Angku Haji Abdul Majid dari Paseban, Imam Maulana Abdul Manaf Amin dari Batang Kabung, Angku Qadi Talang dari Solok, Angku Syaikh Datuk dari Lumindai, Angku Surau Gadang dari Tanjung Medan Ulakan, Angku Ibrahim dari Mudik Padang, dan lain-lain (Amin 2001: 45). Di antara murid-muridnya tersebut, tiga di antaranya diangkat sebagai khalifahnya, yakni: Angku Fakih Lutan, Angku Inyik Adam, dan Angku Haji Abdul Majid.[19] Imam Maulana Abdul Manaf Amin menjelaskan dalam naskah otobiografinya, bahwa selain sebagai kawan seperguruan, Angku Fakih Lutan adalah juga gurunya, khususnya di bidang ilmu Qiraat. Selain kepada Fakih Lutan, Imam Maulana Abdul Manaf Amin juga mengaku pernah belajar selama enam bulan kepada seorang guru perempuan bernama Sari Makkah di Muara Penjalinan (Amin 2002: 2).[20]
Kembali kepada Syaikh Sultan al-Kisai ibn Habibullah Ulakan, muridnya yang ketiga adalah Syaikh Surau Panjang Kaman Gadang, murid keempat adalah Syaikh Joro Limo Purut, dan murid kelima adalah Syaikh Muhammad Sani Tanjung Medan. Dari murid Syaikh Sultan al-Kisai ibn Habibullah Ulakan yang kelima inilah muncul tiga orang murid utama, yakni: Syaikh Surau Gadang Koto Tinggi, Syaikh Bintungan Tinggi, dan Syaikh Kapalu Koto, yang dikenal sebagai Syaikh ahli zikir (lihat Apendiks 3, butir b).
Melalui jalur Syaikh Bintungan Tinggi, tarekat Sya‹‹Œriyyah juga menyebar ke daerah Bungus Taluk Kabung sejak akhir abad ke19, karena salah seorang muridnya, yakni Tuanku Khatib Simpang Tigo (w. 1961 M) berasal dari daerah ini, tepatnya dari Koto Hilalang, Bungus. Dengan demikian, Tuanku Khatib Simpang Tigo tercatat sebagai khalifah tarekat Sya‹‹Œriyyah yang mengembangkan tarekat Sya‹‹Œriyyah di Bungus, selain Tuanku Ali Umar Kiambang seperti telah dikemukakan di atas. Selain berguru kepada Syaikh Bintungan Tinggi di Pariaman, Tuanku Khatib Simpang Tigo juga pernah belajar di Sumpur Malalo Padang Panjang.
Di Bungus, Tuanku Khatib Simpang Tigo juga memiliki dua orang khalifah tarekat Sya‹‹Œriyyah, yakni Tuanku M. Husin dan Tuanku Khatib Tamar, di samping beberapa murid lainnya yang tidak sampai memperoleh gelar khalifah, seperti Buya Malin Putih, Buya Mamad, Imam Burhan, Angku Khariman, Tuanku Siaruddin, dan lain-lain. Kendati tidak sampai mencapai gelar khalifah, murid-murid ini pada gilirannya juga cukup berjasa dalam mengembangkan tarekat Sya‹‹Œriyyah, karena umumnya mereka memiliki surau di daerahnya masing-masing, di mana mereka mengajarkan kembali ajaran-ajaran tarekat Sya‹‹Œriyyah tersebut (Firdaus dkk. 1999/2000: 20-31). Demikianlah silsilah tarekat Sya‹‹Œriyyah melalui Syaikh Abdurrahman Ulakan.
Adapun dalam silsilah yang melalui Syaikh Kapih-kapih Paninjauan Padang Panjang, diketahui ada empat murid, yakni: Syaikh Pamansiangan Koto Lawas —yang juga memiliki murid bernama Syaikh Usman dari suku Panyalaian, Lubuk Puar Pariaman, dan kemudian menyebarkan tarekat Sya‹‹Œriyyah di Ampalu Tinggi, Padang Pariaman (Nur 1995: 4)—, Syaikh Nan Tuo Koto Tuo, seorang ulama Sya‹‹Œriyyah yang dikenal ahli di bidang ilmu alat (gramatika Arab), Tuanku di Lembah, dan Tuanku di Puar.[21] Dari jalur Syaikh Mula Ibrahim Lunang Pesisir Selatan bahkan tidak tercatat satu pun murid dalam daftar silsilah versi Buya Mata Air Pakandangan dan dua ulama lainnya tersebut. Sebuah sumber lokal lain justru menyebutkan adanya ulama selain Syaikh Mula Ibrahim yang mengembangkan tarekat Sya‹‹Œriyyah di wilayah Pesisir Selatan ini. Hermarosrita (1994: 45-46) misalnya, mencatat bahwa di Dusun Lereng Bukit, tarekat Sya‹‹Œriyyah berkembang atas jasa dari Tuanku Labai Kunud, yang pernah berguru kepada Sidi Jaul di Batang Kabung. Sidi Jaul sendiri, konon merupakan salah seorang murid langsung dari Syaikh Burhanuddin Ulakan. Dari Tuanku Labai Kunud, silsilah tarekat bersambung kepada Baharuddin Imam Mandaro, kemudian kepada Imam Suar, dan terakhir kepada Khatib Nusi.
Selain melalui empat murid Syaikh Burhanuddin Ulakan seperti tersebut dalam silsilah di atas, tarekat Sya‹‹Œriyyah di Sumatra Barat juga dikembangkan melalui empat murid Syaikh Burhanuddin yang juga sahabat seangkatannya ketika belajar kepada Syaikh Abdurrauf al-Sinkili di Aceh, yakni: Datuk Maruhun Panjang dari Padang Ganting Batusangkar, Syaikh Tarapang dari Kubung Tiga Belas Solok, Syaikh Mutanasir dari Koto Tangah Padang, dan Syaikh Buyung Muda dari Bayang Pulut-pulut Bandar Sepuluh.
Sayangnya, informasi berkaitan dengan silsilah guru-murid tarekat Sya‹‹Œriyyah melalui keempat ulama ini dalam naskah-naskah yang ada sangat tidak memadai. Di antara mereka yang diketahui adalah beberapa murid dari Syaikh Mutanasir, yang setelah kembali ke kampungnya di Koto Panjang, Koto Tangah, Padang, dikenal sebagai Syaikh Surau Baru, karena ia tercatat sebagai ulama pertama yang mendirikan surau baru di daerah tersebut (Amin, Sejarah Ringkas Syaikh Surau Baru, h. 16). Syaikh Surau Baru sangat berjasa dalam penyebaran Islam di Koto Tangah, Pauh, Lubuk Bagalung, dan Padang.
Syaikh Surau Baru sendiri dapat dipastikan sebagai salah seorang ulama tarekat Sya‹‹Œriyyah yang memiliki koleksi naskah tulisan tangan cukup banyak. Sebagian di antara naskah-naskahnya tersebut sempat juga disalin oleh Imam Maulana Abdul Manaf Amin, seorang guru tarekat Sya‹‹Œriyyah yang produktif menulis atau menyalin kitab-kitab melalui tulisan tangan, dan yang sejumlah naskah tulisannya menjadi sumber utama dalam penelitian ini.
Salah seorang murid Syaikh Surau Baru dikenal dengan sebutan Fakih Muda, yang berasal dari Kampung Jambak Koto Panjang, Koto Tangah. Setelah selesai belajar dengan Syaikh Surau Baru, Fakih Muda mengembangkan tarekat Sya‹‹Œriyyah di daerah Pauh, tepatnya di Kampung Gua Balimbing Pauh Sembilan, di Negeri Nan Dua Puluh (Lubuk Bagalung), dan di kota Padang.
Selain sebagai guru tarekat Sya‹‹Œriyyah, Fakih Muda juga diketahui pernah memimpin gerakan pemberontakan di Pauh terhadap penjajah Belanda pada sekitar awal abad ke-18, yang akhirnya menghantarkan pada kematiannya. Saat itu, Fakih Muda dibantu oleh tiga orang kawannya, yakni: Datuk Rajo Basari dari suku Caniago, Kampung Kurung Gadang; Datuk Raja Putih dari suku Malayu, orang Pauh Lima; dan Datuk Rajo Bugaga dari suku Jambak, Kampung Kuranji.[22]
Aktivitas Fakih Muda, yang merupakan murid dari Syaikh Surau Baru, sebagai pemimpin pemberontakan melawan kolonial Belanda ini, pada akhirnya juga mengakibatkan ditangkapnya Syaikh Surau Baru sendiri oleh pemerintah kolonial, karena dianggap bisa menghasilkan murid-murid militan semacam Fakih Muda tersebut yang membahayakan keberadaan mereka. Pada awalnya, Syaikh Surau Baru ditahan di Muara Penjalinan, sebelum akhirnya dipindahkan ke dalam tahanan Belanda di Padang, dan meninggal dalam tahanan tersebut (Amin, Sejarah Ringkas Syaikh Surau Baru, h. 47-48).
Selain Fakih Muda, Syaikh Surau Baru juga diketahui memiliki seorang murid lain yang menjadi khalifahnya dalam tarekat Sya‹‹Œriyyah, yakni Syaikh Bawah Asam. Diriwayatkan bahwa ketika menjelang wafatnya, Syaikh Bawah Asam pernah mengisyaratkan untuk mengangkat Syaikh Paseban al-Syattari —yang waktu itu berkunjung bersama ibunya— sebagai khalifahnya dalam tarekat Sya‹‹Œriyyah. Akan tetapi, karena waktu itu Syaikh Paseban masih sangat kecil, yakni sekitar 4 tahun, maka tongkat kekhalifahan pun akhirnya diberikan kepada Angku Mirad (Amin 2001: 24).
Syaikh Paseban sendiri, seperti telah dikemukakan, mendapatkan ijazah kekhalifahannya dalam tarekat Sya‹‹Œriyyah dari Angku Syaikh Padang Ganting. Kendati demikian, disebutkan bahwa Syaikh Paseban menaruh hormat yang sangat besar kepada Syaikh Bawah Asam dan gurunya, Syaikh Surau Baru, sehingga ia secara rutin melakukan ziarah ke makam kedua Syaikh tersebut di Batusingka.
Demikianlah, melalui hubungan guru-murid yang sangat kompleks, tarekat Sya‹‹Œriyyah di Sumatra Barat menyebar ke berbagai pelosok, yang kemudian diiringi juga dengan menyebarnya ratusan, atau bahkan mungkin ribuan, surau sebagai basis tempat terjadinya belajar-mengajar keilmuan Islam, khususnya tasawuf dan tarekat. Penulis berkeyakinan bahwa nama-nama yang terekam dalam silsilah di atas hanyalah sebagian kecil saja dari jumlah guru-murid yang sesungguhnya, karena penelitian ini sendiri lebih banyak bersifat kepustakaan, dan “hanya” mendasarkan pada data-data dalam naskah-naskah tertulis. Adapun tarekat Sya‹‹Œriyyahnya sendiri hingga kini terus berkembang, dan oleh karenanya, saling-silang hubungan guru dan muridnya pun lebih kompleks lagi. Beberapa laporan penelitian yang dilakukan oleh sejumlah sarjana di IAIN Imam Bonjol Padang, antara lain Arief 1982/1983, Yafas 1990, Bakry 2000 dll., juga seringkali mengandung nama-nama guru tarekat masa kini di daerah-daerah tertentu yang menjadi objek penelitian, akan tetapi, seringkali silsilahnya tidak dapat ditelusuri secara utuh sampai kepada guru-guru tarekat Sya‹‹Œriyyah periode awal, karena ada sejumlah guru yang tidak tercatat, dan mungkin karena rentang waktu yang sudah terlalu jauh.
Penting dikemukakan bahwa, seiring dengan persebaran Islam melalui tarekat di surau-surau tersebut, tradisi penulisan naskah-naskah keagamaan pun semakin tumbuh subur, karena hal tersebut pada akhirnya merupakan bagian tak terpisahkan dari proses belajar-mengajar yang terjadi. Berbeda dengan apa yang terjadi di berbagai wilayah lain, di Sumatra Barat ini, tradisi penulisan naskah keagamaan masih berlangsung hingga kini, dengan tetap menggunakan aksara Jawi sebagai medianya. Sejumlah naskah yang menjadi sumber utama penelitian ini, bahkan ditulis pada awal tahun 2000 ini.
Alhasil, proses islamisasi, dan terutama meningkatnya intensitas perkembangan Islam di Sumatra Barat ini, sama sekali tidak dapat dipisahkan dari tarekat, dalam konteks ini tarekat Sya‹‹Œriyyah, yang sejak akhir abad 17 telah mapan sebagai sebuah institusi. Tak heran kemudian jika hingga kini, sejumlah wilayah di Sumatra Barat masih tetap menjadi basis tarekat, baik tarekat Sya‹‹Œriyyah, Naqsyabandiyyah, maupun Sammaniyyah. Dalam tabel yang dibuat Martin van Bruinessen (1996: 133), tampak bahwa basis tarekat Sya‹‹Œriyyah di Sumatra Barat yang paling kuat terdapat di daerah Padang Pariaman dan Tanah Datar, menyusul kemudian daerah Agam, Solok, Sawah Lunto Sijunjung, Pasaman, dan Pesisir Selatan.[23] Dengan demikian, tarekat Sya‹‹Œriyyah di Sumatra Barat telah melalui jalur persebarannya mulai dari daerah pantai pesisir sampai ke darek atau luhak nan tigo, yaitu: Luhak Tanah Datar, Luhak Agam, dan Luhak Lima Puluh Kota.
7.4. Sifat dan Kecenderungan Tarekat Sya‹‹Œriyyah
di Sumatra Barat
Dari pembahasan–pembahasan yang telah lalu, tampak bahwa sejak awal munculnya di wilayah India, mengalami reformulasi di Haramayn, dan kemudian menyebar ke berbagai bagian dunia Islam lain, termasuk dunia Islam Melayu-Indonesia, tarekat Sya‹‹Œriyyah telah mengalami dan menunjukkan perkembangan yang sangat dinamis dengan munculnya sifat dan kecenderungan yang beragam di masing-masing periodenya, baik menyangkut ritual maupun doktrin ajarannya.
