Manuskrip dan Penguatan Kajian Islam Asia Tenggara
Pada tanggal 13 hingga 17 September 2011 lalu, saya diajak bergabung menjadi anggota tim peneliti dari Kajian Poetika Fakultas Sastra Universitas Andalas, Tokyo University of Foreign Studies (TUFS) Jepang, Masyarakat Pernaskahan Nusantara (Manassa), dan didampingi Tuanku Umar sebagai Buya tarekat Syattariyah Surau setempat, melakukan penelitian manuskrip Islam di Surau Calau, Sijunjung, Sumatra Barat.
Sehari sebelumnya, penelitian yang sama juga dilakukan di keluarga ahli waris Surau Tanjung Ampalu yang dengan sangat hangat menyambut kami. Seperti diketahui, Minangkabau dikenal sebagai salah satu wilayah di Nusantara yang menjadi ‘lumbung’ emas kekayaan manuskrip Islam Melayu Nusantara, berkat tradisi intelektual Islam masa lalu yang pernah mengalami masa keemasannya.
Mulai pagi hingga larut malam, satu persatu manuskrip Surau Calau yang tersimpan di sebuah bilik ‘rahasia’ pun dikeluarkan oleh Buya, untuk kemudian kami identifikasi judul-judul dan pengarangnya, lalu kami bersihkan, kami preservasi melalui digitalisasi, dan akhirnya kami rapihkan kembali ke tempat semula, dengan penataan yang lebih baik. Begitupun sekarung (benar-benar tersimpan dalam sebuah karung) manuskrip Islam lainnya yang semula teronggok di atap Surau, atas izin Tetua Surau diturunkan dan diidentifikasi.
Seperti pernah kami lakukan dalam Koleksi manuskrip Islam di Yayasan Ali Hasjmy dan Zawiyah Tanoh Abee Aceh beberapa tahun lalu, dalam lembar demi lembar setiap manuskrip itu, saya memperhatikan teks-teks yang berbahasa lokal khususnya, untuk mengetahui dan menyelami pengetahuan serta kearifan lokal Islam apa yang terkandung dalam manuskrip-manuskrip Surau Calau tersebut.
Saya meyakini sepenuh hati bahwa manuskrip Islam adalah salah satu mozaik Islam Nusantara yang banyak tercecer di lembaga-lembaga pendidikan Islam tradisional semacam surau di Minangkabau, zawiyah/dayah di Aceh, atau pesantren di Jawa. Bahkan dalam teks-teks berbahasa Arab, yang menggambarkan terbentuknya jaringan keilmuan dengan dunia Islam secara keseluruhan, pun seringkali terselip interpretasi (tafsiran) maupun pun interpolasi (sisipan) dari Muslim setempat sebagai bukti adanya resepsi budaya lokal terhadap unsur-unsur luar, yang pada gilirannya terbentuk sebagai bagian dari mozaik Islam Nusantara.
Terbukti bahwa dari 99 bundel manuskrip Islam di Surau Calau, Sijunjung Sumatra Barat, sejumlah teks penting berbahasa Melayu Minang, yang beberapa di antaranya sangat lokal dan sulit dijumpai di wilayah lain yang berbeda konteksnya, berhasil kami identifikasi, seperti Nazam Ulakan, Silsilah Syattariyah Surau Tinggi di Calau, Ajaran Tuanku Abdurrahman al-Syattari, Hikayat Sijunjung, Kaji Tubuh, Syair Johan Perkasa Syah Alam dari Paninjauan, Surat Tuanku Pamansiangan, dan beberapa lainnya, di samping tentu saja teks-teks Melayu asal wilayah lain, terutama Aceh, yang menggambarkan kuatnya jaringan keilmuan Minangkabau dengan para ulama Aceh abad sebelumnya.
Mulai pagi hingga larut malam, satu persatu manuskrip Surau Calau yang tersimpan di sebuah bilik ‘rahasia’ pun dikeluarkan oleh Buya, untuk kemudian kami identifikasi judul-judul dan pengarangnya, lalu kami bersihkan, kami preservasi melalui digitalisasi, dan akhirnya kami rapihkan kembali ke tempat semula, dengan penataan yang lebih baik. Begitupun sekarung (benar-benar tersimpan dalam sebuah karung) manuskrip Islam lainnya yang semula teronggok di atap Surau, atas izin Tetua Surau diturunkan dan diidentifikasi.
Seperti pernah kami lakukan dalam Koleksi manuskrip Islam di Yayasan Ali Hasjmy dan Zawiyah Tanoh Abee Aceh beberapa tahun lalu, dalam lembar demi lembar setiap manuskrip itu, saya memperhatikan teks-teks yang berbahasa lokal khususnya, untuk mengetahui dan menyelami pengetahuan serta kearifan lokal Islam apa yang terkandung dalam manuskrip-manuskrip Surau Calau tersebut.
Saya meyakini sepenuh hati bahwa manuskrip Islam adalah salah satu mozaik Islam Nusantara yang banyak tercecer di lembaga-lembaga pendidikan Islam tradisional semacam surau di Minangkabau, zawiyah/dayah di Aceh, atau pesantren di Jawa. Bahkan dalam teks-teks berbahasa Arab, yang menggambarkan terbentuknya jaringan keilmuan dengan dunia Islam secara keseluruhan, pun seringkali terselip interpretasi (tafsiran) maupun pun interpolasi (sisipan) dari Muslim setempat sebagai bukti adanya resepsi budaya lokal terhadap unsur-unsur luar, yang pada gilirannya terbentuk sebagai bagian dari mozaik Islam Nusantara.
Terbukti bahwa dari 99 bundel manuskrip Islam di Surau Calau, Sijunjung Sumatra Barat, sejumlah teks penting berbahasa Melayu Minang, yang beberapa di antaranya sangat lokal dan sulit dijumpai di wilayah lain yang berbeda konteksnya, berhasil kami identifikasi, seperti Nazam Ulakan, Silsilah Syattariyah Surau Tinggi di Calau, Ajaran Tuanku Abdurrahman al-Syattari, Hikayat Sijunjung, Kaji Tubuh, Syair Johan Perkasa Syah Alam dari Paninjauan, Surat Tuanku Pamansiangan, dan beberapa lainnya, di samping tentu saja teks-teks Melayu asal wilayah lain, terutama Aceh, yang menggambarkan kuatnya jaringan keilmuan Minangkabau dengan para ulama Aceh abad sebelumnya.
