Please feel free to quote part of information provided here, with an acknowledgment to the source.

17.1.07

Urban Sufism: Perubahan dan Kesinambungan Ajaran Tasawuf

Oman Fathurahman

Tulisan ini adalah draft awal, yang kemudian terbit dalam buku berjudul Gerakan & Pemikiran Islam Indonesia Kontemporer, oleh Rizal Sukma and Clara Joewono (eds.), dan diterbitkan oleh CSIS Jakarta, 2007.

Dalam salah satu tayangan di sebuah televisi swasta, sejumlah orang tampak bersimbah air mata sambil melantunkan untaian-untaian zikir, tasbih, tahmid, takbir, dan tahlil. Beberapa di antara mereka bahkan meratap ketika sang Ustaz yang memimpin zikir sampai pada kalimat-kalimat tentang pengakuan kelemahan diri di hadapan Sang Pencipta.

Ustaz Haryono, demikian ia dipanggil, adalah memimpin acara zikir dan do’a tersebut. Berbalut pakaian serba putih, yang juga diikuti seluruh jamaah peserta ritual zikir dan doa yang dipimpinnya, Ustaz Haryono turut meramaikan fenomena keberagamaan yang belakangan ini semakin berkembang marak di kalangan Muslim perkotaan.

Dari waktu ke waktu, jamaah yang mengikuti acara zikir dan doa yang dipimpin Ustaz Haryono— yang juga pimpinan Pesantren Al-Madinah, Pasuruan, Jawa Timur—kian bertambah. Mereka berasal dari kalangan masyarakat biasa, kalangan artis, pejabat, dan masyarakat golongan kelas menengah atas dari berbagai wilayah di Indonesia. Lebih dari sekedar zikir dan doa, daya tarik Ustaz Haryono bertambah karena ia membuka ”praktek penyembuhan spiritual”, juga melalui ritual zikir, di rumahnya di Bekasi.

Ustaz Haryono tidak sendirian. Ustaz Arifin Ilham belakangan juga menjadi idola masyarakat perkotaan yang haus dengan hidangan spiritual. Selain di markas utamanya di Masjid al-Amru Bittaqwa di kawasan Mampang Indah Dua, Depok, Ustaz Arifin Ilham senantiasa berkeliling menggelar acara "Zikir Taubat" di berbagai tempat di Ibu Kota dan sekitarnya.

Seperti halnya Ustaz Haryono, ritual zikir yang dipimpin Ustaz Arifin Ilham juga secara rutin ditayangkan media televisi, bahkan dipublikasi secara besar-besaran di sejumlah media lain, seperti Harian Umum Republika, Radio Music City 105.45 FM, dan majalah Hidayatullah. Sehingga, gaung acara ritual zikir terasa sangat luat dan merambah jantung kehidupan masyarakat perkotaan. Lebih dari itu, acara Zikir Taubat Ustaz Arifin Ilham sedemikian tertata dan terorganisasi dengan rapi, karena dilaksanakan di bawah manajemen sebuah organisasi kemasyarakatan yang dibentuk pada 12 Juni 2003, yakni “Majlis Zikir Az-Zikra”.

Lain lagi dengan K.H. Abdullah Gymnastiar, yang akrab disapa Aa Gym. Da’i muda yang juga pimpinan Pesantren Darut Tauhid di Bandung ini berhasil menggaet simpati berbagai lapisan masyarakat, termasuk kelas menengah di perkotaan, untuk mengikuti berbagai pengajian yang diselenggarakannya. Relatif berbeda dengan Ustaz Haryono dan Ustaz Arifin Ilham yang lebih memilih “menjual” ritual zikir, Aa Gym lebih menekankan upaya-upaya pembersihan diri (tahdhib al-nafs) melalui berbagai tausiyah (nasihat agama) yang sederhana, personal, empriris, dan menyentuh hati. Ia kemudian mengemas “produknya” itu dengan istilah “Manajemen Qalbu” (MQ). Untuk mensosialisasikan MQ-nya ini, Aa Gym membentuk MQFM dalam bentuk channel Radio, dan MQTV dalam bentuk siaran televisi. Hingga saat tulisan ini dibuat, suguhan-suguhan spiritual Aa Gym terbukti ampuh menyedot antusiasme masyarakat, khususnya masyarakat perkotaan, untuk mengenal ajaran-ajaran Islam yang menekankan aspek batin.