Demikianlah, di wilayah yang menjadi fokus pembahasan penelitian ini, yakni Minangkabau atau kini Sumatra Barat, tarekat Sya‹‹Œriyyah telah menjadi salah satu pilar terpenting dalam pembentukan struktur masyarakat Muslimnya. Ulama-ulama setempat yang mengembangkan tarekat Sya‹‹Œriyyah di wilayah ini, mulai dari Syaikh Burhanuddin Ulakan hingga para khalifah dan murid-muridnya, telah mengalami pergumulan yang demikian intens dengan berbagai unsur dan karakter budaya lokal, sehingga pada gilirannya melahirkan sifat dan kecenderungan ajaran yang khas dan relatif berbeda dengan sifat dan kecenderungan ajaran tarekat Sya‹‹Œriyyah di wilayah lain.
Bagian ini akan mengemukakan beberapa sifat dan kecenderungan ajaran tarekat Sya‹‹Œriyyah di Sumatra Barat tersebut., dengan tetap mendasarkan pada sejumlah data yang terdapat dalam naskah-naskahnya.
7.4.1. Pelucutan Faham Waúdat al-wuj´d
Di antara hal menarik yang muncul di kalangan penganut tarekat Sya‹‹Œriyyah di Sumatra Barat adalah penolakan mereka terhadap doktrin waúdat al-wuj´d. Disebut menarik karena sebelumnya, tokoh-tokoh penting tarekat ini, baik yang berada di Haramayn, terutama Aúmad al-QusyŒsy¥ dan IbrŒh¥m al-K´rŒn¥, maupun ulama Melayu-Indonesia sendiri pada periode awal, seperti Abdurrauf al-Sinkili, dalam karya-karyanya tidak menunjukkan penolakan terhadap doktrin tersebut, melainkan melakukan reinterpretasi dengan mengemukakan penjelasan yang relatif dapat diterima oleh ulama fikih sekalipun.[24]
Penting dijelaskan kembali secara ringkas bahwa doktrin waúdat al-wuj´d adalah sebuah konsepsi tentang Tuhan, hubungannya dengan alam, yang sering dinisbatkan kepada Ibnu ‘Arab¥ (560-638 H/1165-1240 M), seorang sufi asal Andalusia, sebagai arsitek utamanya. Pada dasarnya, para sarjana sepakat bahwa dalam berbagai karangannya, termasuk dalam dua karya utamanya, Fu§´§ al-îikam dan Fut´úŒt al-Makkiyyah, Ibnu ‘Arab¥ tidak pernah menggunakan istilah waúdat al-wuj´d, atau wuj´diyyah. Akan tetapi, berbagai penjelasan Ibnu ‘Arab¥ dalam berbagai karangannya tersebut memang menggambarkan dengan sesungguhnya apa yang dimaksud dengan waúdat al-wuj´d.
Dalam Fu§´§ al-îikam misalnya, Ibnu ‘Arab¥ menegaskan:
كان الكل لله وبالله، بل هو الله
[KŒna al-kullu li AllŒh wa bi AllŒh, bal Huwa AllŒh]
Artinya: “Semua (wuj´d) adalah milik Allah, dan (tercipta) dengan-Nya, bahkan semua (wuj´d) itu adalah Allah sendiri” (Ibn ‘Arab¥, Fu§´§, h. 73).
Atau ungkapannya yang lain:
سبحان من خلق الأشياء وهو عينها
[subúŒna man khalaqa al-asyyŒ’a wa huwa ‘ainuhŒ]
“Maha Suci Zat Yang menciptakan segala sesuatu, dan Dia adalah Zat segala sesuatu itu ” (Ibn ‘Arab¥, Fu§´§, h. 25).
Demikian halnya dalam Fut´úŒt al-Makkiyyah, Ibnu ‘Arab¥ mengatakan:
فما في الوجود إلا الله، ولا يعرف الله إلا الله
[fa mŒ f¥ al-wuj´di illŒ AllŒh, wa lŒ ya’rifu AllŒha illŒ AllŒhu]
“Maka tidak ada dalam wuj´d kecuali Allah, dan tidak ada yang mengenal Allah kecuali Allah” (Ibn ‘Arab¥, Fut´úŒt, IV, 1975: 224).
Berbagai nada ungkapan seperti inilah yang menimbulkan pemahaman pada sebagian sufi lain bahwa Ibnu ‘Arab¥ lah orang yang paling bertanggungjawab dalam pengajaran doktrin yang belakangan dikenal sebagai waúdat al-wuj´d atau wuj´diyyah tersebut, kendati sebagian sufi lainnya mencoba memberikan penjelasan bahwa dengan pernyataan-pernyataannya itu, Ibnu ‘Arab¥ sama sekali tidak bermaksud menyerupakan Tuhan dengan alam (tasyb¥h) secara mutlak, karena pada bagian lain dari karya-karyanya, Ibnu ‘Arab¥ juga tetap menekankan sifat transendensi Tuhan (tanz¥h).
Dalam Fu§´§ al-îikam misalnya, Ibnu ‘Arab¥ mengatakan:
من شبه وما نزهه فقد قيده وحدده وما عرفه
[man syabbaha wa mŒ nazzahahu fa qad qayyadahu wa úaddadahu wa mŒ ‘arafahu]
“Barangsiapa men-tasyb¥h-kan Tuhan dan tidak men-tanz¥h-kan-Nya, maka ia sungguh telah mengekang dan membatasi-Nya, dan ia sendiri berarti tidak benar-benar mengenal-Nya” (Ibn ‘Arab¥, Fu§´§, h. 69).
Terlepas dari adanya perbedaan pandangan dan beragam penafsiran atas ajaran-ajaran Ibnu ‘Arab¥ tersebut, tidak dapat disangkal bahwa hingga beratus-ratus tahun kemudian, doktrin waúdat al-wuj´d selalu memicu perdebatan di kalangan para ulama sufi sendiri, dan bahkan menimbulkan penentangan dari para ulama fikih (syar¥’at), yang lebih menekankan ajaran-ajaran Islam yang bersifat eksoteris (½Œhir) dibanding yang bersifat esoteris (bŒ‹in).
Dalam konteks dunia Melayu-Indonesia sendiri, perdebatan atas doktrin waúdat al-wuj´d tersebut —seperti telah disinggung pada bab sebelumnya— pernah terjadi di Aceh, khususnya pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Sani (1047-1051 H/1637-1641 M). Perdebatan tersebut terjadi antara seorang ulama sufi besar penganut tarekat Rifa’iyah, Nuruddin al-Raniri (w. 1666), dengan para pengikut ajaran wuj´diyyah Hamzah Fansuri dan Syamsuddin al-Sumatrai. Sebagai seorang ulama ortodoks yang lebih mementingkan pengamalan syariat, al-Raniri mengeluarkan fatwa bahwa doktrin wuj´diyyah bersifat heterodoks, menyimpang dari akidah Islam, sehingga mereka yang tidak mau bertobat dan menolak menanggalkan paham tersebut, dapat dianggap kafir, dan dijatuhi hukuman mati (Azra 1994:182).
Berdasarkan sumber-sumber yang ada, perdebatan atas doktrin waúdat al-wuj´d di Aceh ini awalnya dipicu, terutama oleh adanya pemahaman yang tidak tepat terhadap sebuah kitab tasawuf karangan Faèl AllŒh al-Hind¥ al-BurhŒnp´r¥, yang berjudul Tuúfah al-Mursalah IlŒ [R´ú] al-Nab¥. Hal ini misalnya digambarkan oleh IbrŒh¥m al-K´rŒn¥ dalam kitab karangannya, ItúŒf al-ªak¥ yang telah dideskripsikan pada bab sebelumnya, yakni (aslinya berbahasa Arab):
“Kami mendapat kabar terpercaya dari sebagian murid-murid dari tanah Jawi bahwa di negerinya telah tersebar sebagian kitab tentang ilmu hakikat (‘ul´m al-úaqŒ’iq) dan ilmu makrifat (‘ul´m al-asrŒr), yang banyak dibaca oleh masyarakat peminat ilmu pengetahuan yang, sayangnya, tidak benar-benar menguasai terlebih dahulu ilmu syariat yang dicontohkan oleh Nabi Muhammad Saw., dan juga tidak mempelajari terlebih dahulu ilmu hakikat (tasawuf) yang diajarkan oleh para sufi yang “lurus”, dan yang mendasarkan ajarannya hanya pada al-Quran dan hadis Nabi semata, serta yang meneladani orang-orang suci yang bertakwa secara sempurna, lahir dan batin. Kekeliruan inilah yang menyebabkan timbulnya penyimpangan sebagian besar masyarakat Jawi tersebut dari jalan yang benar, memiliki keyakinan yang keliru, bahkan terjerumus ke dalam ajaran atheis (zandaqah) dan sesat (al-ilْúŒd). Kami berlindung kepada Allah dari berbagai kekeliruan, dan dari kejelekan yang tampak dan tidak tampak. Sebagian murid Jawi ini kemudian menceritakan bahwa di antara kitab hakikat paling populer yang banyak menimbulkan salah paham tersebut adalah Tuúfah al-Mursalah IlŒ [R´ú] al-Nab¥ Saw. karangan al-‘rif bi AllŒh Syaikh Muúammad ibn Syaikh Faèl AllŒh al-Hind¥ al-BurhŒnp´r¥…” (Al-K´rŒn¥, ItúŒf al-ªak¥, h. 2r).
Berdasarkan kabar yang diterimanya inilah kemudian al-K´rŒn¥ memberikan penjelasan panjang lebar tentang bagaimana seharusnya doktrin waúdat al-wuj´d —atau al-K´rŒn¥ menyebutnya tauú¥d al-wuj´d— tersebut dipahami. Prinsipnya, menurut al-K´rŒn¥, mengesakan wuj´d Tuhan (tauú¥d al-wuj´d) bisa saja dilakukan oleh para sufi yang telah mencapai martabat spiritual tertentu, kendati tetap tidak boleh bertentangan dengan rambu-rambu yang terdapat dalam al-Quran dan hadis Nabi (lihat kembali penjelasan tentang hal ini dalam pembahasan naskah ItúŒf al-ªak¥ pada bab 6).
Dengan demikian, penting ditegaskan bahwa al-K´rŒn¥, sebagai salah seorang yang sangat mempengaruhi pemikiran Abdurrauf al-Sinkili, sama sekali tidak menolak secara mutlak ajaran waúdat al-wuj´d, melainkan memberikan reinterpretasi atasnya.
Demikian halnya yang dilakukan oleh al-Sinkili. Sebagai khalifah yang paling bertanggungjawab atas penyebaran ajaran dan doktrin tarekat Sya‹‹Œriyyah di dunia Melayu-Indonesia, ia juga melanjutkan apa yang telah dilakukan oleh gurunya, al-K´rŒn¥, dengan menulis berbagai karangan, baik dalam bahasa Arab maupun Melayu, untuk menjelaskan doktrin waúdat al-wuj´d tersebut.
Dalam kitab Tanb¥h al-MŒsy¥ —dan juga kitab Sya‹‹Œriyyah— misalnya, untuk memahami doktrin waúdat al-wuj´d dengan “baik”, al-Sinkili menjelaskan bahwa alam bukan merupakan wuj´d kedua yang benar-benar terpisah dari al-îaq, karena ia adalah pancaran dari Zat-Nya. Dalam hal ini, berarti al-Sinkili mengemukakan konsep imanensi (penyatuan) Tuhan dalam alam (tasyb¥h). Akan tetapi, alam juga bukan Zat al-îaq secara mutlak, melainkan sekedar bayangan-Nya, atau bahkan bayangan dari bayangan-Nya, karena Tuhan adalah Zat Yang Mahaesa, tidak ada sesuatu pun yang menyertai-Nya (lŒ syar¥ka lahu), meskipun Ia selalu menyertai segala sesuatu (al-Muú¥‹). Dalam hal ini, berarti al-Sinkili tetap mempertahankan konsep transendensi Tuhan atas ciptaan-Nya (tanz¥h) (Tanb¥h al-MŒsy¥, h. 7; Sya‹‹Œriyyah, h. 5).
Oleh karenanya, menurut al-Sinkili, kalau ada orang yang mengatakan bahwa alam dan segala sesuatu itu adalah Zat al-îaq sendiri, hal itu sama sekali tidak benar, karena kesatuan wuj´d secara mutlak hanya berlaku pada zaman azali. Pada zaman azali, segala sesuatu memang dihubungkan dengan wuj´d Allah, sehingga ia dapat dikatakan sebagai wuj´d, namun itu pun bukan wuj´d hakiki, karena yang hakiki di zaman azali pun hanya wuj´d Allah, yang lain hanya berada pada tingkat imkŒn al-wuj´d (kemungkinan wuj´d) (Tanb¥h al-MŒsy¥, h. 8).
Kendati tidak menyebutkan nama secara ekplisit, melainkan hanya menyebut “kalau ada orang” yang bersifat umum, dalam konteks Aceh, ungkapan ini tampaknya ditujukan kepada Hamzah Fansuri atau Syamsuddin al-Sumatrai, dengan tujuan untuk mengkritisi pandangan keduanya tentang konsep waúdat al-wuj´d. Akan tetapi, menurut al-Sinkili, mereka yang setuju dengan pandangan ekstrim Hamzah Fansuri atau Syamsuddin al-Sumatrai tersebut juga tidak dapat dihakimi sebagai kafir. Dalam hal ini al-Sinkili berpesan:
“...peliharalah lidahmu dari g¥bah (membicarakan orang lain) dan dari mengkafirkan orang lain, karena pada keduanya terdapat dosa yang besar di sisi Tuhanmu yang Mahaagung; jangan engkau mengutuk saudaramu sesama muslim, karena hal itu akan menjerumuskan engkau menjadi golongan orang yang berdosa pada hari kiamat…” (Tanb¥h al-MŒsy¥, h. 44).