Beberapa teks yang dijumpai dalam kategori ini antara lain Syair Dagang karya Hamzah Fansuri, Jawhar al-Haqa’iq karya Syamsuddin al-Sumatra’i, Tanbih al-Masyi al-Mansub ila Tariq al-Qusyasyi karya Abdurrauf ibn ‘Ali al-Jawi al-Fansuri, dan beberapa lainnya.
Bahkan, lebih dari itu, teks-teks dari Surau warisan Syaikh Abdul Wahab Calau, yang sesungguhnya terletak jauh di pelosok Minangkabau dan terletak di perbatasan Jambi, ini membuktikan ketidakterasingannya dari tradisi intelektual di dunia Islam secara keseluruhan. Sebut saja teks al-Tuhfah al-Mursalah ila Ruh al-Nabi karya ulama India Fadlullah al-Burhanpuri dan komentarnya, al-Haqiqah al-Muwafiqah li al-Shari’ah oleh pengarang yang sama. Ajaran martabat tujuh dan wahdat al-wujud dalam teks ini ini pernah menyulut kontroversi tak berkesudahan sejak abad ke-17, mulai dari Aceh zaman al-Raniri, hingga ke Jawa pada masa kemudian seperti tergambar dalam perdebatan antara Syaikh Mutamakkin dan Ketib Anom Kudus dalam Serat Cebolek karangan Yasadipura I.
Tersingkapnya ‘harta karun’ berupa manuskrip kuno warisan peradaban Islam Nusantara masa lalu di Surau Calau Minangkabau sesungguhnya merupakan salah satu saja dari sejumlah bukti peradaban Islam Nusantara berupa manuskrip tulisan tangan yang masih dapat ditemukan terserak di lembaga-lembaga pendidikan Islam tradisional, ataupun di tangan-tangan masyarakat sebagai properti pribadi, karena selain Minangkabau, kita juga dapat menemukan mozaik Islam Nusantara berupa manuskrip tersebut di berbagai wilayah lain di Sumatra, Sulawesi, Jawa, Kalimantan, maupun wilayah lainnya.
Beberapa waktu sebelumnya, saya juga bergabung bersama tim Masyarakat Pernaskahan Nusantara dan Dosen Fakultas Adab Sunan Ampel Surabaya, dalam melakukan penelusuran manuskrip Islam di Kampus Pesantren Sabilil Muttaqien, Takeran Magetan, Jawa Timur. Meski Pesantren ini tergolong cukup muda, yakni didirikan pada paruh pertama abad ke-20, tapi PSM Takeran ternyata juga menyimpan sekitar 60 manuskrip Islam, yang kebanyakan berbahasa Arab dan diberikan terjemah gantung dalam bahasa Jawa setempat.
Jejak-jejak sejarah intelektual Islam PSM Takeran juga dapat ditemukan dalam sejumlah manuskrip koleksinya, yang semula teronggok begitu saja bersama buku-buku lain di sudut Perpustakaan. Salah satu manuskrip dari Kertas Dluwang yang sudah sangat rapuh misalnya, berjudul Tafsir al-Jalalayn, mengandung sebuah catatan dalam aksara Latin berbunyi: “Tulisan Kj. Imam Murshid Pendiri “P.S.M.” Diwaktu mereorganiseer Pesantren Takeran. Sajang beliau meninggalkan Pesantren Sedjak Tgl. 19 Sept. 1948.”
Selain itu, sebuah hasil fotokopi manuskrip berbahasa Jawa tentang silsilah guru-murid Tarekat Syattariyah membuktikan adanya jaringan guru-murid pendiri PSM Takeran dengan Syaikh Abdul Muhyi di Pamijahan, yang kemudian terhubungkan ke Syaikh Abdurrauf ibn Ali al-Jawi di Aceh, dan Syaikh Ahmad al-Qusyasyi di Madinah. Meski sekarang ini orientasi PSM Takeran tidak lagi mengembangkan tradisi Tarekat, akan tetapi saksi sejarah berupa manuskrip, yang kini sudah tersimpan rapi dalam rak kaca, jelas menjadi petunjuk sejarah afiliasi dan kecenderungan tokoh-tokoh lembaga pendidikan ini di era sebelumnya.
Bahkan, lebih dari itu, teks-teks dari Surau warisan Syaikh Abdul Wahab Calau, yang sesungguhnya terletak jauh di pelosok Minangkabau dan terletak di perbatasan Jambi, ini membuktikan ketidakterasingannya dari tradisi intelektual di dunia Islam secara keseluruhan. Sebut saja teks al-Tuhfah al-Mursalah ila Ruh al-Nabi karya ulama India Fadlullah al-Burhanpuri dan komentarnya, al-Haqiqah al-Muwafiqah li al-Shari’ah oleh pengarang yang sama. Ajaran martabat tujuh dan wahdat al-wujud dalam teks ini ini pernah menyulut kontroversi tak berkesudahan sejak abad ke-17, mulai dari Aceh zaman al-Raniri, hingga ke Jawa pada masa kemudian seperti tergambar dalam perdebatan antara Syaikh Mutamakkin dan Ketib Anom Kudus dalam Serat Cebolek karangan Yasadipura I.
Tersingkapnya ‘harta karun’ berupa manuskrip kuno warisan peradaban Islam Nusantara masa lalu di Surau Calau Minangkabau sesungguhnya merupakan salah satu saja dari sejumlah bukti peradaban Islam Nusantara berupa manuskrip tulisan tangan yang masih dapat ditemukan terserak di lembaga-lembaga pendidikan Islam tradisional, ataupun di tangan-tangan masyarakat sebagai properti pribadi, karena selain Minangkabau, kita juga dapat menemukan mozaik Islam Nusantara berupa manuskrip tersebut di berbagai wilayah lain di Sumatra, Sulawesi, Jawa, Kalimantan, maupun wilayah lainnya.