Di samping itu, kegiatan spiritual perkotaan juga diramaikan sekelompok anggota tarekat, yakni Qadiriyyah dan Naqsybandiyyah (TQN), yang secara rutin menyelenggarakan pengajian manakiban. Terdapat sekitar 158 tempat manakiban yang tersebar di berbagai wilayah di Jakarta. Kegiatan ini menandai bangkitnya aktifitas sufisme di perkotaan, bersama dengan kegiatan zikir dan do’a seperti telah dijelaskan di atas.

Demikianlah, atas fenomena maraknya sufisme di perkotaan (urban sufism) ini, sejumlah telaah telah dilakukan, dengan pendekatan dan perspektif beragam. Tulisan ini akan mendiskusikan fenomena urban sufism itu dan menghubungkannya dengan dunia tarekat dan tasawuf konvensional. Ada beberapa pertanyaan yang ingin dijawab: apa motivasi masyarakat perkotaan mempelajari dan mempraktikkan aspek-aspek spiritual Islam, khususnya zikir yang menjadi intisari ajaran tasawuf tersebut? Bagaimana tipologi dan bentuk
urban sufism yang berkembang? Dan bagaimana pula kaitannya dengan model tasawuf konvensional yang telah lama berkembang di dunia Muslim?

Urban Sufism: Pengertian dan Tipologi
Istilah urban sufism menjadi populer setelah Julie d. Howell ( 2003) menggunakannya dalam satu kajian antropologi tentang gerakan sufisme yang marak di wilayah perkotaan di Indonesia, seperti Paramadina, Tazkiya Sejati, ICNIS, IIMAN, dan lain sebagainya. Tentu saja, kajian Howell saat itu belum memasukkan fenomena Ustaz Haryono, Ustaz Arifin Ilham, dan Aa Gym, karena fenomena ketiganya muncul belakangan. Meski demikian, memperhatikan karakteristik spiritual yang melekat pada aktivitas ketiga ustaz di atas, tidak sulit untuk memasukkannya ke dalam kategori urban sufism.

Dalam tulisan ini,
urban sufism digunakan dalam pengertiannya yang longgar, sehingga mencakup berbagai fenomena gerakan spiritual yang muncul di tengah masyarakat perkotaan. Maka, di samping gerakan spiritual yang lebih mengutamakan ritual zikir dan do’a tanpa organisasi tarekat—sebagaimana yang dilakukan Ustaz Haryono, Ustaz Arifin Ilham, dan Aa Gym—juga termasuk dalam ketgori urban sufism adalah gerakan tasawuf konvensional yang masih terikat dengan simpul-simpul organisasi tarekat, seperti yang ditampakkan oleh komunitas Tarekat Qadiriyyah-Naqsybandiyyah. Meskipun, tulisan ini akan lebih difokuskan pada fenomena urban sufism model pertama.

Urban sufism merupakan fenomena umum yang terjadi di hampir semua kota besar di dunia. Hanya saja,
urban sufism tidak bisa dipahami sebagai menggeser popularitas tarekat konvensional. kenyataannya tasawuf konvensional dengan organisasi tarekat tetap dapat berkembang di tengah hiruk-pikuk masyarakat modern (Voll 2003: 6). Fakta ini semakin menegaskan nilai universal dalam sufisme. Seperti diketahui, sufisme cenderung bersifat lentur, toleran, dan akomodatif terhadap keragamaan faham keagamaan. Bahkan, pada level tertentu, sufisme mengandung ajaran kesatuan agama-agama (wahda al-adyan). Model keberagamaan inilah yang banyak diminati kalangan Muslim perkotaan yang kosmopolit. Dan fakta ini sedikit banyak juga menjelaskan munculnya fenomena sufisme seperti Anand Krishna atau Kelompok Salamullah di Indonesia.