Penjelasan dan reinterpretasi seperti yang diberikan, baik oleh al-K´rŒn¥ dalam ItúŒf al-ªak¥ sebelumnya, maupun oleh al-Sinkili dalam Tanb¥h al-MŒsy¥ dan Sya‹‹Œriyyah di atas tampaknya tidak berkembang di kalangan penganut tarekat Sya‹‹Œriyyah di Sumatra Barat, setidaknya seperti yang tercermin dalam naskah-naskah yang menjadi sumber utama penelitian ini. Mereka umumnya menolak secara tegas faham waúdat al-wuj´d tersebut, tanpa kompromi (lihat juga Bahri 1988: 36, 57). Ketika menjelaskan sifat ajaran Islam yang dikembangkan oleh Syaikh Burhanuddin Ulakan sebagai khalifah utama tarekat Sya‹‹Œriyyah di wilayah ini, misalnya, dalam naskah KitŒb al-Taqw¥m wa al-êiyŒm ditegaskan bahwa:
“…ulama yang menuduh tarekat Syaikh Burhanuddin berfaham waúdat al-wuj´d adalah kurang tahu pada sejarah Syaikh Burhanuddin…di sini kita jelaskan supaya jangan sama pula kita dengan ulama yang buta sejarah itu…(h. 74).
Penjelasan lebih lanjut dikemukakan dalam naskah Kitab Menerangkan Agama Islam di Minangkabau Semenjak Dahulu Dari Syaikh Burhanuddin Sampai Ke Zaman Kita Sekarang sebagai berikut:
“…Islam yang beliau kembangkan ialah… yang berfaham zahirnya kita yang memperbuat batinnya Tuhan yang menjadikan…tidak ada beliau mengajarkan faham yang beriktikad waúdat al-wuj´d…” (h. 117).
Yang menarik bahwa di antara sebab penolakan terhadap doktrin waúdat al-wuj´d tersebut dalam naskah-naskah Sya‹‹Œriyyah adalah karena doktrin ini dianggap bertentangan dengan prinsip-prinsip syariat dalam Islam. Masih dalam kitab yang sama dijelaskan, mereka yang menganut ajaran waúdat al-wuj´d dianggap memiliki pandangan bahwa:
“…Allah semuanya, tidak ada alam hanya Allah semata-mata, artinya tidak ada diri kita hanya Allah semata-mata, dari itulah mereka tidak merasa wajib sembahyang yang memakai ruku’ sujud, hanya merasakan Allah semata-mata meliputi seluruh alam, itulah salat dŒ’im namanya, selalu sembahyang…” (h. 70).
Tampaknya, pelucutan doktrin waúdat al-wuj´d dari keseluruhan ajaran tarekat Sya‹‹Œriyyah di Sumatra Barat ini merupakan bagian dari kecenderungan secara umum rumusan ajaran dan doktrin Syaikh Burhanuddin Ulakan yang memang jauh lebih “lunak” jika dibandingkan dengan rumusan ajaran tarekat Sya‹‹Œriyyah sebelumnya, baik pada masa al-QusyŒsy¥ maupun al-Sinkili.
Seperti tampak dalam penjelasan atas tabel tentang transmisi ritual tarekat Sya‹‹Œriyyah pada Bab 6, sejauh menyangkut hakikat dan tujuan zikir misalnya, jika al-QusyŒsy¥ dalam al-êim‹ al-Maj¥d-nya, dan juga al-Sinkili dalam Tanb¥h al-MŒsy¥, menegaskan bahwa tujuan akhir dari dilakukannya zikir adalah fanŒ, dalam arti fanŒ dari dirinya sendiri, fanŒ dari segala sesuatu di luar dirinya, dan fanŒ dari fanŒ itu sendiri (al-fanŒ ‘an al-fanŒ), maka naskah-naskah Sya‹‹Œriyyah Melayu di Sumatra Barat “hanya” menegaskan bahwa hakikat dan tujuan akhir zikir dalam tarekat adalah untuk membersihkan tubuh lahir dan menyucikan hati.
Sejauh yang penulis ketahui, istilah fanŒ sendiri tidak pernah muncul dalam naskah-naskah Sumatra Barat tersebut. Ungkapan yang bisa dianggap paling ekstrim berkaitan dengan hakikat dan tujuan zikir ini adalah apa yang dikemukakan dalam naskah Kitab Menerangkan Agama Islam di Minangkabau Semenjak Dahulu Dari Syaikh Burhanuddin Sampai Ke Zaman Kita Sekarang, yaitu “menafyikan wuj´d diri dan meisbatkan wuj´d Allah”, yang sesungguhnya merupakan terjemahan dari kalimat zikir lŒ ilŒha illŒ AllŒh (lihat juga Amin 1993: 118-119).
Memang, terlepas dari data dalam naskah-naskah yang dijumpai, dalam perkembangannya, ternyata tidak semua ulama tarekat Sya‹‹Œriyyah di Sumatra Barat menolak faham waúdat al-wuj´d ini; beberapa di antaranya dapat menerima dengan catatan. Buya Abdurrazak Mata Air Pakandangan misalnya, termasuk khalifah tarekat Sya‹‹Œriyyah di Sumatra Barat yang dapat menerima faham waúdat al-wuj´d tersebut. Menurutnya, untuk memahami masalah waúdat al-wuj´d ini, seseorang harus terlebih dahulu mengetahui bahwa wuj´d itu terbagi dua: wuj´d úaq¥q¥ dan wuj´d i’tibŒr¥; wuj´d úaq¥q¥ adalah Tuhan, sedangkan wuj´d i’tibŒr¥ adalah alam atau manusia.
Hubungan Tuhan dan alam atau manusia itu sendiri tidak lepas dari empat pola, yaitu: tidak itti§Œl (berhubungan), tidak infi§Œl (terpisah), tidak úul´l (menempati), dan tidak ittiúŒd (menyatu). Dengan “empat tidak” tersebut, maka Tuhan dan alam atau manusia pada hakikatnya tidak bisa saling menyatu secara mutlak, tapi juga tidak saling terpisah sama sekali.[25] Masalah waúdat al-wuj´d sendiri, menurut Buya Abdurrazak Mata Air Pakandangan, adalah persoalan ©auq (rasa), bukan masalah pikiran, dan bukan pula masalah hukum. Oleh karenanya, tidak semua orang dapat merasakan rasa waúdat al-wuj´d tersebut; mereka yang menyatakan pernah merasakannya pun tidak dapat dihakimi (Bahri 1988: 50-51).
7.4.2. Penegasan dan Aktualisasi Faham
Ahl al-Sunnah wa al-JamŒ’ah
Hal lain yang sangat menonjol dalam ekspresi ajaran tarekat Sya‹‹Œriyyah di Sumatra Barat seperti tercermin dalam naskah-naskahnya adalah penegasan bahwa ajaran teologis yang disampaikan oleh Syaikh Burhanuddin Ulakan bercorak ahl al-sunnah wa al-jamŒ’ah. Hal ini, antara lain, dikemukakan dalam naskah Kitab Menerangkan Agama Islam di Minangkabau Semenjak Dahulu Dari Syaikh Burhanuddin Sampai Ke Zaman Kita Sekarang:
“…Islam yang beliau kembangkan ialah agama Islam yang bermazhab SyŒfi’¥ dan beriktikad ahl al-sunnah wa al-jamŒ’ah …” (h. 117).
Dalam literatur Islam, iktikad ahl al-sunnah wa al-jamŒ’ah adalah sebuah faham teologis yang prinsip-prinsip ajarannya sering dihubungkan dengan ajaran-ajaran teologisnya Ab´ îasan al-‘Asy’ar¥ (260-324 H/873-935 M), seorang ulama Basrah yang dianggap sebagai penggagas teologi ‘Asy’ariyyah. Sebelumnya, Ab´ îasan al-‘Asy’ar¥ adalah penganut teologi Mu’tazilah, sebuah faham teologis yang sangat menekankan kekuatan akal, dan belakangan menjadi sasaran kritik al-‘Asy’ar¥ sendiri (Watt 1999). Di antara ajaran teologisnya, Ab´ îasan al-‘Asy’ar¥ berpandangan bahwa Tuhan tidak mungkin mengetahui dengan esensi-Nya, Tuhan harus mengetahui dengan sifat-Nya. Selain itu, Ab´ îasan al-‘Asy’ar¥ juga berpendapat bahwa al-Quran bukanlah sesuatu yang diciptakan dan bersifat baru (muhda£), melainkan bersifat terdahulu (qad¥m), karena Tuhan telah berfirman sejak zaman azali. Dalam hal perbuatan manusia, Ab´ îasan al-‘Asy’ar¥ berpandangan bahwa manusia tidak menciptakan perbuatannya sendiri, karena tiada pencipta selain Tuhan (Nasution 1985, II: 40).
Ahl al-sunnah wa al-jamŒ’ah sendiri, secara umum berarti “kelompok yang berpegang teguh pada sunnah dan jamaah”. Sesuai dengan namanya, mereka yang menganut faham ahl al-sunnah wa al-jamŒ’ah menjadikan “sunnah”, atau hadis Nabi, dan ijmŒ’[26] sebagai pedoman dalam kehidupan beragama. Dengan demikian, bagi kelompok Muslim yang berfaham ahl al-sunnah wa al-jamŒ’ah , setidaknya ada tiga pedoman yang menjadi rujukan dalam beragama mereka: al-Quran, hadis Nabi, dan ijmŒ’. Kendati ijmŒ’ “hanya” menempati urutan ketiga, dalam kenyataannya, ijmŒ’seringkali menjadi penentu dalam menjustifikasi sebuah persoalan hukum, terutama jika tidak dikemukakan secara spesifik dalam al-Quran dan hadis Nabi.[27]
Apalagi, setelah Nabi wafat, pemahaman terhadap al-Quran, dan juga hadis Nabi —yang memang ditulis dalam bahasa Arab tinggi— tidak mudah dilakukan oleh semua orang, sehingga para sahabat Nabi, dan kemudian diikuti oleh para tŒbi’¥n (pengikut sahabat), dan tŒbi’ tŒbi’¥n (pengikut tŒbi’¥n), serta para ulama besar berikutnya, dianggap sebagai semacam penerjemah yang dapat lebih tepat memahami maksud al-Quran dan hadis Nabi tersebut, sehingga hasilnya pun diangap lebih dapat dipertanggungjawabkan (Dhofier 1994: 151). Dengan demikian, bagi mereka yang menganut faham ahl al-sunnah wa al-jamŒ’ah , ijmŒ’ —yang menghendaki adanya persetujuan mayoritas ummat atau jamŒ’ah dalam membuat sebuah keputusan hukum— menjadi semacam ‘kata kunci’ yang membedakan kelompoknya dengan kelompok lain.
Dalam konteks Indonesia, teologi ahl al-sunnah wa al-jamŒ’ah ini seringkali dihubungkan dengan faham keagamaannya kelompok Muslim ortodoks, seperti mereka yang terhimpun dalam payung Nahdhatul Ulama (NU), sebuah organisasi sosial-keagamaan terbesar di samping Muhammadiyyah. Bahkan, sejumlah tokoh NU telah membuat semacam definisi bahwa yang disebut dengan faham ahl al-sunnah wa al-jamŒ’ah adalah faham yang, selain berpedoman kepada al-Quran, hadis Nabi, dan ijmŒ’ seperti telah dikemukakan, juga berpegang teguh pada tiga tradisi, yakni: mengikuti faham al-‘Asy’ar¥ dan al-MŒt´rid¥ dalam persoalan teologi (tauú¥d), mengikuti faham salah satu dari empat mazhab dalam persoalan hukum (fiqh), yaitu mazhab îanaf¥, MŒlik¥, SyŒfi’¥, atau Hambal¥, dan mengikuti ajaran Al-Junaid al-BagdŒd¥ dalam mempraktekan tasawuf atau tarekat.[28]
Corak keagamaan seperti inilah yang ditegaskan oleh para penganut tarekat Sya‹‹Œriyyah di Sumatra Barat sebagai sifat ajaran Islam yang mereka terima dari Syaikh Burhanuddin Ulakan. Lebih dari itu, secara lebih spesifik lagi, sifat dan kecenderungan keberagamaan para penganut tarekat Sya‹‹Œriyyah di Sumatra Barat ini ditambah dengan keharusan menggunakan úisŒb taqw¥m dalam menghitung bulan, dan menggunakan metode ru’yat al-hilŒl (melihat bulan) dalam menentukan awal bulan Ramadhan dan Idul Fitri. Hal ini, dikemukakan, antara lain, dalam naskah KitŒb al-Taqw¥m wa al-SiyŒm sebagai berikut:
“…yang bermazhab SyŒfi’¥, Beriktikad ahl al-sunnah wa al-jamŒ’ah , bertasawuf atas tarekat Syattari, membilang bulan memakai úisŒb taqw¥m , dan memasuki puasa dengan ru’yat al-hilŒl, artinya melihat bulan di malam ketiga puluh Sya’ban…” (h. 72).
Kecenderungan untuk menganut mazhab SyŒfi’¥ seperti dikemukakan dalam kutipan di atas juga patut digaribawahi, karena dalam kenyataannya, hanya mazhab SyŒfi’¥ lah yang dipraktekkan oleh para penganut tarekat Sya‹‹Œriyyah. Kutipan wawancara dengan salah seorang tokoh tarekat Sya‹‹Œriyyah di Padang Pariaman, A. Razak Tuanku Mudo, yang penulis kutip dari penelitian Nazar Bakry (2000: 42) di bawah ini, menggambarkan ketatnya kecenderungan para penganut tarekat Sya‹‹Œriyyah tersebut terhadap mazhab SyŒfi’¥ hingga masa kini:
“…untuk memberi ceramah pada pelaksanaan dakwah tarekat Sya‹‹Œriyyah, haruslah ulama Sya‹‹Œriyyah yang beraliran mazhab Syafe’i, karena agama Islam yang dikembangkan adalah bermazhab Imam Syafe’i dengan tarekatnya Sya‹‹Œriyyah…”
Penting juga dikemukakan bahwa di antara sifat dan kecenderungan mazhab SyŒfi’¥ —yang diakui sebagai satu-satunya mazhab anutan para penganut tarekat Sya‹‹Œriyyah di Sumatra Barat (Bakry 2000: 49)— adalah responnya yang relatif fleksibel dalam menyikapi berbagai dinamika keberagamaan ummat, serta tradisi dan budaya lokal. Hal ini antara lain karena dalam menyusun sebuah pemikiran hukum, ImŒm SyŒfi’¥ mengembangkan kaidah-kaidah fikih (legal maxims, qawŒ’id al-fiqh), yang dapat menentukan bentuk akhir keputusan hukum yang akan diambil jika kondisi dan persyaratan yang melatarbelakangi suatu masalah —yang tadinya sudah diputuskan— mengalami perubahan. Kaidah-kaidah tersebut telah disistematisasikan oleh ImŒm SyŒfi’¥ sendiri lebih dari 12 abad silam melalui sebuah cabang ilmu yang kemudian disebut u§´l al-fiqh. Atas “jasa” kaidah-kaidah dalam u§´l al-fiqh ini lah, ritual keagamaan para penganut mazhab SyŒfi’¥, termasuk di dalamnya para penganut tarekat Sya‹‹Œriyyah di Sumatra Barat, menjadi lebih kaya dan dinamis, kendati tetap dalam batasan-batasan tertentu (Wahid 1989: 198).