Beberapa waktu sebelumnya, saya juga bergabung bersama tim Masyarakat Pernaskahan Nusantara dan Dosen Fakultas Adab Sunan Ampel Surabaya, dalam melakukan penelusuran manuskrip Islam di Kampus Pesantren Sabilil Muttaqien, Takeran Magetan, Jawa Timur. Meski Pesantren ini tergolong cukup muda, yakni didirikan pada paruh pertama abad ke-20, tapi PSM Takeran ternyata juga menyimpan sekitar 60 manuskrip Islam, yang kebanyakan berbahasa Arab dan diberikan terjemah gantung dalam bahasa Jawa setempat.
Jejak-jejak sejarah intelektual Islam PSM Takeran juga dapat ditemukan dalam sejumlah manuskrip koleksinya, yang semula teronggok begitu saja bersama buku-buku lain di sudut Perpustakaan. Salah satu manuskrip dari Kertas Dluwang yang sudah sangat rapuh misalnya, berjudul Tafsir al-Jalalayn, mengandung sebuah catatan dalam aksara Latin berbunyi: “Tulisan Kj. Imam Murshid Pendiri “P.S.M.” Diwaktu mereorganiseer Pesantren Takeran. Sajang beliau meninggalkan Pesantren Sedjak Tgl. 19 Sept. 1948.”
Selain itu, sebuah hasil fotokopi manuskrip berbahasa Jawa tentang silsilah guru-murid Tarekat Syattariyah membuktikan adanya jaringan guru-murid pendiri PSM Takeran dengan Syaikh Abdul Muhyi di Pamijahan, yang kemudian terhubungkan ke Syaikh Abdurrauf ibn Ali al-Jawi di Aceh, dan Syaikh Ahmad al-Qusyasyi di Madinah. Meski sekarang ini orientasi PSM Takeran tidak lagi mengembangkan tradisi Tarekat, akan tetapi saksi sejarah berupa manuskrip, yang kini sudah tersimpan rapi dalam rak kaca, jelas menjadi petunjuk sejarah afiliasi dan kecenderungan tokoh-tokoh lembaga pendidikan ini di era sebelumnya.
Khazanah manuskrip Islam pesantren lain yang belum terjamah juga terdapat di wilayah Cirebon. Dalam sebuah workshop “Revitalisasi Tradisi Tahqiq di Pesantren” yang diselenggarakan oleh santri-santri Kampus al-Biruni Pesantren Ciwaringin dan sekitarnya di Cirebon, terungkap adanya puluhan manuskrip di Pesantren Ciwaringin dan Pesantren Buntet yang masih teronggok sebagai pusaka kuno belaka. Identifikasi ‘dadakan’ atas sebuah manuskrip, yang ternyata berjudul Sabil al-muhtadin karya Syaikh Arsyad al-Banjari, telah memberikan stimulus kepada sejumlah santri untuk segera melakukan preservasi dan sekaligus pengkajian secara sistematis terhadap manuskrip-manuskrip lainnya yang tersimpan.
Penelusuran manuskrip Islam Nusantara yang paling mutakhir, saya lakukan di wilayah Pontianak, Kalimantan Barat. Berdasarkan informasi awal yang telah dihimpun oleh sejumlah dosen dan peneliti muda yang tergabung dalam “Malay Corner” di STAIN Pontianak, wilayah ini ternyata juga menyimpan khazanah mozaik Islam dalam bentuk manuskrip tulisan tangan.
Sebuah manuskrip berbahan kertas Dluwang yang tersimpan, dan awalnya bercampur dengan kitab cetak litograf, di Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional (BPSNT) misalnya, mengandung teks-teks Islam berbahasa Arab yang kemudian diberikan terjemah antarbaris menggunakan aksara Pegon berbahasa Jawa. Digunakannya kertas Dluwang asal Jawa, berikut terjemah Pegon bersama aneka catatan Pegon lain yang “mengotori” manuskrip ini menggiring saya kepada sebuah pertanyaan: “Sejauhmana Jawa berpengaruh dalam tradisi intelektual Islam di Kalimantan Barat?”
Memang, manuskrip ‘Jawa’ di Pontianak itu bisa saja tidak ada kaitan apa-apa dengan tradisi intelektual Islam, hanya kajian lebih mendalam yang dapat secara pasti menjawabnya. Tentu ini menjadi sebuah pekerjaan rumah tersendiri, apalagi dalam hal pemetaan serta kajian manuskrip Islam Nusantara, Pontianak dapat dianggap masih relatif tertinggal, terutama dibanding wilayah lain seperti Aceh, Minangkabau, Riau, Palembang, Bima, Surakarta, Jogjakarta, Bandung, serta beberapa wilayah di Jawa lainnya.
Manuskrip dan Jaringan ‘Ingatan Kolektif’ Muslim Nusantara
Demikianlah, jika di antara kita ada yang mencurahkan dedikasinya untuk terus-menerus melakukan penelusuran dan pengkajian terhadap manuskrip Islam Nusantara yang masih tercecer di tangan-tangan masyarakat, niscaya hal itu dapat memberikan kontribusi terhadap upaya rekonstruksi sejarah sosial intelektual Islam yang pernah berkembang pada masa lalu, yang kemudian diharapkan pula dapat mengetahui karakter asal Muslim di wilayah ini, sebagai cermin untuk membangun peradaban Islam Indonesia dan Asia Tenggara di masa depan.
Saya sangat yakin, mozaik Islam Nusantara yang berupa manuskrip ini dapat dijumpai secara merata sebagai identitas kultural berbagai kelompok masyarakat etnik besar Nusantara. Dan, jika dirangkai satu persatu melalui sebuah aktifitas riset akademis yang sistematis dan terukur, niscaya mozaik manuskrip tersebut dapat membentuk sebuah jaringan ‘ingatan kolektif’ yang menghubungkan satu dengan yang lain.