Dalam sebuah diskusi terbatas di PPIM UIN Jakarta pada 2005, Komaruddin Hidayat menjelaskan setidaknya ada empat cara pandang mengapa sufisme semakin berkembang di kota-kota besar di Indonesia: pertama, sufisme diminati oleh masyarakat perkotaan karena menjadi sarana pencarian makna hidup; kedua, sufisme menjadi sarana pergulatan dan pencerahan intelektual; ketiga, sufisme sebagai sarana terapi psikologis; dan keempat, sufisme sebagai sarana untuk mengikuti trend dan perkembangan wacana keagamaan.

Kekuatan Zikir, Doa, dan Meditasi
Sebagaimana telah disinggung di atas, Ustaz Haryono, Ustaz Arifin Ilham, dan Aa Gym adalah contoh figur pribadi-pribadi yang berhasil menghidangkan kekuatan zikir, do’a, dan sentuhan spiritual sebagai suguhan bagi masyarakat perkotaan. Dalam Islam, zikir memang merupakan salah satu ajaran penting yang mendapatkan penekanan baik dalam al-Qur’an maupun hadis.

Dalam tradisi sufisme, zikir bahkan menjadi inti keseluruhan ajaran yang disampaikan para guru sufi, khususnya mereka yang berafiliasi atau menjadi ikon salah satu tarekat tertentu. Para guru sufi umumnya menciptakan formula-formula dan rumusan zikir secara khusus, sehingga menjadi pembeda antara tarekat yang diajarkannya dengan tarekat lain. Demikian halnya dengan pembersihan diri (tahdhib al-nafs) yang dihidangkan Aa Gym, yang memang menjadi tujuan akhir dari semua ajaran yang diberikan para ulama sufi terdahulu. Jadi, bisa dikatakan bahwa fenomena Ustaz Haryono, Ustaz Arifin Ilham dan Aa Gym merupakan bentuk lain dari tradisi berzikir dan bertasawuf yang telah berakar kuat dalam tradisi Islam.

Konsisten dengan pengertianya yang longgar, fenomena
urban sufism di Indonesia tidak dimulai ketiga ustaz di atas, yang baru populer beberapa tahun belakangan. Hamka (1990 [1939]), dengan buku Tasawuf Modern-nya, bisa jauh mendahuluai ketiga ustaz tersebut. Hamka disebut yang pertama yang memberi penekankan pentingnya mengapresiasi nilai-nilai substantif tasawuf tanpa harus terikat dengan ketentuan-ketentuan tarekat. Belakangan juga muncul sastrawan Abdul Hadi WM yang giat mendengungkan puisi-puisi sufi, khususnya oleh Hamzah Fansuri, sehingga semakin banyak kalangan Muslim yang tertarik dengan ajaran tasawuf.

Mulai sekitar 1980-an, aktifitas sufi di perkotaan ini mulai terlembagakan. Ini ditandai antara lain dengan berdirinya Yayasan Wakaf Paramadina pimpinan Nurcholis Madjid atau Cak Nur. Melalui kegiatan-kegiatan pengajian dan kursus yang diselenggarakannya, Cak Nur mencoba mengemas tasawuf menjadi menu menarik untuk memenuhi hasrat masyarakat perkotaan yang haus akan nilai-nilai spiritual. Lembaga sejenis lain juga tumbuh, seperti Tazkiya Sejati pimpinan Jalaluddin Rahmat, IIMAN sebagai pusat pengembangan tasawuf positif di bawah koordinasi Haidar Bagir. Dan, seperti halnya Paramadina, lembaga-lembaga tersebut juga menyelenggarakan berbagai bentuk kegiatan seperti kursus, dan pelatihan dengan menyuguhkan materi-materi yang berkaitan dengan tasawuf. Kendati mengalami pasang surut, kegiatan-kegiatan dengan materi semacam itu banyak diminati peserta yang umumnya berasal dari kalangan menengah ke atas (the middle class).