Tidak heran kemudian, jika dalam naskah RisŒlah M¥zŒn al-Qalb, corak keberagamaan para penganut tarekat Sya‹‹Œriyyah “didefinisikan” melalui berbagai ritual dan faham keagamaan sebagai berikut:
1. melafazkan u§all¥ dalam niat salat;
2. wajib membaca basmallah dalam surat al-fŒtiúah;
3. membaca doa qunut seraya mengangkat tangan pada salat subuh;
4. menentukan awal bulan Ramadhan dan Idul Fitri melalui rukyat (melihat bulan);
5. melaksanakan salat tarawih sebanyak 20 rakaat dan witir 3 rakaat di bulan Ramadhan;
6. mentalkinkan mayat;
7. sunat menghadiahkan pahala bacaan bagi orang yang telah mati;
8. ziarah kubur ke makam Nabi dan orang-orang saleh adalah sunat;
9. merayakan maulid Nabi Muhammad Saw. pada bulan Rabiul Awwal dengan, antara lain, membaca Barjanzi;
10. sunat berdiri saat membaca barjanzi (asyraqal);
11. sunat menambah kata “wa bi úamdihi” setelah bacaan subúŒna rab¥ al-‘a½¥m ketika ruku’ dan subúŒna rab¥ al-a’lŒ ketika sujud;
12. sunat menambahkan kata “sayyidinŒ” sebelum menyebut nama Muhammad;
13. memperingati kematian mayat (tahlil) hingga hari ketiga, ketujuh, dan keseratus;
14. Allah memiliki sifat, dan mempelajari sifat Allah yang 20 hukumnya wajib;
15. wajib mengganti (qa茒) salat yang tertinggal, baik sengaja atau tidak sengaja;
16. dianjurkan mempelajari tasawuf dan tarekat;
17. sunat membaca zikir lŒ ilŒha illŒ AllŒh berjamaah setelah salat wajib;
18. bertawasul ketika berdoa tidak termasuk perbuatan syirik;
19. menyentuh al-Quran tanpa berwudlu hukumnya haram;
20. wajib mencuci setiap barang yang disentuh anjing dengan tujuh kali siraman air dan salah satunya dengan tanah;
21. bersentuhan kulit laki-laki dan perempuan yang bukan mahram membatalkan wudlu;
22. orang yang sedang berhadas besar (junub) tidak sah mengerjakan salat malam sebelum mandi;
23. azan pertama dalam sembahyang jumat hukumnya sunat;
24. salat sunat sebelum salat jumat hukumnya sunat;
25. menjatuhkan talak ketika istri sedang haid hukumnya sah;
26. menulis ayat al-Quran dengan huruf latin hukumnya haram;
27. surga dan neraka itu kekal keduanya;
28. al-Quran itu bersifat qadim;
29. alam bersifat baru (muúda£);
30. talak yang dijatuhkan tiga kali sekaligus berarti jatuh talak tiga.
Seperti tampak dalam daftar faham dan ritual kaum Syattari di atas, beberapa di antaranya adalah merupakan faham teologis yang dikembangkan oleh Ab´ îasan al-Asy’ar¥, yakni: Tuhan memiliki sifat, dan wajib hukumnya mempelajari sifat Tuhan yang dirumuskan oleh al-Asy’ar¥ menjadi 20 sifat, al-Quran itu bersifat qad¥m, surga dan neraka itu kekal keduanya, dan alam bersifat baru (muúda£).
Penting diperhatikan bahwa beberapa ritual kaum Sya‹‹Œriyyah di Sumatra Barat yang disebutkan di atas, khususnya yang bersifat fiqhiyyah, seperti melafazkan u§all¥ dalam niat salat, melaksanakan salat tarawih sebanyak 20 rakaat dan witir 3 rakaat di bulan Ramadhan, merayakan maulid Nabi Muhammad Saw. pada bulan Rabiul Awwal dengan, antara lain, membaca Barjanzi, memperingati kematian mayat (tahl¥l) hingga hari ketiga, ketujuh, dan keseratus, dan beberapa lainnya, telah mendapat tantangan dari kelompok Muslim lain yang di Sumatra Barat diidentifikasi sebagai sebagai kaum muda (baca: modernis), karena dianggap tidak memiliki pijakan yang kuat dalam hadis Nabi, apalagi al-Quran. Dalam sejarahnya, ritual-ritual semacam itu —menurut kaum muda— “hanya” dijustifikasi oleh fatwa sejumlah ulama periode kemudian melalui institusi ijmŒ’.
Akan tetapi, karena kaum Sya‹‹Œriyyah di Sumatra Barat, yang diidentifikasi sebagai kaum tua (baca: tradisionalis), menyatakan diri sebagai menganut faham ahl al-sunnah wa al-jamŒ’ah , maka ritual semacam itu tidak menjadi persoalan, dan bahkan sudah menyatu menjadi identitas sosial keagamaan mereka, karena —seperti telah dikemukakan— faham ahl al-sunnah wa al-jamŒ’ah menjadikan ijmŒ’ sebagai salah satu pedomannya dalam menentukan sebuah keputusan hukum.
Dalam beberapa sumber lain, identitas keberagamaan para penganut tarekat Sya‹‹Œriyyah di Sumatra Barat ini juga didefinisikan dengan apa yang mereka sebut sebagai “dua puluh satu amanah”, yakni sejumlah ajaran dan ritual yang bersifat mengikat dan tidak boleh diubah. Materi tentang “dua puluh satu amanah” —yang memang tercantum dalam Anggaran Dasar dan Rumah Tangga Jamaah Sya‹‹Œriyyah Sumatra Barat— ini senantiasa disosialisasikan oleh guru-guru tarekat Sya‹‹Œriyyah dalam berbagai pengajiannya.[29] Adapun kedua puluh satu amanah itu adalah sebagai berikut:
1. Puasa harus dengan melihat bulan (ru’yat al-hilŒl);
2. Salat tarawih 20 rakaat, ditambah witir 3 rakaat;
3. Membaca u§all¥ dalam niat sembahyang;
4. Membaca basmalah pada surat al-FŒtiúah dan permulaan surat dalam al-Quran;
5. Membaca doa qunut di waktu salat subuh;
6. Menentukan awal bulan dengan úisŒb taqw¥m, kecuali bulan Ramadan dan Idul Fitri, dengan melihat bulan;
7. Bermazhab kepada ImŒm SyŒfi’¥;
8. Beriktikad dengan iktikad ahl al-sunnah wa al-jamŒ’ah ;
9. Membaca wa bi úamdihi ketika ruku’ dan sujud dalam salat;
10. Bertahlil dan berzikir;
11. Khutbah Jumat dengan hanya menggunakan bahasa Arab;
12. Berdoa (tahl¥l) pada setiap kematian;
13. Mentalkinkan mayat;
14. Ziarah kubur ke makam para ulama dan orang saleh;
15. Bertarekat dengan tarekat Sya‹‹Œriyyah;
16. Baiat kepada guru tarekat;
17. Melakukan tawa§§ul kepada guru pada saat berdoa;
18. Pergi bersafar ke Ulakan;
19. Memperingati maulid Nabi dengan membaca
Syaraf al-AnŒm;
20. Berdiri ketika sampai pada bacaan asyraqal dalam barjanzi[30];
21. Memakai kopiah di waktu sembahyang.
Dari butir-butir di atas, tampak jelas bahwa rumusan identitas keberagamaan para penganut tarekat Sya‹‹Œriyyah di Sumatra Barat ini sangat khas dan bernuansa lokal, kendati beberapa ritual di antaranya juga terdapat dalam tradisi beragama dalam komunitas Muslim lain, seperti dalam tradisi masyarakat Nahdatul Ulama (NU) di Jawa misalnya.
7.4.3. Pengajian Tubuh
Pada dasarnya, substansi dari apa yang disebut sebagai “pengajian tubuh” di Sumatra Barat ini bukanlah merupakan wacana yang baru dalam konteks tasawuf sendiri, khususnya tasawuf falsafi, karena yang ingin dikemukakan terutama adalah mengenai hubungan ontologis antara Tuhan dan alam, dalam hal ini manusia. Tema seperti ini tentu saja sudah sejak awal menjadi topik pembicaraan para sufi, termasuk tokoh-tokoh sufi dalam tarekat Sya‹‹Œriyyah. Abdurrauf al-Sinkili misalnya, dalam Tanb¥h al-MŒsy¥ dan juga Sya‹‹Œriyyah, sebelum menjelaskan makna sesungguhnya dari doktrin waúdat al-wuj´d, terlebih dahulu mengemukakan pembahasan menyangkut hubungan ontologis antara Tuhan dan alam tersebut, antara al-îaq dan al-Khalq, antara Sang Pencipta dan ciptaan-Nya, antara Yang Esa dan yang banyak, antara al-wuj´d dan al-mauj´dŒt, antara wŒjib al-wuj´d dan al-mumkinŒt.[31]
Penulis mengkategorikan pengajian tubuh ini sebagai sifat yang khas dari tarekat Sya‹‹Œriyyah di Sumatra Barat karena, setidaknya, dua alasan:
Pertama, pengajian tubuh benar-benar menjadi materi pokok dalam keseluruhan ajaran tarekat yang disampaikan oleh Syaikh Burhanuddin Ulakan ini. Hal ini tampak, antara lain, dari materi yang terdapat dalam naskah-naskahnya, —khususnya naskah Pengajian Tarekat dalam penelitian ini— yang memang memberikan penekanan pada pemahaman tentang hakikat penciptaan dan kehendak manusia, serta hubungannya dengan hakikat Zat dan kehendak Tuhan, selain tentu saja materi tentang tatacara zikir seperti telah dikemukakan. Selain itu, pengajian tubuh juga merupakan salah satu materi pokok yang selalu diajarkan oleh guru-guru tarekat Sya‹‹Œriyyah di Sumatra Barat dalam wirid pengajian khusus mereka, selain materi tasawuf lainnya.
Bagi para penganut tarekat Sya‹‹Œriyyah di Sumatra Barat ini, pengajian tubuh diperlukan sebagai landasan dan latihan (riyŒèah al-nafs) sebelum sampai kepada apa yang mereka sebut sebagai “kurrah”, yakni suatu usaha yang bertujuan guna mengembalikan tubuh yang kasar (a’yŒn khŒrijiyyah) kepada tubuh yang halus (a’yŒn £Œbitah).[32] Selain itu, pengajian tubuh juga diyakini dapat menjadi sarana agar seorang penganut tarekat Sya‹‹Œriyyah mengenal diri (tubuh)nya, sehingga ia akan mampu menangkis segala godaan syetan dan hawa nafsunya (Yafas 1990: 7).
Kedua, materi pengajian tubuh merupakan bagian terpenting dalam berbagai ekspresi ajaran tarekat Sya‹‹Œriyyah yang bersifat lokal. Hal ini antara lain terlihat dari keseluruhan materi dalam kesenian salawat dulang —seperti akan dikemukakan di bawah— yang merupakan bentuk kesenian di Sumatra Barat dengan nuansa sufistis yang sangat kental.
Materi pengajian tubuh sendiri bermuara pada satu keyakinan bahwa tubuh manusia memiliki dua sisi: bagian yang kasar (lahir) dan bagian yang halus (batin). Pada hakikatnya, bagian tubuh lahir tidak mempunyai kemampuan dan kehendak apa-apa, karena bagian tubuh batin lah yang menggerakannya (Deram 1992: 1-3). Tubuh lahir sendiri, yang dalam konsep tasawuf merupakan bagian dari apa yang disebut sebagai a’yŒn khŒrijiyyah, terdiri dari empat unsur, yaitu: api, angin, air, dan tanah.[33]
Contoh ungkapan pengajian tubuh di kalangan penganut tarekat Sya‹‹Œriyyah di Sumatra Barat adalah seperti dikemukakan dalam naskah Pengajian Tarekat (h. 1-3):
Hidup tubuh nan kasar dihidup tubuh nan batin
Tahu tubuh nan kasar ditahu tubuh nan batin
Kuasa tubuh nan kasar dikuasa tubuh nan batin
Barkahandak tubuh nan kasar dibarkahandak tubuh nan batin
Mandangar tubuh nan kasar dimandangar tubuh nan batin
Malihat tubuh nan kasar dimalihat tubuh nan batin
Barkata tubuh nan kasar dibarkata tubuh nan batin
Ditegaskan juga pada bagian lain dari naskah Pengajian Tarekat tersebut:
“…a’yŒn khŒrijiyyah tubuh nan kasar samangat yang tahu di sakit, padih, haus, dan lapar; a’yŒn £Œbitah tubuh yang halus, si ujud ‘Œm nan sabanar-banar diri; ujud maúad Tuhan yang barnama Allah… (h. 6)
Adapun contoh materi pengajian tubuh yang telah diramu menjadi untaian lirik dalam kesenian salawat dulang adalah seperti yang ditulis oleh Firdaus Binulia dari Akademi Seni Karawitan Indonesia (ASKI), Padang Panjang, dengan sedikit koreksi dari penulis pada bagian terjemahan:
"Lailahailallah" e kalau dibaco | LŒ ilŒha ilŒ AllŒh kalau dibaca |
Kulimahnyo ampek janganlah lupo | Kalimatnya empat janganlah lupa |
O kulimah LA jokalau dikato | Kalimat LŒ jika dikata |
A'yan karaji'ah manjadi singajo | A'yŒn khŒrijiyyah menjadi sengaja |
O tubuah nan kasa kulit dagiangnyo | Tubuh yang kasar kulit dagingnya |
Baurek batulang barabu balimpo | Berurat bertulang rabu dan limpa |
Bahati bajantuang dipandang barupo | Hati dan jantung dipandang berupa |
O pado hakikat o mait samato | Pada hakikatnya mayat semata |
Kulimah ILAHA janganlah lengah | LŒ IlŒha janganlah lengah |
I yaitu tubuah a'yan sabita | Yaitu tubuh a'yŒn £Œbitah |
Yaitu rohani di nyawa nan jilah | Yaitu rohani nyawa yang jilah |
Tidak bakulik badagiang badarah | Tidak berkulit daging dan darah |
Tidak baurek la batulang sabuah | Tidak berurat tulang sebuah |
O lei tidak barabu na bajantuang la de bahati | Tidak berabu jantung dan hati |
O de tak dapek nan dipandang iyo lai jo mato ini | Tidak dapat dipandang dengan mata ini |
Iyo tak dapek didanga o de nan jo talingo ini | Tidak dapat didengar dengan telinga ini |
7.5. Pribumisasi Tarekat Sya‹‹Œriyyah:
Ekspresi Ritual Dalam Bingkai Lokal
Penting dikemukakan bahwa secara umum, kedatangan Islam di Dunia Melayu-Indonesia telah memunculkan berbagai perkembangan dan dinamika baru, baik yang menyangkut kehidupan sosial-keagamaan masyarakatnya, maupun khazanah budaya dan keilmuannya. Konflik dan akomodasi antara nilai-nilai dan budaya Islam dengan budaya dan tradisi setempat, pada gilirannya berhasil memunculkan berbagai varian Islam di Dunia Melayu-Indonesia, yang biasa disebut sebagai “Islam lokal” (local Islam). Tentu saja, karena lahir dalam konteks dan kultur yang berbeda, Islam lokal ini memiliki karakter dan nuansa khas yang agak berbeda dengan Islam “great tradition” (Azra 2002: 2).