Manuskrip Sabil al-muhtadin karya Arsyad al-Banjari dari etnis Banjar, misalnya, ditulis atas ‘inspirasi’ dari Sirat al-mustaqimnya Nuruddin al-Raniri dari etnis Aceh, pun sebuah manuskrip berbahasa Maranao di Filipina menyebut ‘berhutang budi’ pada Mir’at al-tullab karangan Abdurrauf al-Fansuri di Aceh, Serat Menak dari etnis Jawa lahir sebagai resepsi atas Hikayat Amir Hamzah dari etnis Melayu, Serat Tasawuf di Sunda juga mencantumkan Siyar al-salikin karya al-Palimbani sebagai rujukannya, manuskrip dalam tradisi Bugis-Makassar pun sering ‘mengingat’ peranan tiga ulama Minangkabau, Minangkabau ingat pada Aceh, Ternate ingat pada Makassar dan Gresik, Patani ingat pada Banjarmasin dan Palembang, Palembang ingat pada Demak, dan demikian seterusnya pola kemunculan manuskrip Nusantara ini terbentuk, transetnis dan transdaerah, sehingga khazanah manuskrip Nusantara layak dilihat sebagai cermin kesatuan dalam keragaman (unity in diversity) etnis masyarakat yang sebagian besar wilayahnya kini bernama Indonesia!
Apalagi jika pengamatan tersebut kita tujukan pada manuskrip-manuskrip silsilah guru-murid dalam sebuah tarekat, seperti yang dijumpai di Surau Calau dan Tanjung Ampalu Minangkabau, di PSM Takeran Magetan, di Zawiyah Tanoh Abee Aceh, di Pamijahan, di Cirebon, dan di tempat-tempat lainnya, niscaya proses merangkai mozaik-mozaik Islam Nusantara tersebut akan lebih mudah dilakukan, karena sebagai sebuah organisasi dalam tasawuf, tarekat menyediakan informasi yang terpercaya sejauh menyangkut hubungan seorang guru dan murid-muridnya, meski terkadang masing-masing antarmereka saling berjauhan, baik dari segi jarak maupun rentang hidupnya.
Manuskrip Islam Nusantara: Kesinambungan dan Pribumisasi Ajaran Islam
Secara umum, manuskrip Nusantara, yang ditulis dalam puluhan bahasa lokal, mengandung kekayaan informasi yang berlimpah. Isi manuskrip itu tidak terbatas pada kesusastraan tetapi mencakup berbagai bidang lain seperti agama, sejarah, hukum, adat, obat-obatan, azimat, astronomi, kedokteran, dan lain-lain.
Dalam hal manuskrip Islam Nusantara, tema-tema yang terkandung pun banyak didominasi oleh teks-teks yang sangat menggambarkan adanya pertemuan serta pribumisasi Islam dengan budaya-budaya lokal, di samping mencakup hampir semua bidang keilmuan yang pernah berkembang di dunia Islam.
Berdasarkan infomasi dalam Thesaurus of Indonesian Islamic Manuscripts yang sedang dikembangkan oleh Puslitbang Lektur Keagamaan, Balitbang dan Diklat, Kementerian Agama, bekerja sama dengan Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, dari 2.088 teks yang sudah berhasil dientri, tema hagiografi tradisional menempati urutan teratas sebanyak 442 teks (21%), disusul kemudian lima tema terbanyak berikutnya berturut-turut adalah tasawuf sebanyak 322 teks (15%), tale and folklor sebanyak 266 teks (13%), hadis Nabi sebanyak 206 teks (10%), teologi sebanyak 146 teks (7%), dan tema ethics atau akhlak sebanyak 128 teks (6%).
Manuskrip dan Penguatan Tradisi Riset Islam Indonesia: Peluang dan Tantangan
Dengan memperhatikan peta di atas, manuskrip Islam Nusantara, melalui Filologi sebagai perangkat keilmuan utama untuk mengkajinya, sangat potensial untuk dijadikan sebagai salah satu entri point pengembangan dan penguatan tradisi riset tentang Islam Indonesia khususnya dan Asia Tenggara umumnya, baik secara perorangan oleh dosen dan peneliti, maupun secara kelembagaan oleh perguruan tinggi agama Islam, seperti UIN, IAIN, STAIN, dan perguruan tinggi agama Islam lainnya.
Penelusuran manuskrip Islam Nusantara yang paling mutakhir, saya lakukan di wilayah Pontianak, Kalimantan Barat. Berdasarkan informasi awal yang telah dihimpun oleh sejumlah dosen dan peneliti muda yang tergabung dalam “Malay Corner” di STAIN Pontianak, wilayah ini ternyata juga menyimpan khazanah mozaik Islam dalam bentuk manuskrip tulisan tangan.
Sebuah manuskrip berbahan kertas Dluwang yang tersimpan, dan awalnya bercampur dengan kitab cetak litograf, di Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional (BPSNT) misalnya, mengandung teks-teks Islam berbahasa Arab yang kemudian diberikan terjemah antarbaris menggunakan aksara Pegon berbahasa Jawa. Digunakannya kertas Dluwang asal Jawa, berikut terjemah Pegon bersama aneka catatan Pegon lain yang “mengotori” manuskrip ini menggiring saya kepada sebuah pertanyaan: “Sejauhmana Jawa berpengaruh dalam tradisi intelektual Islam di Kalimantan Barat?”
Memang, manuskrip ‘Jawa’ di Pontianak itu bisa saja tidak ada kaitan apa-apa dengan tradisi intelektual Islam, hanya kajian lebih mendalam yang dapat secara pasti menjawabnya. Tentu ini menjadi sebuah pekerjaan rumah tersendiri, apalagi dalam hal pemetaan serta kajian manuskrip Islam Nusantara, Pontianak dapat dianggap masih relatif tertinggal, terutama dibanding wilayah lain seperti Aceh, Minangkabau, Riau, Palembang, Bima, Surakarta, Jogjakarta, Bandung, serta beberapa wilayah di Jawa lainnya.