Tentu saja, cara pengenalan ajaran-ajaran tasawuf oleh lembaga-lembaga tersebut berbeda dengan dunia tasawuf konvensional. Yayasan Paramadina mengemas kajian tasawuf sebagai bagian dari paket kursus kajian Islam yang ditawarkan. Demikian halnya Tazkiya Sejati, yang memperkenalkan tasawuf kepada masyarakat perkotaan dalam bentuk kursus singkat, serta dengan menyediakan bahan-bahan pegangan dan panduan zikir yang disusun sendiri oleh Jalaluddin Rahmat.

Pelatihan spiritual dan meditasi juga diramaikan dengan munculnya tokoh seperti Anand Krishna. Berbeda dengan lembaga-lembaga keagamaan di atas yang berbasis pada ajaran-ajaran Islam, Anand Krishna—dengan Padepokan Anand Ashram-nya—menyuguhkan berbagai pelatihan spiritual yang disebutnya sebagai tidak terikat dengan sekat-sekat salah satu agama tertentu, melainkan menggabungkannya menjadi menu spiritual “ala Anand”. Dari sejumlah buku yang ditulisnya, Anand Krishna terlihat ingin memanfaatkan potensi lokal dari semua agama yang berkembang di masyarakat (Burhani 2001: 45).

Dengan ajaran spiritualnya yang eklektis, Anand Krishna kemudian menuai kritik dari sebagian kalangan masyarakat. Sebagian menuduh Anand telah menjual ajaran-ajaran suci dari berbagai agama demi meraup keuntungan materiil. Tidak heran kemudian jika buku-buku Anand yang telah dicetak oleh Penerbit Gramedia ditarik kembali dari peredaran, karena dianggap akan menimbulkan pertentangan dari kalangan masyarakat luas, baik Muslim maupun non-Muslim. Terlepas dari kasus Anand Krishna, yang jelas fenomena ketertarikan masyarakat kota terhadap nilai-nilai spiritual berkembang kuat.

Juga perlu disdebut di sini adalah peran media massa yang menampilkan dan bahkan memiliki rubrik khusus tentang tasawuf. Tidak hanya harian Republika atau Majalah Panji Masyarakat, yang memang kental dengan nuansa Islamnya, media cetak lain semisal Kompas, Suara Pembaruan, The Jakarta Post, Indonesian Observer, Media Indonesia, Gamma, Gatra, SWA, dan Tempo, tidak jarang memuat tulisan atau reportase berkaitan dengan dunia tasawuf. Berbagai tulisan dalam media cetak tersebut, ditambah dengan maraknya penerbitan buku-buku tentang tasawuf, telah banyak memberikan kontribusi terhadap proses sosialisasi aspek-aspek esoteris Islam ke kalangan masyarakat perkotaan yang memang cenderung memiliki akses luas terhadap sumber-sumber informasi tersebut.

Fenomena maraknya kajian tasawuf Islam khususnya, dan spiritualitas pada umumnya, di kalangan masyarakat perkotaan ini tentu saja merupakan hal menarik, karena sebelumnya tasawuf seringkali diidentikkan dengan aktivitas masyarakat pedesaan tradisional belaka, bahkan dianggap sebagai simbol ketertinggalan. Kini, kajian-kajian tentang sufisme dilakukan di hotel berbintang, di kantor, dan di perumahan-perumahan mewah. Apalagi, fenomena bangkitnya tasawuf dan spiritualitas ini sudah menjadi trend umum, tidak hanya terjadi di Indonesia tapi juga di sejumlah negara lain.

Tasawuf Rasional
Tanpa bermaksud mengeneralisir, salah satu karakteristik masyarakat yang tinggal di wilayah perkotaan adalah kecenderungannya untuk bersikap rasional. Hal ini mudah dipahami karena masyarakat kota, terlebih dari kelas menengah, adalah masyarakat terpelajar dan umumnya memiliki akses luas dengan berbagai sumber informasi, sehingga memungkinkan terbentuknya pola pikir yang kritis dan rasional.