Di satu sisi, munculnya fenomena Islam lokal tersebut tidak jarang dipandang oleh sebagian peneliti sebagai bentuk penyimpangan dari apa yang disebut sebagai Islam murni (Ricklefs 1979) dan bersifat sinkretis (Geertz 1976). Akan tetapi, di sisi lain, tidak sedikit juga para sarjana yang bersikap lebih apresiatif dengan menganggap bahwa setiap bentuk artikulasi Islam di suatu wilayah akan berbeda dengan bentuk artikulasi Islam di wilayah lain. Masalahnya, perbedaan tersebut tidak sepatutnya dipandang sebagai bentuk Islam sinkretik —pernyataan yang pejoratif sebagai Islam tidak murni, melainkan justru merupakan sumbangsih masyarakat setempat dalam memperkaya mozaik budaya Islam itu sendiri (Woodward 1989). Selain itu, fenomena Islam lokal juga dapat dianggap sebagai usaha kreatif dari suatu masyarakat untuk memahami dan menerjemahkan Islam sesuai dengan budaya mereka sendiri (Hooker 1983: 1-22).
Demikian halnya dengan tarekat Sya‹‹Œriyyah. Dalam bab-bab terdahulu, tampak bahwa sepanjang sejarahnya, rumusan bentuk dan kecenderungan ajaran serta ritual tarekat Sya‹‹Œriyyah selalu dipengaruhi oleh berbagai unsur dan tradisi lokal, sehingga karenanya, ekspresi ritual tarekat Sya‹‹Œriyyah di suatu tempat dan masa tertentu seringkali menjadi berbeda dengan ekspresi ritual di tempat dan masa yang lain. Ini pula yang membuat watak serta kecenderungan tarekat Sya‹‹Œriyyah di masing-masing wilayah menjadi khas, sehingga menunjukkan adanya dinamika sepanjang perkembangannya.[34]
Ketika tarekat Sya‹‹Œriyyah masuk ke Sumatra Barat pun, muncul pula berbagai ekspresi ritual tarekat yang sangat kental nuansa lokalnya. Di antara contoh bentuk ekspresi ritual tarekat bersifat lokal yang akan dikemukakan pada penelitian ini adalah ritual basapa dan kesenian salawat dulang.
7.5.1. Basapa
Basapa adalah sebuah ritual dalam bentuk ziarah secara serentak ke makam Syaikh Burhanuddin di Padang Sigalundi Ulakan. Kendati Syaikh Burhanuddin Ulakan adalah tokoh ulama tarekat Sya‹‹Œriyyah, tetapi dalam acara basapa ini, mereka yang hadir tidak terdiri dari penganut tarekat Sya‹‹Œriyyah saja, melainkan juga masyarakat Muslim pada umumnya (Bakry 2000: 55). Dapat dipastikan bahwa ritual basapa ini dilakukan untuk menghormati Syaikh Burhanuddin Ulakan yang dianggap telah berjasa dalam penyebaran tarekat Sya‹‹Œriyyah khususnya, dan Islam pada umumnya. Dalam setiap tahunnya, ziarah bersama ini dilakukan pada hari Rabu setelah tanggal 10 Safar, dan oleh karena jatuh pada bulan Safar inilah ritual tersebut dinamakan basapa (bersafar). Penentuan acara basapa setelah tanggal 10 Safar sendiri berkaitan dengan hari yang diyakini sebagai tanggal wafatnya Syaikh Burhanuddin Ulakan, yaitu 10 Safar 1111 H/1691 M (Yafas dkk. 1984: 57).
Menurut beberapa sumber lokal, ritual basapa mulai dilakukan oleh para pengikut Syaikh Burhanuddin Ulakan pada sekitar tahun 1316 H/1897 M. Sebelumnya, ziarah ke makam Syaikh Burhanuddin Ulakan dilakukan pada waktu yang tidak ditentukan. Dalam naskah Inilah Sejarah Ringkas Auliyaullah al-Salihin Syaikh Burhanuddin Ulakan yang Mengembangkan Agama Islam di Daerah Minangkabau misalnya, diceritakan:
“…Adapun dahulunya, yaitu sebelum tahun 1316 H, orang datang berziarah ke makam Ulakan tidak bertentukan bulan dan harinya, malahan menurut kemauan satu-satu negeri saja dengan ulamanya, ada yang di bulan Rab¥’ al-Awwal, ada yang di bulan Rab¥’ al-Akh¥r, ada yang di bulan Rajab, di bulan Sya’ban, di bulan Ramadlan, di bulan SyawwŒl, di bulan ª´ al-Qa’dah, dan di bulan ª´ al-îijjah…” (h. 113).
Kemudian, dua orang ulama pewaris ajaran Syaikh Burhanuddin Ulakan, yakni Syaikh Kepala Koto Pauh Kambar dan Syaikh Tuanku Kataping Tujuh Koto di Kalampayan Ampalu Tinggi mengambil inisiatif untuk bermusyawarah dengan sejumlah ulama tarekat Sya‹‹Œriyyah lainnya untuk merumuskan dan menentukan waktu ziarah bersama ke makam Syaikh Burhanuddin Ulakan. Dan dalam sebuah pertemuan yang berlangsung di Ulakan, Syaikh Kepala Koto Pauh Kambar menjelaskan bahwa jika ziarah ke makam Syaikh Burhanuddin di Ulakan dapat dilaksanakan dalam waktu yang bersamaan, maka banyak hal yang dapat dilakukan secara bersamaan, antara lain adalah membicarakan berbagai persoalan keagamaan di kalangan penganut tarekat Sya‹‹Œriyyah, seperti penentuan awal bulan Ramadan dan hari raya Idul Fitri (Amin 1993: 115). Akhirnya, dalam pertemuan itu pula diputuskan bahwa ziarah ke makam Syaikh Burhanuddin Ulakan akan dilaksanakan secara rutin pada setiap hari Rabu setelah tanggal 10 Safar:
“…Kemudian, sepakatlah kerapatan untuk menetapkan ziarah bersama itu sekali setahun ke makam Syaikh Burhanuddin, disatukan bulannya dan harinya, yaitu hari Arba’ sesudah sepuluh Safar.…Maka dimulailah ziarah bersama itu yang pertama kalinya pada hari Arba’ 16 Safar tahun 1316 H…” (h. 116).
Semenjak itu, basapa menjadi ritual rutin tahunan yang tak pernah terlewatkan oleh para penganut tarekat Sya‹‹Œriyyah, karena bagi mereka, basapa menjadi bagian tak terpisahkan dari ritual tarekat Sya‹‹Œriyyah itu sendiri. Dan dalam perkembangannya kemudian, basapa tidak hanya dihadiri oleh para penganut tarekat Sya‹‹Œriyyah dari Sumatra Barat saja, melainkan juga dari berbagai wilayah lain seperti Jambi, Palembang, Riau, Sumatra Utara, bahkan dari negeri jiran, seperti Malaysia (Bakry 2000: 57). Bagi sebagian pengikut Sya‹‹Œriyyah yang fanatik, basapa bahkan dijadikan sebagai ritus wajib, karena mereka meyakini —meskipun hal ini juga ditentang oleh sebagian ulama tarekat Sya‹‹Œriyyah lain— bahwa ritus ini dapat menggantikan pahala naik haji ke Tanah Suci Makkah.[35]
Dalam pelaksanaannya sendiri, ritual basapa umumnya diisi dengan tiga kegiatan utama, yaitu: pertama, ziarah dan berdoa di makam Syaikh Burhanuddin Ulakan; kedua, salat, baik salat wajib maupun sunnat; dan ketiga, zikir. Tetapi tidak sedikit pula yang mengisi —terutama pada hari-hari terakhir— ritual basapa ini dengan upacara menyendiri ke hutan-hutan dan ke bukit-bukit sunyi pada hari Rabu di akhir bulan Safar itu. Pada waktu itu mereka meninggalkan rumah atau tempat masing-masing, pergi ke hutan-hutan atau ke bukit-bukit sunyi untuk melaksanakan hajat-hajat tertentu sesuai dengan apa yang diajarkan sang guru kepada mereka (Daya 1990: 183).
Kendati pada awalnya dimaksudkan untuk beribadah semata, akan tetapi, bagi sebagian kalangan, beberapa praktek ritual yang dilakukan oleh para pengikut tarekat Sya‹‹Œriyyah ketika melakukan basapa ini dianggap sudah berlebihan dan tidak sesuai dengan ajaran Islam. Di antara ritual yang banyak mengundang kritik tersebut adalah: sesajen yang ditaruh di atas kuburan, salat di atas kuburan, menjadikan air yang sudah ditaruh di atas kuburan sebagai obat yang dapat menyembuhkan, salat sunat “Burha”, dan beberapa lainnya.[36]
Di tengah pro-kontra tersebut, pelaksanaan basapa sendiri hingga kini tetap berlangsung, bahkan dilakukan di bawah koordinasi pemerintah daerah Padang Pariaman. Dalam konteks Sumatra Barat ini, basapa tampaknya telah menjadi bagian dari bentuk keberagamaan lokal yang tidak akan mudah hilang, karena nilai-nilainya telah mengakar dalam kultur sebagian masyarakatnya, khususnya masyarakat penganut tarekatnya Syaikh Burhanuddin Ulakan itu. Bagi para pengikut tarekat Sya‹‹Œriyyah di Sumatra Barat sendiri, basapa telah menjadi semacam medium untuk mengekspresikan ritual tarekat mereka, sehingga karenanya, menjadi bagian tak terpisahkan dari keseluruhan corak keberagamaannya.
Dalam perkembangannya kini, ritual basapa ternyata tidak hanya dilaksanakan di makamnya Syaikh Burhanuddin Ulakan saja, melainkan juga di beberapa makam guru tarekat lain yang memiliki pengaruh besar semasa hidupnya. Para penganut tarekat Sya‹‹Œriyyah di daerah Taluk, Lintau Buo, Tanah Datar, misalnya, pada setiap tahunnya melaksanakan pergi bersafar (basapa) ke makam Syaikh Tuanku Kalumbuk, yang merupakan khalifah tarekat Sya‹‹Œriyyah di wilayah Taluk. Basapa “lokal” tersebut biasanya dilaksanakan pada hari selasa malam di bulan Safar, seminggu setelah pelaksanaan “Safar Gadang” di makam Syaikh Burhanuddin Ulakan (Yafas 1988: 58).
7.5.2. Salawat Dulang
Dalam awal kemunculannya, salawat dulang merupakan sebuah media yang digunakan oleh Syaikh Burhanuddin Ulakan dalam mendakwahkan Islam, khususnya ajaran-ajaran tarekat Sya‹‹Œriyyah. Konon, Syaikh Burhanuddin Ulakan sendiri pertama kali memperoleh inspirasi untuk mendendangkan ajaran-ajaran Islamnya, ketika ia belajar Islam di Aceh, dan menyaksikan ajaran Islam yang disampaikan melalui pendendangan dengan diiringi rebana.[37] Ketika saatnya kembali ke Minangkabau, ia pun melakukan hal yang serupa, yakni menyampaikan ajaran-ajaran Islam melalui pendendangan, tetapi tidak diiringi rebana, melainkan dulang atau talam.[38] Umumnya, bentuk dulang adalah bulat berupa lingkaran dengan diameter sekitar 60 cm. Bagian tengahnya datar, sedangkan pinggir kelilingnya mempunyai bibir yang tingginya sekitar 3 cm dari dasar, dengan luas bibir kira-kira 3 cm pula (Roust 1998/1999: 42).
Ternyata, metode dakwah Syaikh Burhanuddin Ulakan dengan cara pendendangan tersebut cukup efektif, terbukti bahwa dengan caranya itu, lebih banyak dan lebih mudah lagi orang Minangkabau menerima ajaran-ajaran yang disampaikan. Pada akhirnya, tradisi mendendangkan ajaran tarekat yang diiringi dengan dulang ini dilanjutkan oleh murid-murid Syaikh Burhanuddin Ulakan, hingga saat ini, dan disebut dengan salawat dulang (Amir 1990: 3).