Manuskrip dan Jaringan ‘Ingatan Kolektif’ Muslim Nusantara
Demikianlah, jika di antara kita ada yang mencurahkan dedikasinya untuk terus-menerus melakukan penelusuran dan pengkajian terhadap manuskrip Islam Nusantara yang masih tercecer di tangan-tangan masyarakat, niscaya hal itu dapat memberikan kontribusi terhadap upaya rekonstruksi sejarah sosial intelektual Islam yang pernah berkembang pada masa lalu, yang kemudian diharapkan pula dapat mengetahui karakter asal Muslim di wilayah ini, sebagai cermin untuk membangun peradaban Islam Indonesia dan Asia Tenggara di masa depan.
Saya sangat yakin, mozaik Islam Nusantara yang berupa manuskrip ini dapat dijumpai secara merata sebagai identitas kultural berbagai kelompok masyarakat etnik besar Nusantara. Dan, jika dirangkai satu persatu melalui sebuah aktifitas riset akademis yang sistematis dan terukur, niscaya mozaik manuskrip tersebut dapat membentuk sebuah jaringan ‘ingatan kolektif’ yang menghubungkan satu dengan yang lain.
Manuskrip Sabil al-muhtadin karya Arsyad al-Banjari dari etnis Banjar, misalnya, ditulis atas ‘inspirasi’ dari Sirat al-mustaqimnya Nuruddin al-Raniri dari etnis Aceh, pun sebuah manuskrip berbahasa Maranao di Filipina menyebut ‘berhutang budi’ pada Mir’at al-tullab karangan Abdurrauf al-Fansuri di Aceh, Serat Menak dari etnis Jawa lahir sebagai resepsi atas Hikayat Amir Hamzah dari etnis Melayu, Serat Tasawuf di Sunda juga mencantumkan Siyar al-salikin karya al-Palimbani sebagai rujukannya, manuskrip dalam tradisi Bugis-Makassar pun sering ‘mengingat’ peranan tiga ulama Minangkabau, Minangkabau ingat pada Aceh, Ternate ingat pada Makassar dan Gresik, Patani ingat pada Banjarmasin dan Palembang, Palembang ingat pada Demak, dan demikian seterusnya pola kemunculan manuskrip Nusantara ini terbentuk, transetnis dan transdaerah, sehingga khazanah manuskrip Nusantara layak dilihat sebagai cermin kesatuan dalam keragaman (unity in diversity) etnis masyarakat yang sebagian besar wilayahnya kini bernama Indonesia!
Apalagi jika pengamatan tersebut kita tujukan pada manuskrip-manuskrip silsilah guru-murid dalam sebuah tarekat, seperti yang dijumpai di Surau Calau dan Tanjung Ampalu Minangkabau, di PSM Takeran Magetan, di Zawiyah Tanoh Abee Aceh, di Pamijahan, di Cirebon, dan di tempat-tempat lainnya, niscaya proses merangkai mozaik-mozaik Islam Nusantara tersebut akan lebih mudah dilakukan, karena sebagai sebuah organisasi dalam tasawuf, tarekat menyediakan informasi yang terpercaya sejauh menyangkut hubungan seorang guru dan murid-muridnya, meski terkadang masing-masing antarmereka saling berjauhan, baik dari segi jarak maupun rentang hidupnya.
Manuskrip Islam Nusantara: Kesinambungan dan Pribumisasi Ajaran Islam
Secara umum, manuskrip Nusantara, yang ditulis dalam puluhan bahasa lokal, mengandung kekayaan informasi yang berlimpah. Isi manuskrip itu tidak terbatas pada kesusastraan tetapi mencakup berbagai bidang lain seperti agama, sejarah, hukum, adat, obat-obatan, azimat, astronomi, kedokteran, dan lain-lain.
Dalam hal manuskrip Islam Nusantara, tema-tema yang terkandung pun banyak didominasi oleh teks-teks yang sangat menggambarkan adanya pertemuan serta pribumisasi Islam dengan budaya-budaya lokal, di samping mencakup hampir semua bidang keilmuan yang pernah berkembang di dunia Islam.
Berdasarkan infomasi dalam Thesaurus of Indonesian Islamic Manuscripts yang sedang dikembangkan oleh Puslitbang Lektur Keagamaan, Balitbang dan Diklat, Kementerian Agama, bekerja sama dengan Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, dari 2.088 teks yang sudah berhasil dientri, tema hagiografi tradisional menempati urutan teratas sebanyak 442 teks (21%), disusul kemudian lima tema terbanyak berikutnya berturut-turut adalah tasawuf sebanyak 322 teks (15%), tale and folklor sebanyak 266 teks (13%), hadis Nabi sebanyak 206 teks (10%), teologi sebanyak 146 teks (7%), dan tema ethics atau akhlak sebanyak 128 teks (6%).
Manuskrip dan Penguatan Tradisi Riset Islam Indonesia: Peluang dan Tantangan
Dengan memperhatikan peta di atas, manuskrip Islam Nusantara, melalui Filologi sebagai perangkat keilmuan utama untuk mengkajinya, sangat potensial untuk dijadikan sebagai salah satu entri point pengembangan dan penguatan tradisi riset tentang Islam Indonesia khususnya dan Asia Tenggara umumnya, baik secara perorangan oleh dosen dan peneliti, maupun secara kelembagaan oleh perguruan tinggi agama Islam, seperti UIN, IAIN, STAIN, dan perguruan tinggi agama Islam lainnya.
Bahkan, mengingat potensinya yang cukup signifikan, manuskrip Islam Nusantara juga dapat menjadi pintu masuk untuk menghidupkan kembali tradisi dan aktifitas keilmuan di lembaga-lembaga pendidikan Islam tradisional, semacam pesantren, yang pada masa lalu memang pernah menjadi center of excellence keilmuan Islam Nusantara.
Jika dirumuskan dan diorganisasi secara lebih sistematis, kajian terhadap manuskrip Islam Nusantara ini memiliki beberapa keuntungan strategis sekaligus:
Pertama, dapat menggali kekhasan serta dinamika Islam dan masyarakat Muslim Indonesia dan Asia Tenggara, karena manuskrip Islam Nusantara, selain menggunakan bahasa Arab, ditulis dalam berbagai bahasa lokal seperti Aceh, Bali, Batak, Belanda, Bugis-Makasar-Mandar, Jawa & Jawa Kuna, Madura, Melayu, Minangkabau, Sanskerta, Sasak, Sunda dan Sunda Kuna, Ternate, dan Wolio, sehingga mengkajinya berarti akan menjadi semacam ‘jalan pintas’ untuk mengetahui pola-pola hasil interaksi dan pertemuan Islam dengan budaya-budaya lokal di Asia Tenggara, yang tentunya menjadi kekayaan intelektual tersendiri.