Tak pelak lagi, sifat dan watak masyarakat perkotaan tersebut sedikit banyak mempengaruhi corak tasawuf yang digandrungi. Jika para penganut tasawuf konvensional senantiasa menghubungkan dirinya dengan organisasi tarekat, tidak demikian halnya dengan “para sufi kota” ini. Kendati mungkin saja ada yang menjadi anggota sebuah tarekat tertentu, bisa dipastikan bahwa sebagian besar masyarakat kota yang mengikuti ritual tasawuf tidak berafiliasi dengan sebuah organisasi tarekat. Seorang jamaah Ustaz Arifin Ilham, Pak Asvy, yang juga pernah menjadi anggota, dan kemudian memutuskan keluar dari, sebuah tarekat misalnya berujar:

“…bacaan-bacaan zikir Ustaz Arifin Ilham itu betul-betul dari Al-Quran, sedangkan di tarekat itu menggunakan bacaan yang aneh-aneh yang menurut mereka sohih, tapi kalau ditanya kitabnya mana? Mereka tidak bisa menjawab. Paling jawabannya karena wali dan guru mereka melakukan itu. Itu yang membuat saya menjadi takut. Tingkat ke-taqlid-an mereka itu sangat tinggi. Dan pada saat itulah saya baru menyadari bahwa yang benar itu adalah yang berasal dari al-Quran dan as-Sunnah…” (dikutip dari Syazily 2004: 99).

Ilustrasi di atas hanya merupakan sedikit gambaran mengenai sifat tasawuf yang dipraktikkan masyarakat perkotaan. Maka, meskipun Ustaz Haryono, Ustaz Arifin Ilham, atau Aa Gym mengajarkan zikir, do’a, muhasaba (evaluasi diri), dan tahdhib al-nafs, semuanya tidak pernah mempersyaratkan adanya keanggotaan para jamaahnya, melalui baiat misalnya, atau mengharuskan membuat silsilah dengan dirinya, atau mengajarkan untuk membayangkan wajah guru ketika melakukan zikir, seperti yang terjadi dalam tasawuf plus tarekat konvensional. Memang, mungkin saja secara pribadi “guru-guru” tasawuf di perkotaan itu, khususnya Jalaluddin Rahmat, berafiliasi dengan salah satu tarekat tertentu, tetapi hal itu tidak menjadi keharusan bagi para jamaahnya.

Akan tetapi, perbedaan antara
urban sufism dan tasawuf konvensional tidak berarti meniadakan benang merah di antara keduanya. Seperti telah diisyaratkan di atas, ritual zikir dan do’a yang menjadi menu utama Ustaz Haryono dan Ustaz Arifin Ilham, atau tahdhib al-nafs yang menjadi kekuatan Aa Gym, juga merupakan ajaran inti dalam tasawuf konvensional. Demikian halnya dengan muhasaba (evaluasi diri) yang sering menjadi materi utama dalam berbagai training spiritualitas yang diselenggarakan. Ia merupakan aspek penting yang diajarkan oleh para sufi konvensional guna mendekatkan diri kepada Sang Khaliq.

Dari Sufisme, neo-Sufisme, hingga Urban Sufism
Dengan penjelasan di atas, penting mengelaborasi sejauhmana sebetulnya hubungan dan titik temu antara
urban sufism dan tasawuf konvensional? Apakah ketidakterikatan komunitas tasawuf dalam organisasi tarekat, seperti yang tampak dalam fenomena urban sufism memiliki preseden dalam sejarah perjalanan tasawuf?