Salawat dulang sendiri kini telah tersebar di berbagai pelosok di Sumatra Barat sebagai sebuah bentuk kesenian, yang di beberapa daerah tertentu lebih dikenal dengan nama “salawat talam”.[39] Dalam prakteknya, sebuah pertunjukan salawat dulang selalu terdiri dari minimal dua grup, yang tampil secara bergantian, dan diatur sedemikian rupa sehingga antarkelompok tersebut terjadi dialog, tanya jawab, saling menyindir, dan sebagainya. Setiap grup biasanya terdiri dari dua orang tukang salawat, yang satu disebut “induk”, dan yang lainnya disebut “anak” (Amir 1990: 1; Mardius 1995: 19). Kendati pada masa kini sudah relatif lebih longgar, pada awalnya pertunjukan salawat dulang harus ditampilkan di surau atau mesjid, dalam berbagai acara keagamaan dan kemasyarakatan, seperti: Maulid Nabi, Peringatan Isra Miraj, peresmian surau atau mesjid, penggalangan dana pembangunan mesjid, malam sebelum atau sesudah khatam al-Quran di bulan Ramadan, dan lain-lain (Amir 1990: 5; Mardius 1995: 5).
Dalam pertunjukan salawat dulang, kedua tukang salawat, yang masing-masingnya memegang dulang, duduk bersila dan melipatkan kaki; induk duduk di sebelah kanan dan anak di sebelah kiri. Kedua dulang diletakan di atas kaki kanan, tangan kiri ditaruh pada bagian pinggir atas dulang, sementara tangan kanan ditempatkan pada bagian pinggir bawah dulang. Selama mendendangkan salawat, kedua tukang salawat ini biasanya menggerak-gerakkan kepalanya dengan menoleh ke kiri dan ke kanan, seraya memicingkan mata, dan saling bersahutan antara induk dan anak, sehingga tidak terdengar ada jeda di antaranya (Mardius 1995: 19).
Penting dikemukakan bahwa sebelum menjadi “pemain”, para pendendang salawat dulang disyaratkan untuk masuk ke dalam ikatan tarekat Sya‹‹Œriyyah terlebih dahulu, karena tujuan pokok dari salawat dulang adalah menyampaikan ajaran-ajaran tarekat, khususnya tarekat Sya‹‹Œriyyah di kalangan masyarakat Minangkabau (Amir 1990: 3; Mardius 1995: 4). Oleh karenanya, bagi para pendendang tersebut, salawat dulang tidak hanya merupakan kegiatan berkesenian, melainkan lebih dari itu adalah merupakan cara mereka mengekspresikan ritual tarekatnya. Tidak mengherankan kemudian bahwa bait-bait salawat dulang yang didendangkan pun sangat sarat dengan nilai-nilai sufistik. Dan seperti telah dikemukakan, bait-bait dalam salawat dulang juga seringkali mengandung materi “pengajian” yang dikenal di kalangan penganut tarekat Sya‹‹Œriyyah di Sumatra Barat sebagai “pengajian tubuh”[40], selain tema-tema lainnya seperti nasihat untuk memperkuat keimanan, cerita tentang kehidupan akhirat, penyerahan diri kepada Sang Pencipta, dan lain-lain.
Umumnya, struktur salawat dulang terdiri dari tiga komponen utama: pertama, katubah (khutbah), yang berisi pembukaan, puji-pujian kepada Allah dan Nabi Muhammad, perkenalan, basa-basi atas kekurangan grupnya, dan pengantar tentang apa yang akan dibicarakan (dibaco) dalam bagian berikutnya; kedua, batang (isi pokok); dan ketiga, panutuik (penutup) (Amir 1990: 8).
Sebuah katubah, biasanya diawali dengan “imbauan katubah”, atau yang disebut juga dengan “saruan” atau imbauan salawat, yang bertujuan sebagai pembukaan, demikian halnya sebelum masuk ke dalam “batang”, biasanya diawali juga dengan “imbauan lagu batang”, yang berisi persiapan menuju lagu dalam batang. Pada permulaan lagu batang inilah, dulang atau talam mulai dimainkan (ditabuh) untuk mengiringi bait-bait syair yang dibacakan. Setelah lagu batang selesai, pendendangan dilanjutkan dengan Yamolai I, yang juga diawali dengan imbauan Yamolai I. Biasanya, syair dalam Yamolai ini merupakan persembahan kepada yang dimuliakan (seperti Nabi Muhammad Saw.). Setelah itu, pendendangan salawat dulang dilanjutkan lagi dengan Yamolai II, yang juga didahului dengan imbauan Yamolai II. Setelah selesai Yamolai II inilah, kemudian pendendangan salawat dulang masuk pada bagian yang umumnya disukai oleh para pendengarnya, karena mulai membacakan syair-syair bernuansa sufistis yang didendangkan dengan berbagai irama lagu (Roust 1998/1999: 37-38).
Dapat dipastikan bahwa syair-syair dalam salawat dulang sangat kental dipengaruhi oleh ajaran tasawuf dan tarekat, khususnya tarekat Sya‹‹Œriyyah. Mulai dalam katubah, berbagai himbauan —yang dalam konteks keilmuan tasawuf sesungguhnya merupakan ajaran tarekat “tingkat tinggi”, karena sangat bersifat filosofis— sudah mulai disampaikan. Formulasi katubah biasanya disusun sedemikian rupa, sehingga juga mengandung unsur pujian, sindiran, atau ledekan, yang ditujukan kepada grup lain yang tampil sebelum atau sesudahnya.
Berikut adalah contoh bait-bait salawat dulang dari grup Kilek Barapi, yang edisi transkripsinya penulis kutip seutuhnya dari tulisan Firdaus Binulia di salah satu website tentang salawat dulang[41]:
Imbauan Khutbah
Aaa...ei...yo...oo...aa..ooo...aa...ei...ya | |
Aaa...ei...yo...aa...Nabi Allah o Na(nga)bi … ya ... o .. ey ... | |
Aaayo junju(a)ngan | |
Aaayo junju(a)ngan | |
Allah Allah ei... | |
Allah Allah ei... | |
Aaayo junju(a)ngan | |
Aaayo junju(a)ngan | |
Aaa...ei...eieiei, Allah Allahurabbi, rabbi ya rabbi | |
Allahurabbi baktuan kito, Nabi Muhammad pangulu kito | Allahurabbi Tuhan kita, Nabi Muhammad penghulu kita |
Wahai sahabat tolan sudaro | Wahai, sahabat dan saudara |
Khutbah
Assalamu'alaikum e tolan sahabat | Assalamu'alaikum saudara dan sahabat |
O jokalau kito kamangaji hakikat | Jika kita akan mengaji hakikat |
Nyawa jo tubuah lah nyato sakabek | Nyawa dengan tubuh nyata seikat |
Jangan disangko duo alamaik | Jangan disangka dua alamat |
Kok disangko duo lah nyato sasek | Jika dua sudah nyata sesat |
Urang mandanga samonyo ingek | Orang mendengar semuanya ingat |
Urang aluma banyak nan kiramaik | Orang alumma banyak yang keramat |
Janganlah kito bacando bodoh | Janganlah kita seperti bodoh |
Mumbang jo kalapo mano nan tuo | Putik dan kelapa mana yang tuo |
Anak jo bapo mano nan mudo | Anak dengan bapak mana yang tua |
Kok tak ado anak bapo tak ado | Jika tidak ada anak bapak juga tidak ada |
Zat jo sifat namo kajinyo | Zat dan sifat nama kajinya |
Allah jo Muhammad di mano ko inyo | Allah dengan Muhammad di manakah iya |
Di mano bana tampek nyatonyo | Di mana benar tempat nyatanya |
Kok tidak dipaham di hati kito | Kalau tidak dipaham di hati kita |
Jalan nan samak kabatambah rimbo | Jalan yang kotor akan bertambah rimba |
Tak mungkin biawak kamalawan buayo | Tidak mungkin kadal akan melawan buaya |
Tak mungkin babi kabaranak ruso | Tidak mungkin babi akan melahirkan rusa |
Tak mungkin tumbuah tanduak di kudo | Tidak mungkin tumbuh tanduk di kepala kuda |
Adapun raso jo na marasoi | Adapun rasa dengan merasai |
Baapo bana lilin jo api | Bagaimana lilin dengan api |
Baapo bana cincin jo jari | Bagaimana cincin dengan jari |
Nan mano bana nan sipaik maani | Yang mana benar sifat maani |
Iyo uju'am sipaik (a)kawi | Iya uju'am sifat yang kawi |
Kok iyo mati sabalun mati | Kalau mati sebelum mati |
Tantukan jalan kakito lalui | Tentukan jalan yang akan dilalui |
Tantukan lauik kakito ranangi | Tentukan lautan yang akan direnangi |
Kubaklah kulik (i)lieklah isi | Kupaslah kulit lihatlah isi |
Supayo nak dapek bijo nan kawi | Supaya dapat bibit yang asli |
Allahlah duduak di ‘aras kursi | Allah sudah duduk di ‘aras dan kursi |
Di kapalo jantuang Muhammad badiri | Di kepala jantung Muhammad berdiri |
Di panka jantuang sabuku darah mati | Di pangkal jantung ada darah mati |
Di situ pulo(e) Abujaia badiri | Di situ pula Abujahil berdiri |
Baparang jo Muhammad tak manaruah habi | Berperang dengan Muhammad tidak ada henti |
Kok kalah Muhammad narako dihuni | Jika kalah Muhammad masuk neraka |
Nagari Makah dimakan api | Negeri Mekah dilalap api |
Kok manang Muhammad anggoto suci | Jika menang Muhammad anggota suci |
Suci anggoto samo sakali | Suci anggota sama sekali |
Yo baitulah misanyo....aaa... | Ya begitu misalnya.... |
Yonan su...dalah tadiri yao... | Sudah terdiri |
Komponen kedua dari salawat dulang adalah “batang”, yang merupakan ajaran pokok tasawuf yang ingin disampaikan. Bagi grup yang tampil pertama kali, selain mengandung berbagai ajaran pokok tasawuf tersebut, juga berisi pertanyaan untuk grup yang akan tampil berikutnya, sebaliknya, “batang” dalam grup yang tampil berikutnya biasanya juga mengandung jawaban atas pertanyaan grup pertama tadi, demikian seterusnya.