Kedua, kajian atas manuskrip-manuskrip Islam Nusantara dengan sendirinya akan menjadi bagian dari upaya pelestarian benda cagar budaya Indonesia demi menjaga identitas kemajemukan, kebangsaan, dan menjamin keberlangsungan transmisi pengetahuan yang telah diwariskan sejak ratusan tahun lalu.
Ketiga, keberhasilan memetakan kejayaan tradisi intelektual Islam Nusantara pada gilirannya dapat menunjukkan kepada dunia internasional bahwa wilayah ini tidak dapat dianggap sebagai Islam pinggiran (peripheral), melainkan bagian tak terpisahkan (integral), dari dunia Islam secara keseluruhan.
Dalam konteks masyarakat akademik internasional, manuskrip Islam telah mendapatkan perhatian besar, baik untuk bidang pelestariannya sebagai benda cagar budaya, maupun sebagai sumber primer penelitian dan kajian. The Islamic Manuscript Association (TIMA) yang bermarkas di Cambridge University, UK, misalnya, merupakan salah satu asosiasi akademik terkemuka yang menyelenggarakan berbagai aktifitas akademik, seperti konferensi internasional, scholarship, grant, penelitian, penerbitan, dan berbagai aktifitas lainnya.
Sayangnya, manuskrip Islam Nusantara masih sedikit dikenal karakteristik dan kandungan isinya oleh kalangan masyarakat akademik internasional tersebut karena kurangnya informasi dan publikasi internasional berkaitan dengan kekayaan warisan peradaban Islam Nusantara kita. Ada beberapa kemungkinan mengapa hal itu terjadi:
Pertama, kurangnya penelitian-penelitian yang mendalam tentang kekayaan khasanah manuskrip Islam Nusantara oleh sarjana-sarjana Indonesia sendiri yang sesungguhnya memiliki pengetahuan memadai, baik berkaitan dengan bahasa lokal yang digunakan maupun substansi keilmuan di dalamnya;
Kedua, mungkin saja sudah ada sejumlah kajian yang telah dilakukan, namun hasil kajian tersebut tidak dipublikasikan dan kemudian dikomunikaiskan dengan dunia akademik internasional;
Ketiga, belum adanya sebuah pusat kajian Islam khusus yang memberikan perhatian pada kajian manuskrip Islam Nusantara secara komprehensif, dikelola secara profesional, serta melakukan kajian terus menerus, dan akhirnya dapat dijadikan sebagai rujukan para sarjana dalam mengkaji manuskrip Islam Nusantara;
Keempat, masih minimnya dukungan finansial untuk upaya-upaya pengkajian dan sekaligus pelestarian khasanah manuskrip Islam Nusantara semacam ini, sehingga minat masyarakat akademik untuk menekuninya pun masih rendah dibanding bidang keilmuan lain.
Dalam hal ini, civitas akademika di perguruan tinggi Agama Islam (PTAI) di bawah naungan Kementerian Agama, sesungguhnya memiliki potensi untuk masuk dalam kajian Islam Nusantara yang berbasiskan pada manuskrip tersebut, setidaknya karena dua alasan:
Pertama, PTAI memiliki sumber daya manusia (human resources) yang memiliki potensi besar dalam memadukan kajian bidang-bidang keislaman dengan bidang umum termasuk Budaya dan Humaniora. Potensi tersebut ditunjang oleh kenyataan bahwa civitas akademika PTAI sebagian besar memiliki akar keilmuan Islam di pesantren-pesantren dan madrasah, sehingga sangat menguasai topik-topik yang dibahas dalam literatur Islam klasik, termasuk dalam manuskrip-manuskrip Islam Nusantara.
Kedua, PTAI memiliki SDM yang kuat dalam penguasaan bahasa yang banyak digunakan dalam manuskrip, yakni bahasa Arab. Apalagi berbagai manuskrip dalam bahasa daerah pun umumnya ditulis dengan aksara Arab (Jawi dan Pegon), sehingga penguasaan atas aksara dan bahasa tersebut menjadi sangat penting. Sejauh ini, minimnya penguasaan para filolog —yang umumnya berlatar belakang pendidikan umum— terhadap bahasa Arab seringkali menjadi faktor penghambat dilakukannya penelitian atas manuskrip-manuskrip Islam tersebut, sehingga tidak mengherankan jika ribuan manuskrip Nusantara berbahasa Arab lebih banyak “ditelantarkan”.
Manuskrip dan Pengembangan Infrastruktur Tradisi Riset Islam Indonesia
Jika boleh dibandingkan dengan kajian Islam Timur Tengah, para peneliti dalam kajian Islam Asia Tenggara, khususnya dalam konteks ini kajian manuskrip Islam, ibarat masuk ke dalam sebuah hutan belantara yang masih perawan, kaya dengan sumber daya, tetapi kondisinya belum tertata dengan baik.
Jika dalam konteks tradisi dan kajian Islam Timur Tengah misalnya, yang memang telah berusia jauh lebih tua, seorang peneliti akan dengan mudah bisa mencari dan mengetahui judul sebuah kitab berikut biografi pengarangnya melalui aneka tabaqat, faharis, atau ma’ajim yang telah disusun, maka tidak demikian halnya dengan kajian manuskrip Islam Nusantara. Meski sejumlah katalog (faharis) telah diterbitkan, akan tetapi kebutuhan terhadap perangkat penelitian semacam tabaqat, faharis, atau ma’ajim, yang menyediakan data-data lengkap dan komprehensif, tentang manuskrip Islam Nusantara, berikut biografi masing-masing pengarangnya, masih belum terpenuhi, sehingga seringkali menyulitkan para peneliti untuk melakukan kajian atasnya.