Pada masa awal Islam, tasawuf merupakan salah satu bentuk ungkapan keberagamaan seseorang yang sifatnya sangat pribadi. Seseorang yang masuk ke dalam dunia tasawuf bermaksud menegaskan hubungan spiritual dirinya sebagai hamba ('abid) dengan Tuhannya sebagai Yang Disembah (Ma'bud). Hubungan spiritual antara abid dengan Ma'bud ini—yang lebih menekankan aspek batin (esoteric)— umumnya dipahami berbeda dengan hubungan antara 'abid dengan Ma'bud yang diatur melalui doktrin-doktrin fikih dan lebih bersifat lahir (Rizvi 1983, I: 18). Karena wataknya sangat personal, para sufi periode awal tidak bergabung dalam sebuah wadah yang kemudian disebut tarekat. Tokoh-tokoh sufi seperti Dhu al-Nun al-Misri, Rabia al-Adawiyya, Al-Hallaj tidak dihubungkan dengan tarekat tertentu.

Tarekat secara kelembagaan tidak dikenal dalam Islam hingga abad ke-8 H atau abad ke-14 M. Artinya, sebagai organisasi dalam dunia tasawuf, tarekat bisa dianggap sebagai hal baru yang tidak pernah dijumpai dalam tradisi Islam periode awal. Tidak heran kemudian jika hampir semua jenis tarekat yang dikenal saat ini selalu dinisbatkan kepada nama-nama para wali atau ulama belakangan yang hidup berabad-abad jauh setelah masa Nabi (Bruinessen 1996: 47).

Tarekat Qadiriyyah misalnya, dinisbatkan kepada Shaikh ‘Abd al-Qadir al-Jailani (471-561 H/1079-1166 M), tarekat Suhrawardiyya dinisbatkan kepada Shihab al-Din Abu Hafs al-Suhrawardi (539-632 H/1145-1235 M), tarekat Rifaiyya dinisbatkan kepada Ahmad ibn ‘Ali Abu al-‘Abbas al-Rifa’i (w. 578 H/1182 M), tarekat Shadhiliyya dinisbatkan kepada Abu al-Hasan Ahmad ibn ‘Abd Allah al-Shadhili (593-656 H/1197-1258 M), tarekat Naqshabandiyya dinisbatkan kepada Baha’ al-Din al-Naqshabandi (717-791 H/1317-1389 M). Demikian halnya dengan tarekat Shattariyya, yang dinisbatkan kepada Shaih Abd Allah al-Shttari, yang wafat pada 890 H/1485 M.

Meski demikian, oleh para pemeluknya ajaran tasawuf yang diorganisasi melalui tarekat diyakini memiliki akar dalam ajaran Nabi. Para penganut tarekat meyakini bahwa para sufi yang namanya digunakan untuk menyebut jenis tarekat tertentu tidak bertindak sebagai pencipta berbagai ritual tarekat, seperti zikir dengan berbagai metodenya. Mereka hanya merumuskan dan mensistematisasi, sedangkan substansi dari ajaran-ajarannya berasal dari Nabi, dan diterimanya melalui sebuah jalur silsilah yang terhubungkan sedemikian rupa sampai kepada Nabi.

Demikianlah, karena sifatnya yang sangat personal, aspek yang menonjol dari sifat tasawuf pada masa-masa awal Islam adalah ungkapan-ungkapan yang menunjukkan cinta kasih (‘ashiq-ma’shuq) dengan Tuhan, bahkan ungkapan-ungkapan yang menunjukkan penyatuan atau peleburan diri sang sufi dengan Rabbnya (wahda al-wujud). Dalam istilah tasawuf, ungkapan-ungkapan seperti ini dikenal sebagai shattahat. Rabia al-Adawiyya, misalnya, terkenal dengan puisi-puisinya yang menyebut Tuhan sebagai Sang Kekasih, sedangkan Al-Hallaj dikenal dengan konsep penyatuannya dengan Tuhan. Tentu saja, ajaran-ajaran seperti ini hanya dapat dipahami oleh sang sufi sendiri. Bagi orang awam, yang lebih menekankan aspek lahir (syariat), ajaran sufi seringkali disalahtafsirkan, bahkan tidak jarang menimbulkan konflik keagamaan.