Menarik dikemukakan bahwa bait-bait di bagian batang ini, umumnya didendangkan dengan irama lagu-lagu yang sedang ngetrend, baik lagu dangdut, pop, atau lagu-lagu daerah Minangkabau sendiri. Tampaknya, berbagai improvisasi dalam mendendangkan bait-bait salawat dulang inilah yang, antara lain, menjadikan tradisi salawat dulang tetap hidup dan disukai hingga kini.[42] Berikut adalah contoh transkrip salawat dulang bagian batang, yang juga penulis kutip seutuhnya dari tulisan Firdaus Binulia, lengkap dengan identifikasi jenis irama lagunya:
Imbauan Lagu Batang
Masuak sarugo o...aaa...eee... | Masuk surga... |
Iyo lai kampuanglah nan rami ya a..... | Kampung yang ramai... |
Iyo lai kampuanglah nan rami ya a..... | Kampung yang ramai... |
Iyo...eee...ooo... | |
Iyo...eee...ooo... | |
Lagu Batang
MelodI: Cupak Randah. Dulang mulai ditabuh
Aaa...e...o..wanalangak | |
O Allah...o...wallah alla inilla e...ya ing ngiak Ilallah | Allah ya la illaha illallah |
iyo Nabi Muhammad ee Rusul(al)ullah | Nabi Muhammad rasulullah |
Oala amo anallah iyo ai tuan(ai)ku urabbi | Ya Allah Tuhanku Rabbi |
Iyo Muhammad itu ai urang di Makah | Muhammad itu orang di Mekah |
Sabana alainyo Rasul alai kuli(ni)fah o Allah | Sebenarnya rasul khalifah Allah |
Di dalam o nagari lai Makah Madinah | Dalam Negeri Mekah Medinah |
Tiado nan Tuhan o de malainkan inyo o Allah | Tiada Tuhan melainkan Allah |
Iyo matilah kamu didalam e kulimah | Matilah kamu di dalam kalimat |
Di dalam alai kulimah lailaha(na)ilallah | Dalam kalimat la ilaha ilallah |
Diakui Nabi masuak sarugo jannah | Diakui oleh Nabi masuk surga jannah |
Iyo silamat nyawo lai barpulang o ka Allah | Selamat nyawa berpulang pada Allah |
Iyo salamaik tubuah ditarimo tanah | Selamat tubuh diterima tanah |
E le baitu pangajian iyola di dalam o kulimah | Begitu pengajian dalam kalimat |
O... Ilallah aaa...e...o...ei...ya...ei… | Ilallah |
Yamolai I
Aaa e... Allah yolaillah odeknan la ya Ilallah | Allah ya la ilaha ilallah |
O...ei...di ya(nga a)molai..e.. | Yamolai |
O Nabi Muhammad odenan lai Rasulullah | Nabi Muhammad Rasulullah |
O...e....innilallah iyo am maha ahei | Ilallah |
Am ma naa...hai en nge am nge ei...am nge em ehe | |
Yo dek nak lah kami cari di mano hilangnyo | Supaya kami cari di mana hilangnya |
Iyo iya lah a mulio | |
Ilang nak tantu di mano rimbonyo | Hilang boleh tentu di mana rimbanya |
Inilahiyo… | |
Yamolai II
Hanyuik nak tantu di mano muaronyo | Hanyut boleh tentu di mana muaranya |
O...ei...di ya(nga a)molai a de yamolai | |
Marilah pangajian gak sapatah duo | Marilah mengaji sepatah dan dua |
O...ei...innilallah iyo ilallah | |
Am ma naa...hai en nge ei...am nge em ehe | |
Peralihan
Karano pangajian penting de kito | Karena pengajian penting bagi kita |
Penting sakali di bidang agamo | Penting sekali di bidang agama |
I yo agamo Islam o dek agamo kito | Agama Islam agama kita |
I yo suruah jo tegah lai ado di dalamnyo | Suruh dan larangan ada di dalamnya |
O de nan tingga nan di kito de | Tinggal bagi kita |
Manjalan(alade)kan sajo | Menjalankan saja |
Lagu Cancang
I yo mano ne segalo lai karib jo i kanduang | Mana segala karib dan kandung |
O de nan parakaro nyawo de lai tarui disambuang | Masalah nyawa terus disambung |
Pergantian melodi
Nak dapek iyo pidoman o pandang iyo nak santuang | Agar dapat pidoman pandang yang santun |
Ala di angin de batiup di ombak iyo basabuang | Angin bertiup ombak bersabung |
Lei kaputus(ndes)an paham supayo iyo nak jazam | Keputusan paham supaya jazam [=nyata] |
Iyo lei nak lei jangai kaji lai surah lai kaleleran | Angan jangin kaji surah berlebaran |
Dikaja letak dapek di kanduang lah baciciran | Dikejar tidak dapat di kandung berceceran |
Iyo harok nde di hujan o la di ateh awan | Harap di hujan di atas awan |
O air iyo di cawan o kito iyo curahkan | Air di gelas dituangkan |
Iyo arok nde di buruang tarabang iyo di hutan | Harap di burung terbang di hutan |
O le punai nde di tangan nan kito iyo lapehkan | Punai di tangan kita lepaskan |
Ala baitu iyo la misal a rupo lai pangajian | Begitu misal rupa pengajian |
O kaji nde nan a la banyak tak ado lei kaputusan | Kaji yang banyak tidak ada keputusan |
Lei karano nde baitu o pikir iyo olehmu | Karena begitu fikir olehmu |
Pergantian melodi
Iyo lei sabuah hadis o denan surah a lei nak tantu | Sebuah hadis surah yang tentu |
O iyo "Man a'rafa dengan la de Nafsahu | Yaitu "Man arafa dengan Nafsahu |
Faqod a'rafa dengan rabbahu" | Faqod arafa dengan Rabbahu" |
Siapo mangana akan dirinyo | Siapa mengenal akan dirinya |
Seolah mangana akan Tuhannyo | Seolah mengenal akan tuhannya |
O pahamnyo hadis baitulah lelo | Pahamnya hadis begitulah di kita |
Karano baitu o janganlah lupo | Karena begitu janganlah lupa |
Tuntuiklah kaji diri nak nyato | Tuntutlah ilmu diri yang nyata |
Sabananyo diri nak tantu nan inyo | Sebenarnya diri tentulah iya |
"Lailahailallah" e kalau dibaco | la ilaha ilallah kalau dibaca |
Kulimahnyo ampek janganlah lupo | Kalimatnya empat janganlah lupa |
O kulimah LA jokalau dikato | Kalimat LA jika dikata |
A'yan karaji'ah manjadi singajo | A'yan kharijiah menjadi sengaja |
O tubuah nan kasa kulit dagiangnyo | Tubuh yang kasar kulit dagingnya |
Baurek batulang barabu balimpo | Berurat bertulang rabu dan limpa |
Bahati bajantuang dipandang barupo | Hati dan jantung dipandang berupa |
O pado hakikat o mait samato | Pada hakikatnya mayat semata |
Kulimah ILAHA janganlah lengah | Kalimat ILAHA janganlah lengah |
I yaitu tubuah a'yan sabita | Yaitu tubuh a'yan sabitah |
Yaitu rohani di nyawa nan jilah | Yaitu rohani nyawa yang jilah |
Tidak bakulik badagiang badarah | Tidak berkulit daging dan darah |
Tidak baurek la batulang sabuah | Tidak berurat tulang sebuah |
O lei tidak barabu na bajantuang la de bahati | Tidak berabu jantung dan hati |
O de tak dapek nan dipandang iyo lai jo mato ini | Tidak dapat dipandang dengan mata ini |
Iyo tak dapek didanga o de nan jo talingo ini | Tidak dapat didengar dengan telinga ini |
Hati Yang Luka
Obbie Messakh
Lei malainkan suci sungguah tajali | Melainkan suci sungguh terjadi |
Banamo Muhammad, banamo Muhammad | Bernama Muhammad, bernama Muhammad |
Zahir batini, zahir batini | Lahir batin, lahir batin |
A'yan sabita iyo mako katantu, o mako katantu | A'yan sabitah makanya tentu |
Iyo dicari iyo dengan alemu, o dengan alemu | Yaitu dicari dengan ilmu |
Iyo jo mato hati diacu-acu, uwo uwo uwo | Dengan mata hati diacu-acu |
Iyo kuliah mak illah pintak kaguru, uwo uwo uwo | Agar jelas pinta ke guru |
Iyo uju'am namo dikaku, namo dikaku | Yaitu uju'am nama diakui |
Sabananyo diri iyolah itu, iyolah itu | Sebenarnya diri iyalah itu |
Pado hakikat diri yang jilah | Pada hakikat diri yang jelas |
O dipanggang tak hanguih, dipanggang tak hanguih | Dibakar tidak hangus |
Dirandam tak basah, dirandam tak basah | Direndam tidak basah |
O de jauah padonyo iyo pasal barubah, o pasal barubah | Jauh darinya pasal berubah |
Malainkannyo tatap o digudam tak pacah, digudam tak pacah | Melainkan tetap dihempas tidak pecah |
Iyo bukan(i)nyo zaat sifatpun bukan, uwo uwo uwo | Bukannya zat sifat pun bukan |
Iyo bukannyo minum bukannyo makan, uwo uwo uwo | Bukannya minum bukan makan |
Lalok jo jago dikato jangan, dikato jangan | Tidur dan bangun dikata jangan |
Supayo nak nyato nan siuju'al | Supaya nyata si uju'am |
Iyo kapado guru, kapado guru | Kepada guru, kepada guru |
Kaji ulangan, kaji ulangan | Kaji ulangan, kaji ulangan |
O dikaji bana iyo sadalam-dalam, o sadalam-dalam | Dikaji benar sedalam-dalam |
E kasano pulangnyo iyo api kok padam, o api kok padam | Ke sana pulangnya api bila padam |
Iyo kasano pulangnyo sagalo alam, uwo uwo uwo | Ke sana pulangnya segala alam |
Kulimah ALLAHU handaklah ingek, uwo uwo uwo | Kalimat ALLAHU hendaklah ingat |
Ah itu banamo si ujumu'at, si ujumu'at | Yaitu bernama si ujumu’at |
E ujud na muthalak o den hayati lai jo ayat [?] | Ujud muthalak yakin dan hayat |
O de nan paham samato iyo lai kok kurang ingek | Paham semata kalau kurang ingat |
Iyo danga(lei)kan misa salaiku lai ibarat | Dengarkan misal selaku ibarat |
Kasiah Tak Sampai
Syahrul Tarun Yusuf
Sabuah caramin handak(de)lah liek | Sebuah cermin hendaklah lihat |
Sabuah caramin de handaklah pegang | Sebuah cermin hendaklah pegang |
Dalam caramin ado bayang-bayang | Dalam cermin ada bayang-bayang |
Sarang caramin o kalau ditimbang | Bingkai cermin kalau ditimbang |
A'yan karji'ah misainyo tarang | A'yan kharijiah misalnya terang |
Lai a'yan sabita caramin nan licin | A'yan sabitah cermin yang licin |
Bayang-bayang ado di dalam caramin | Bayang-bayang ada di dalam cermin |
Iyo uju'al namonyo yakin | Yaitu uju'al namanya tepat |
Adapun urang o nan bacaramin | Adapun orang yang bercermin |
Siujumu'at namonyo kadim | Si ujumuat namanya ada |
Baitulah misa kaganti nasakah | Begitulah misal ganti nasakah |
O ulang ka guru tambah dek lah surah | Ulang ke guru tambahlah sura |
O nak nyato nyawa la dengan kulimah | Agar nyata nyawa dengan kalimat |
Yaitu kulimah lailahailallah | Yaitu kalimat la ilaha ilallah |
Kaputusan paham kalau lai masak | Keputusan paham jika sudah masak |
Alamaik santoso palangkahan rancak | Akan selamat langkahnya baik |
Di angin lei batiup o di parahu lei batulak | Di angin bertiup perahu berangkat |
O la dilangkah la dek salangkah dek lai janjang la dek takanak | Di langkah selangkah jenjang terpasang |
Iyo dihambua sahambua lei pintu lei tabukak [?] | Niat bertemu pintu terbuka |
O de pananti nan de la suko de nan datanglah de la galak | Penanti suka yang datang ketawa |
Boneka Dari India
Ellya Khadam
Iyo urang nan pai la de hatinyo la enak | Orang yang pergi hatinya enak |
Aiyo urang nan tingga lai hati la lamak | Orang yang tinggal hatinya juga enak |
O nyawa malayang la de sarugo tabukak | Nyawa melayang surga terbuka |
O batamu jo Tuhan de jo lezat nan banyak, nan banyak | Bertemu dengan Tuhan lezat yang banyak |
Penutup, masih menggunakan melodi Boneka Dari India
Soal pangajian sakian sajo | Soal pengajian sekian saja |
Sakian dahulu di kami baduo | Sekian dahulu dari kami berdua |
Dari Kilek Barapi sekarang nangko | Dari Kilek Berapi sekarang sudah |
Ibaraik baladang lah laweh rasonyo | Ibarat berladang sudah luas rasanya |
Kok latiahlah datang paneklah tibo | Lelah sudah datang capek sudah tiba |
Paluah baciciran de tarabik di dado | Keringat berceceran terbit di dada |
Iyo alahko sanang lah si panonton basamo | Sudahkah senang penonton bersama |
O de nan alahko sajuak lai dikiro-kiro, kiro-kiro | Sudahkah sejuk dikira-kira |
Itulah wejangan di kami baduo | Itulah penampilan dari kami berdua |
Dari Kilek Barapi sekarang nangko | Dari Kilek Berapi sekarang jua |
Bak bumi nak sanang padi manjadi | Bumi agar senang padi menjadi |
Anak buah nak kambang nagari nak rami | Anak buah agar banyak negeri agar ramai |
Baumua nak panjang la de pamurah rasaki | Umur agar panjang murah rezeki |
Ibadat e katuhan de batali-tali | Ibadah ke Allah bertali-tali |
Itu parmintaan la dari Kilek Barapi | Itu permintaan dari Kilek Berapi |
Alahko sanang de o sidang nan rami | Sudahkah senang sidang yang ramai |
Penting digarisbawahi bahwa dalam bait-bait salawat dulang di atas, terdapat beberapa tema penting yang selalu menjadi wacana dalam tasawuf falsafi, yaitu, antara lain: interpretasi kalimat zikir lŒ ilŒha illŒ AllŒh, interpretasi hadis Nabi yang berbunyi: “man ‘arafa nafsah fa qad ‘arafa rabbah” (barangsiapa mengenal dirinya, maka ia akan mengenal Tuhannya)[43], hubungan ontologis Tuhan dan alam, yang dianalogikan dengan hubungan benda dengan bayangannya di cermin, serta perbincangan tentang a’yŒn £Œbitah dan a’yŒn khŒrijiyyah.[44] Khusus tentang penafsiran hadis Nabi man ‘arafa nafsah fa qad ‘arafa rabbah di atas, para penganut Sya‹‹Œriyyah tampaknya menjadikan hadis ini sebagai landasan utama untuk masuk pada pembahasan tentang “pengajian tubuh”. Mereka berkeyakinan bahwa untuk mengetahui hakikat Tuhan, yang terlebih dahulu dilakukan adalah mengenal secara sempurna diri (tubuh) mereka masing-masing, lahir dan batin (Bakry 2000: 67).
Akhirnya, pada komponen terakhir, yaitu panutuik (penutup), bait-bait salawat dulang umumnya berisi permintaan maaf, ucapan terima kasih, serta pesan-pesan agar materi “pengajian” yang dikemukakannya dapat bermanfaat bagi semuanya. Bagi grup yang pertama kali tampil, bagian panutuik ini juga dapat berisi permintaan kepada grup berikutnya untuk menjawab pertanyaan yang sudah diajukan. Berikut adalah contoh bagian panutuik salawat dulang yang juga diambil dari transkripsinya Firdaus Binulia:
Penutup
Iyo ala nde babari o kandak la de nan tibo | Sudah diberi kehendak yang tiba |
O de nan jo kok dari kami cukup lai sakian sajo | Dari kami cukup sekian saja |
Iyo paneklah datang o litak nan lah tibo | Lelahlah datang capeklah tiba |
O de nan kini baitulah de lai mangko na kaeloknyo | Kini begitulah sebaiknya |
Iyo ala babari kandak nan tibo | Sudah diberi kehendak yang tiba |
Iyo kandak la de nan tibo iyo lai sabantah cako | Permintaan yang datang sebentar ini |
O bak bumi nak sanang padi nak manjadi pulo | Bum agar senang padi agar menjadi pula |
Anak buah nak kambang nagari nak rami pulo | Anak murid agar banyak negeri agar ramai pula |
Ala ibadat la de katuhan batambah-tambah la de handaknyo | Ibadah ke Tuhan bertambah hendaknya |
Dengan wassalam disudahi sajo | Dengan wassalam disudahi saja |
Demikianlah, di Sumatra Barat ini, salawat dulang telah menjadi salah satu bentuk ekspresi para penganut tarekat Sya‹‹Œriyyah untuk mendekatkan diri mereka kepada Tuhannya. Lebih dari itu, salawat dulang juga dapat dianggap sebagai salah satu bentuk perpaduan antara Islam yang memuat berbagai ajaran, dalam konteks ini tasawuf, dengan adat atau tradisi lokal di Minangkabau, sehingga karenanya, salawat dulang merupakan manifestasi dari slogan yang mengakar kuat pada masyarakat Minangkabau, yakni: Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah (ABS-SBK), Syarak Mangato Adat Mamakai, Syarak Mandaki Adat Manurun (lihat, antara lain, Mardius 1995: 15).
Dalam konteks yang lebih besar lagi, salawat dulang, dan juga ritual basapa yang dikemukakan sebelumnya, dengan sendirinya juga memberikan gambaran riil akan apa yang sering disebut sebagai “Islam lokal”, yakni suatu artikulasi dari “proses penerjemahan” Islam ke dalam sistem sosial-budaya, politik dan intelektual yang berlaku di suatu masyarakat (Hooker 1983). Islam lokal mengandung dua konsep penting. pertama, ia adalah konsep tentang sebuah keadaan yang khusus dan unik dari suatu praktek keagamaan tertentu. Keunikan tersebut bisa jadi karena dipengaruhi budaya lokal, tetapi juga bisa terjadi karena proses pembumian dari ajaran-ajaran normatif Islam ke dalam realitas; kedua, Islam lokal mengandung unsur sebuah proses yang terus berlanjut dari pertemuan dan interaksi budaya dan Islam dalam proses sejarah.