Masalah lain adalah bahwa hingga saat ini belum ada satu pun referensi komprehensif yang dapat menjadi rujukan tentang manuskrip Islam Nusantara apa saja yang pernah diteliti, baik dalam bentuk skripsi, tesis, disertasi, maupun laporan penelitian biasa. Akibatnya, tidak jarang sebuah penelitian saling tumpang tindih satu dengan yang lain, dan sering terjadi bahwa satu judul teks yang sama dalam naskah Nusantara dikaji oleh dua atau lebih peneliti, tanpa saling merujuk satu dengan yang lain.
Nah, jika mimpi-mimpi untuk mengembangkan tradisi riset Islam Indonesia ingin kita wujudkan, dan jika perguruan-perguruan tinggi agama Islam berminat memperkuat tradisi riset dan akademik di kampusnya, maka infrastruktur yang dibutuhkan tersebut sudah seyogyanya dibangun terlebih dahulu. Dalam hal ini, manuskrip sebagai salah satu mozaik Islam Nusantara, merupakan salah satu aset yang sangat potensial dan patut dipertimbangkan untuk dijadikan sebagai pintu masuk penguatan tradisi riset Islam Indonesia dan Asia Tenggara.
Seperti pernyataan Anthony Johns yang sering saya kutip, manuskrip Islam, yang ditulis oleh elit Muslim Nusantara sendiri, dan untuk dikonsumsi oleh komunitas lokal setempat, dapat menjadi sumber kajian otentik untuk memahami karakter yang sesungguhnya dari Islam dan Muslim di wilayah ini. Semoga.
-----------
Tulisan ini pernah dipresentasikan dalam “The 11th Annual Conference on Islamic Studies (ACIS)”, yang diselenggarakan oleh Direktorat Pendidikan Tinggi Islam Ditjen Pendidikan Islam Kementerian Agama RI, bekerja sama dengan STAIN Syaikh Abdurahman Siddiq Bangka Belitung di Bangka Belitung, 10-13 Oktober 2011.
Jika dirumuskan dan diorganisasi secara lebih sistematis, kajian terhadap manuskrip Islam Nusantara ini memiliki beberapa keuntungan strategis sekaligus:
Pertama, dapat menggali kekhasan serta dinamika Islam dan masyarakat Muslim Indonesia dan Asia Tenggara, karena manuskrip Islam Nusantara, selain menggunakan bahasa Arab, ditulis dalam berbagai bahasa lokal seperti Aceh, Bali, Batak, Belanda, Bugis-Makasar-Mandar, Jawa & Jawa Kuna, Madura, Melayu, Minangkabau, Sanskerta, Sasak, Sunda dan Sunda Kuna, Ternate, dan Wolio, sehingga mengkajinya berarti akan menjadi semacam ‘jalan pintas’ untuk mengetahui pola-pola hasil interaksi dan pertemuan Islam dengan budaya-budaya lokal di Asia Tenggara, yang tentunya menjadi kekayaan intelektual tersendiri.
Kedua, kajian atas manuskrip-manuskrip Islam Nusantara dengan sendirinya akan menjadi bagian dari upaya pelestarian benda cagar budaya Indonesia demi menjaga identitas kemajemukan, kebangsaan, dan menjamin keberlangsungan transmisi pengetahuan yang telah diwariskan sejak ratusan tahun lalu.
Ketiga, keberhasilan memetakan kejayaan tradisi intelektual Islam Nusantara pada gilirannya dapat menunjukkan kepada dunia internasional bahwa wilayah ini tidak dapat dianggap sebagai Islam pinggiran (peripheral), melainkan bagian tak terpisahkan (integral), dari dunia Islam secara keseluruhan.
Dalam konteks masyarakat akademik internasional, manuskrip Islam telah mendapatkan perhatian besar, baik untuk bidang pelestariannya sebagai benda cagar budaya, maupun sebagai sumber primer penelitian dan kajian. The Islamic Manuscript Association (TIMA) yang bermarkas di Cambridge University, UK, misalnya, merupakan salah satu asosiasi akademik terkemuka yang menyelenggarakan berbagai aktifitas akademik, seperti konferensi internasional, scholarship, grant, penelitian, penerbitan, dan berbagai aktifitas lainnya.
Sayangnya, manuskrip Islam Nusantara masih sedikit dikenal karakteristik dan kandungan isinya oleh kalangan masyarakat akademik internasional tersebut karena kurangnya informasi dan publikasi internasional berkaitan dengan kekayaan warisan peradaban Islam Nusantara kita. Ada beberapa kemungkinan mengapa hal itu terjadi:
Pertama, kurangnya penelitian-penelitian yang mendalam tentang kekayaan khasanah manuskrip Islam Nusantara oleh sarjana-sarjana Indonesia sendiri yang sesungguhnya memiliki pengetahuan memadai, baik berkaitan dengan bahasa lokal yang digunakan maupun substansi keilmuan di dalamnya;
Kedua, mungkin saja sudah ada sejumlah kajian yang telah dilakukan, namun hasil kajian tersebut tidak dipublikasikan dan kemudian dikomunikaiskan dengan dunia akademik internasional;
Ketiga, belum adanya sebuah pusat kajian Islam khusus yang memberikan perhatian pada kajian manuskrip Islam Nusantara secara komprehensif, dikelola secara profesional, serta melakukan kajian terus menerus, dan akhirnya dapat dijadikan sebagai rujukan para sarjana dalam mengkaji manuskrip Islam Nusantara;
Keempat, masih minimnya dukungan finansial untuk upaya-upaya pengkajian dan sekaligus pelestarian khasanah manuskrip Islam Nusantara semacam ini, sehingga minat masyarakat akademik untuk menekuninya pun masih rendah dibanding bidang keilmuan lain.
Dalam hal ini, civitas akademika di perguruan tinggi Agama Islam (PTAI) di bawah naungan Kementerian Agama, sesungguhnya memiliki potensi untuk masuk dalam kajian Islam Nusantara yang berbasiskan pada manuskrip tersebut, setidaknya karena dua alasan:
Pertama, PTAI memiliki sumber daya manusia (human resources) yang memiliki potensi besar dalam memadukan kajian bidang-bidang keislaman dengan bidang umum termasuk Budaya dan Humaniora. Potensi tersebut ditunjang oleh kenyataan bahwa civitas akademika PTAI sebagian besar memiliki akar keilmuan Islam di pesantren-pesantren dan madrasah, sehingga sangat menguasai topik-topik yang dibahas dalam literatur Islam klasik, termasuk dalam manuskrip-manuskrip Islam Nusantara.