Pada perkembangan berikutnya muncul kecenderungan untuk mengkritik model ajaran tasawuf demikian. Tokoh-tokoh seperti Al-Ghazali dan Al-Qushairi termasuk yang terdepan dalam melakukan reformulasi ajaran tasawuf. Mereka menekankan pentingnya rekonsiliasi antara ajaran tasawuf dan ajaran syari’at. Mereka mengakui bahwa bertasawuf itu penting, dan dekat dengan Sang al-Haq juga tidak keliru. Namun, bertasawuf tidak serta merta boleh meninggalkan ritual ibadah shar'iyya, seperti shalat misalnya. Demikian kecenderungan yang digagas oleh Al-Ghazali dan Al-Qushairi (Azra 1994: 78). Kencenderungan rekonsiliatif ini terus berkembang seiring perkembangan ajaran tasawuf ke berbagai wilayah di dunia Islam, termasuk di Indonesia (Fathurahman 2003). Pada gilirannya, kecenderungan tasawuf demikian semakin menjadi mainstream di dunia Islam secara keseluruhan, dan disebut kemudian sebagai neo-Sufisme.

Seperti dikemukakan Azra (1994), aspek paling menonjol dari pemikiran neo-Sufisme adalah adanya saling pendekatan (raproachment) antara para ulama yang lebih berorientasi syari’ah (ahl al-shari'a), khususnya mereka yang kerap disebut para ahli fiqh, dan para ulama yang lebih menekankan praktek-praktek Sufisme (ahl al-haqiqa). Oleh karena itu, dalam sejarah pemikiran Islam, neo-Sufisme ini sedikit banyak diakui merupakan pembaharuan yang berusaha menjadikan Sufisme sejalan dengan syari’ah. Hal ini lahir karena konflik yang tajam antara dua kelompok pemikir Islam di atas. Bahkan, konflik ini telah merenggut korban dengan meningalnya para Sufi awal, seperti yang dialami oleh al-Hallaj, karena tuduhan tidak menjalankan hukum-hukum atau ketentuan-ketentuan yang ditetapkan syari’ah.

Dalam konteks Islam Indonesia, isu penting yang berkembang sejak awal proses Islamisasi adalah sufisme. Di setiap wilayah di mana Islam berkembang, baik pada level kerajaan maupun masyarakat, sufisme senantiasa mewarnai secara keseluruhan gambaran Islam yang muncul. Hal ini tidak terlalu mengherankan jika mempertimbangkan teori Islamisasi A.H. Johns (1961), yang menjelaskan bahwa khususnya sejak abad ke-13 para guru sufi adalah yang paling banyak mempengaruhi jalannya Islamisasi di Nusantara.

Lebih jauh, Johns menegaskan bahwa Islam tidak dapat, dan tidak akan pernah bisa, menancapkan akarnya secara kuat di kalangan penduduk Nusantara, bahkan mungkin juga tidak dapat mengislamkan para penguasa, jika tidak disiarkan secara massif oleh para sufi (Johns 1961: 15). Ini tentu saja berkait erat dengan karakteristik sufisme itu sendiri yang cenderung lentur dalam menyikapi berbagai kepercayaan dan praktik keagamaan lokal, yang saat itu masih kuat dipengaruhi tradisi dan praktik kepercayaan pra-Islam.

Dibanding ajaran Islam lain seperti fikih, sufisme merupakan bagian dari ajaran Islam yang paling sejalan dengan adaptasi budaya lokal. Hal ini karena sufisme lebih menekankan praktik-pratik meditasi untuk mencapai “derajat kesatuan” dengan Tuhan––yang dianggap sebagai bentuk kesempurnaan dalam beragama–– ketimbang praktik-praktik keagamaan yang ditentukan syariah (fiqh). Lebih-lebih di Jawa, sufisme sedemikian mudah diterima masyarakat. Sufisme dalam banyak aspek memang sejalan dengan praktik-praktik dan pandangan dunia keagamaan masyarakat Jawa yang Hindu-Budhis.