Dengan penjelasan di atas, maka salawat dulang dan juga ritual basapa serta berbagai bentuk ritual lokal lain yang tidak dikemukakan pembahasannya di sini, dapat dianggap sebagai contoh yang baik bagi persemaian Islam lokal. Penting diingat bahwa pertemuan Islam dengan budaya-budaya lokal tersebut pada gilirannya menjadi kekayaan budaya tersendiri.[45]
[1] Schrieke 1973: 26; lihat juga Suryadi 2001: 96.
[2] Tentang pemikiran Ibnu Taimiyyah, lihat, antara lain, Rahman 1997: 154-164)
[3] Selengkapnya tentang riwayat Syaikh Burhanuddin ketika belajar dengan Syaikh Abdullah Arif, lihat Amin 1993.
[4] Hamka 1974: 148; Abdullah 1980: 54; Abdullah 1999: 37; Suryadi 2001: 74.
[5] Lihat, antara lain, Ronkel 1914: 287; Amin 1993: 36 dan 1996: 160.
[6] Azra 1988: 25-26; Mulyani 1997: 179; Bahri 1988: 35.
[7] Lihat Schrieke 1973: Daya 1990: 180.
[8] Schrieke 1973: 25-26; Hamka 1982: 4; Steenbrink 1984: 177-178.
[9] Hikayat Jalal al-Din, h. 6-7 dalam Hollander (peny.) 1857.
[10] Tentang hal ini, lihat Gilsenan 1973: 10.
[11] Pengertian ‘silsilah’ dalam hal ini tidak merujuk pada hubungan kekeluargaan (genealogy), melainkan pada hubungan keilmuan, guru-murid (lihat penjelasan dalam daftar istilah; bandingkan juga dengan pengertian isnŒd).
[12] Tentang syarat-syarat mur¥d selengkapnya, lihat Amin 1993: 127-128; Syarifuddin 1989: 81.
[13] Selengkapnya tentang surau, menyangkut pasang surut dan peranannya dalam proses islamisasi di Minangkabau, lihat Azra 1988 dan 2003; Mulyani 1997; untuk pembahasan tentang surau, kaitannya dengan kegiatan ekonomi di Minangkabau, lihat Dobbin 1992: 144.
[14] Urutan dalam penyebutan nama-nama khalifah, dan juga nama-nama murid, dalam bagian ini tidak dimaksudkan sebagai hierarki kekhalifahan. Pada bagian berikut, penulis akan mengemukakan saling-silang hubungan guru-murid tarekat Sya‹‹Œriyyah di Sumatra Barat berdasarkan nama-nama yang terdapat dalam silsilah versi tiga ulama tersebut, dan digabungkan dengan informasi dari berbagai naskah serta sumber lokal lainnya.
[15] Dalam Viviani 1990/1991: 39-40, hubungan guru-murid antara Syaikh Janggut hitam dengan Syaikh Abdurrahman Lubuk Ipuh ini terbalik, yang disebut pertama bukan murid yang disebut kedua, melainkan sebaliknya. Memang, agak sulit untuk memastikan mana yang benar, karena tidak ada data mengenai rentang hidup kedua ulama tersebut. Akan tetapi, kebanyakan sumber —khususnya dalam bentuk naskah— dalam penelitian ini lebih cenderung untuk menegaskan pola hubungan yang pertama, yakni Syaikh Janggut hitam sebagai guru bagi Syaikh Abdurrahman Lubuk Ipuh (lihat juga Amiruddin 1994: 61). Kendati tidak menyebutkan sumbernya, Viviani sendiri tampaknya mendasarkan susunannya itu dari hasil wawancara dengan salah seorang penganut tarekat Sya‹‹Œriyyah, yang mungkin saja lebih sahih, tapi juga mungkin keliru karena khilaf.
[16] Pertikaian antartokoh tarekat Sya‹‹Œriyyah —dan mungkin juga antartokoh Islam lainnya— di Sumatra Barat yang diakibatkan oleh perbedaan pilihan partai politik ini dilaporkan sering terjadi. Selain dengan Angku Talawi, Imam Maulana Abdul Manaf Amin sendiri menceritakan bahwa ia pernah bersilang pendapat dengan Angku Inyik Adam, khalifah tarekat Sya‹‹Œriyyah dari Syaikh Paseban, yang sebetulnya merupakan kawan seperguruan Imam Maulana Abdul Manaf Amin sendiri ketika belajar dengan Syaikh Paseban. Saat itu, Angku Inyik Adam mengajaknya untuk masuk ke dalam partai Golkar, agar mudah mendapat bantuan dari pemerintah untuk renovasi makam Syaikh Surau Baru di Batusingka. Akan tetapi, ajakan itu ditolak oleh Imam Maulana Abdul Manaf Amin (Amin 2002: 63).
[17] Selain kepada Syaikh Ampalu Tinggi, Tuanku Kalumbuk sebelumnya juga pernah belajar ilmu-ilmu keislaman di beberapa surau lain, seperti: Surau Simaung di Sijunjung, Surau Calu di Muara Sijunjung, Surau Talawi, dan Surau Tanjung Bungo di Padang Ganting. Pada tahun 1929, Tuanku Kalumbuk kembali ke kampung halamannya di nagari Taluk, Lintau Buo, Tanah Datar, dan mendirikan pesantren yang kemudian dikenal sebagai pesantren Tuanku Kalumbuk, sebelum akhirnya berubah nama menjadi pesantren Surau Sumur Darek (Yafas 1988: 37). Setelah Tuanku Kalumbuk wafat, pesantren Surau Sumur Darek ini dilanjutkan oleh khalifah tarekat Sya‹‹Œriyyah berikutnya, yakni Buya Azra’i (lahir sekitar tahun 1935), yang juga adalah kemenakan dari Tuanku Kalumbuk, dibantu oleh beberapa murid Tuanku Kalumbuk lainnya, seperti Buya Engku Mudo Sa’id (lahir sekitar tahun 1918), Hamzah (lahir sekitar tahun 1936), yang juga anak dari Tuanku Kalumbuk sendiri (Yafas 1988: 35-39).
[18] Nama Syaikh Sultan al-Kisai ibn Habibullah Ulakan dan Syaikh Habibullah Ulakan seringkali disebut dalam pembacaan doa oleh para pengikut tarekat Sya‹‹Œriyyah di Sumatra Barat, di samping nama-nama khalifah lainnya, seperti Syaikh Abdurrahman, Syaikh Khairuddin, Syaikh Jalaluddin Ulakan, Syaikh Idris, Syaikh Abdul Muhsin, Syaikh Abdul Hasan Ulakan, Syaikh Khalidin, Syaikh Masyruddin, dan tentu saja Syaikh Burhanuddin Ulakan sendiri (lihat naskah Doa 2). Di antara nama-nama khalifah tarekat Sya‹‹Œriyyah tersebut, ada yang tidak penulis dapatkan informasi mengenai hubungan guru-muridnya, seperti Syaikh Khairuddin, Syaikh Jalaluddin Ulakan, Syaikh Idris, Syaikh Abdul Hasan Ulakan, Syaikh Khalidin, dan Syaikh Masyruddin.
[19] Dalam catatan Imam Maulana Abdul Manaf Amin, pengangkatan tiga khalifah Syaikh Paseban tersebut terjadi pada 1356 H/1937 M, tidak lama sebelum keberangkatan Syaikh Paseban ke Tanah Suci Makkah untuk menunaikan ibadah haji, dan akhirnya meninggal di sana (lihat Amin 2001: 56-57).
[20] Informasi tentang adanya guru perempuan dalam dunia tarekat ini —meskipun sangat disayangkan tidak ada penjelasan lebih lanjut— menjadi sangat menarik karena umumnya, guru tarekat didominasi oleh kaum laki-laki.
[21] Lihat juga Deram 1997: 219.
[22] Deskripsi lebih detil tentang pemberontakan terhadap pemerintah kolonial Belanda yang terjadi di Pauh, lihat Amin, Sejarah Ringkas, h. 37-48.
[23] Lihat juga Arief dkk. 1983: 23-32; Firdaus dkk. 1999/2000.
[24] Azra 1994; Fathurahman 1999.
[25] Bandingkan dengan konsep al-faiè (emanasi) dan al-½ill (bayangan) yang dikemukakan al-Sinkili ketika mengemukakan pembahasan tentang hubungan ontologis antara Tuhan dan alam. Menurut al-Sinkili, meskipun alam bukan Zat Tuhan secara mutlak, namun alam juga tidak berbeda dengan-Nya secara mutlak pula, karena alam bukan wujud kedua yang benar-benar terpisah dari-Nya, melainkan pancaran (al-faiè) dari Zat Tuhan itu sendiri. Akan tetapi, ketidakterpisahan Tuhan dengan alam tersebut tidak kemudian menjadikan Tuhan dan alam itu sama, karena alam hanyalah bayangan (al-½ill) Tuhan belaka, atau bahkan bayangan dari bayangan-Nya (Fathurahman 1999: 50).
[26] IjmŒ’ dapat diartikan sebagai kesepakatan sejumlah ulama (jamŒ’ah) yang diyakini sebagai memiliki kemampuan dan pengetahuan agama yang luas, dan diberikan kepercayaan untuk mengambil keputusan menyangkut hukum-hukum keagamaan (lihat, antara lain, Bernand, “idjma”, 1999).
[27] Pembahasan lebih jauh tentang hal ini, lihat, antara lain, Saleh 2001: 49-52.
[28] Bisyri 1967: 19; Wahid 1989: 198; lihat juga Dhofier 1994: 149.
[29] Syarifuddin 1989: 73; Yafas 1988: 52.
[30] Biasanya barjanzi dibaca pada peringatan maulid Nabi.
[31] Lihat kembali pembahasan naskah Tanb¥h al-MŒsy¥ dan Sya‹‹Œriyyah pada bab 6.
[32] Lihat Nasrul 1987/1988: 2; Yafas 1990: 45; Bakry 2000: 38 dan 71.
[33] Penjelasan tentang empat unsur ini, lihat kembali pemerian naskah Pengajian Tarekat pada bab 5.
[34] Lihat kembali fase-fase perkembangan tarekat Sya‹‹Œriyyah dalam pembahasan bab 2.
[35] Lihat Daya 1990: 183, bandingkan dengan Bakry 2000: 45.
[36] Lebih lengkap tentang hal ini, lihat Yafas dkk. 1984: 67-72.
[37] Amir 1990: 2-3; lihat juga Amir 1996.
[38] Dulang atau talam adalah benda semacam nampan yang terbuat dari kuningan, dan biasa digunakan untuk menghidangkan makanan yang, di Sumatra Barat, biasanya terdiri dari nasi lomak (ketan putih), nasi kunyik (nasi kunyir), wajik (hajit), gelamai, panyiaram, bulek-bulek dan lain-lain. Keseluruhan kumpulan makanan itu sendiri disebut Jamba (Roust 1998/1999: 42-43).
[39] Lihat penelitian Nasrul 1987/1988.
[40] Satu set kaset tentang pertunjukan salawat dulang oleh salah satu grup salawat dulang di Sumatra Barat, yakni grup Kilek Barapi, misalnya, mengambil judul: “Shalawat Dulang: Mengenai Hal Tubuah Nan Salapan”. Inti materi yang disampaikan adalah mengenai hakikat bagian-bagian tubuh lahir, seperti: mata, hidung, telinga, tangan, lidah, hati dan jantung, daging, darah, dan tulang. Ditegaskan bahwa bagian-bagian tubuh yang kasar (lahir) tersebut pada hakikatnya “mayat semata”, tidak mempunyai kemampuan dan kehendak apa-apa, karena bagian tubuh batin lah yang menggerakannya.
[41] Beberapa contoh transkripsi salawat dulang yang lain, dapat dijumpai dalam Amir 1990 dan Roust 1998/1999.
[42] Lihat “Salawat dulang; Seni yang Tak Pernah Mati”, Media Indonesia, edisi Minggu, 02 Februari 2003.
[43] Menurut al-Sam’an¥, ungkapan ini bukan hadis Nabi, melainkan kata-kata hikmah dari YaúyŒ al-RŒz¥. Sedangkan ulama lain, seperti Ibnu Taimiyah dan al-Sagan¥, menganggapnya sebagai hadis palsu (mauè´’) (lihat Azhari, 1985: 111). Mempertimbangkan kemasyhurannya sebagai hadis di kalangan sufi, tampaknya ia dianggap sebagai 'hadis' sahih dan benar berdasarkan mukŒsyafah atau penyingkapan [yakni, visi mistis], tapi dipandang tidak sahih berdasarkan jalur riwayatnya.
[44] A’yŒn £Œbitah adalah sebuah istilah yang dalam konteks tasawuf didefinisikan sebagai entitas-entitas, arketip-arketip, esensi-esensi, atau potensi-potensi yang tak berubah dan tak terhingga, yang tetap dalam hakikatnya. A’yŒn £Œbitah juga berarti gambaran nama-nama dan kualitas ilahi dan inti hakikat dalam hadirat pengetahuan dengan individuasi spesifik. Istilah ini mengandung arti sifat esensial segala sesuatu yang maujud sejak zaman keazalian dari pengetahuan ilahi. Semua itu ditetapkan sesuai dengan ketiadaan dan tidak disifati oleh keberadaan (Armstrong 1996:42). Adapun a’yŒn khŒrijiyyah adalah berarti potensi luar, atau ciptaan Tuhan dalam bentuk konkrietnya, yang keberadaannya bersumber dari a’yŒn £Œbitah (lihat Azra 1994: 206).
[45] Dalam hal ini, penting untuk dicatat bahwa di kalangan penganut tarekat di Indonesia, bukan hanya Sya‹‹Œriyyah, melainkan juga RifŒ’iyyah, QŒdiriyyah, Naqsybandiyyah, SammŒniyyah, dll. terdapat banyak ekspresi budaya lokal seperti pencak silat, debus, dan semacamnya. Penelitian atas berbagai ekspresi budaya lokal tersebut, yang sayangnya belum banyak dilakukan, niscaya akan memperlihatkan mozaik Islam Indonesia yang sedemikian kaya.