Kedua, PTAI memiliki SDM yang kuat dalam penguasaan bahasa yang banyak digunakan dalam manuskrip, yakni bahasa Arab. Apalagi berbagai manuskrip dalam bahasa daerah pun umumnya ditulis dengan aksara Arab (Jawi dan Pegon), sehingga penguasaan atas aksara dan bahasa tersebut menjadi sangat penting. Sejauh ini, minimnya penguasaan para filolog —yang umumnya berlatar belakang pendidikan umum— terhadap bahasa Arab seringkali menjadi faktor penghambat dilakukannya penelitian atas manuskrip-manuskrip Islam tersebut, sehingga tidak mengherankan jika ribuan manuskrip Nusantara berbahasa Arab lebih banyak “ditelantarkan”.
Manuskrip dan Pengembangan Infrastruktur Tradisi Riset Islam Indonesia
Jika boleh dibandingkan dengan kajian Islam Timur Tengah, para peneliti dalam kajian Islam Asia Tenggara, khususnya dalam konteks ini kajian manuskrip Islam, ibarat masuk ke dalam sebuah hutan belantara yang masih perawan, kaya dengan sumber daya, tetapi kondisinya belum tertata dengan baik.
Jika dalam konteks tradisi dan kajian Islam Timur Tengah misalnya, yang memang telah berusia jauh lebih tua, seorang peneliti akan dengan mudah bisa mencari dan mengetahui judul sebuah kitab berikut biografi pengarangnya melalui aneka tabaqat, faharis, atau ma’ajim yang telah disusun, maka tidak demikian halnya dengan kajian manuskrip Islam Nusantara. Meski sejumlah katalog (faharis) telah diterbitkan, akan tetapi kebutuhan terhadap perangkat penelitian semacam tabaqat, faharis, atau ma’ajim, yang menyediakan data-data lengkap dan komprehensif, tentang manuskrip Islam Nusantara, berikut biografi masing-masing pengarangnya, masih belum terpenuhi, sehingga seringkali menyulitkan para peneliti untuk melakukan kajian atasnya.
Masalah lain adalah bahwa hingga saat ini belum ada satu pun referensi komprehensif yang dapat menjadi rujukan tentang manuskrip Islam Nusantara apa saja yang pernah diteliti, baik dalam bentuk skripsi, tesis, disertasi, maupun laporan penelitian biasa. Akibatnya, tidak jarang sebuah penelitian saling tumpang tindih satu dengan yang lain, dan sering terjadi bahwa satu judul teks yang sama dalam naskah Nusantara dikaji oleh dua atau lebih peneliti, tanpa saling merujuk satu dengan yang lain.
Nah, jika mimpi-mimpi untuk mengembangkan tradisi riset Islam Indonesia ingin kita wujudkan, dan jika perguruan-perguruan tinggi agama Islam berminat memperkuat tradisi riset dan akademik di kampusnya, maka infrastruktur yang dibutuhkan tersebut sudah seyogyanya dibangun terlebih dahulu. Dalam hal ini, manuskrip sebagai salah satu mozaik Islam Nusantara, merupakan salah satu aset yang sangat potensial dan patut dipertimbangkan untuk dijadikan sebagai pintu masuk penguatan tradisi riset Islam Indonesia dan Asia Tenggara.
Seperti pernyataan Anthony Johns yang sering saya kutip, manuskrip Islam, yang ditulis oleh elit Muslim Nusantara sendiri, dan untuk dikonsumsi oleh komunitas lokal setempat, dapat menjadi sumber kajian otentik untuk memahami karakter yang sesungguhnya dari Islam dan Muslim di wilayah ini. Semoga.
-----------
Tulisan ini pernah dipresentasikan dalam “The 11th Annual Conference on Islamic Studies (ACIS)”, yang diselenggarakan oleh Direktorat Pendidikan Tinggi Islam Ditjen Pendidikan Islam Kementerian Agama RI, bekerja sama dengan STAIN Syaikh Abdurahman Siddiq Bangka Belitung di Bangka Belitung, 10-13 Oktober 2011.
6 Kommentare:
selamat buat Pak Oman, atas dedikasinya membuka khazanah naskah Islam di Calau. Kapan hasilpenelitian bapak dipublikasikan pak? saya pernah ke Calau, tapi Tuanku tsb tampak enggan, entah apa gerangan. Semoga naskah-naskah itu dapat terpublikasi dengan segera, agar dapat dimanfaatkan para mahasiswa dan akademisi. jangan sampai naskah-naskah itu hanya ditangan filolog, tapi pelit berbagi. seperti beberapa orang filolog di Padang, susahnya setengah mati untuk memperoleh 1 copi naskah yang tak begitu penting, padahal tujuannya untuk kuliah, buat untuk proyek. salam hangat
harus dijaga dan dilestarikan
Terima kasih untuk semuanya. Insya Allah mudah-mudahan segera dapat diterbitkan dan bermanfaat sehingga menjadi amal zariah bagi para penulis dan ahli warisnya di Calau dan surau lain, amin...
posting yang sangat bagus pak...sekalian mau ijin bapak buat sadur isi blog bapak tuk situs saya nih...
Isinya sangat berkwalitas dan detail..
suksess selalu
Terima kasih untuk akun dsh atas kunjungan dan apresiasinya, silahkan dimanfaatkan pengetahuan yang ada di blog ini, karena semuanya bukan milik saya. Salam.
Assallamualaikum Prof. Oman, setelah membaca tulisan di atas, sudah mendesak sekali didirikan Pusat Kajian Islam Asia Tenggara di UIN. Sejalan dengan gagasan pendirian Pusat Kajian Islam di Nusantara pada acara ICON I di UIN Oktober 2014 kemarin. Kapan diwujudkan?
Post a Comment