Pandangan Johns ini sejalan dengan fakta bahwa masa ketika Islam mulai mendapatkan tempat di masyarakat Indonesia, sufisme bersama dengan lembaga tarekat tengah berjaya dalam wacana intelektual keagamaan di dunia Muslim. Nama-nama seperti Abu Hamid al-Ghazali (w. 1111), Abd al-Qadir al-Jailani (w. 1166), Ibn ‘Arabi (w. 1240) adalah para sufi terkenal yang hidup ––seperti bisa dilihat dari tahun wafatnya–– dalam bentang waktu sejarah yang berdekatan dengan masa berlangsungnya proses Islamisasi di Nusantara.

Tradisi sufisme bahkan sudah terlihat dalam teks-teks klasik seperti Hikayat Raja-Raja Pasai dan Sejarah Melayu. Penggambaran konversi keislaman raja-raja Melayu melalui mimpi bertemu dengan Nabi Muhammad––seperti dijelaskan dalam dua teks di atas––oleh para ahli sejarah dilihat sebagai ungkapan yang memiliki nuansa dan kecenderungan sufisme. Dalam tradisi sufisme, proses mimpi diakui sebagai bagian dari praktik-praktik keagamaan para sufi, sebagai sarana proses transmisi ilmu-ilmu keislaman. Bahkan al-Ghazali berpendapat bahwa apa yang muncul dalam mimpi adalah sebuah perumpamaan (mithal); ia merupakan bentuk pengalaman spiritual yang dimiliki para sufi. Oleh karena itu, bisa dikatakan bahwa munculnya sufisme dalam wacana intelektual Islam di Indonesia berlangsung sejalan dengan proses Islamisasi.

Kenyataannya, Islam yang bercorak sufisme ini sedemikian dominan mewarnai wacana intelektual keagamaan yang terjadi, kendati dengan karakteristik, kecenderungan, dan penekanan yang relatif berbeda antarsatu periode dengan periode lainnya. Di antara sifat dan kecenderungan sufisme yang semakin menguat dari waktu ke waktu adalah munculnya apa yang disebut dengan neo-sufisme.

Azra (1994) menegaskan bahwa sepanjang menyangkut perkembangan Islam, khususnya di abad ke-17, neo-sufisme merupakan wacana dominan dalam jaringan ulama Nusantara dengan Timur Tengah. Sejak awal abad ke-17, Timur Tengah, khususnya Makkah dan Madinah, menyaksikan berkembangnya pemikiran Islam neo-Sufisme. Sehingga, sebagai wilayah yang terlibat dalam proses transmisi keilmuan Islam dari Timur Tengah, Indonesia memperlihatkan kecenderungan Islamnya yang neo-Sufis.

Dari waktu ke waktu, kecenderungan ajaran neo-Sufisme di Indonesia ini semakin terus menguat. Bahkan, dalam konteks ajaran salah satu jenis tarekat, yakni tarekat Syattariyyah, sifat neo-Sufisme ini diterjemahkan menjadi penolakan terhadap doktrin wahda al-wujud (kesatuan wujud), yang sebelumnya menjadi substansi ajaran tasawuf. Hanya saja, kendati telah terjadi pembaharuan atas jenis dan sifat tasawuf dalam gerakan neo-Sufisme, satu hal yang masih dipegang teguh oleh para pengamal ajaran neo-Sufisme adalah berkaitan dengan organisasi tarekat. Ada kecenderungan bahwa para sufi yang terlibat dalam propaganda neo-Sufisme memanfaatkan organisasi tarekat untuk menciptakan jaringan internasional yang dapat menghubungkan satu ulama sufi dan ulama sufi lain, dan juga satu wilayah Islam dengan wilayah Islam lain.

Baru pada periode belakangan ini, ketika muncul apa yang didiskusikan di atas sebagai urban sufism, simpul-simpul tarekat sudah tidak tampak lagi, kendati secara geneologi intelektual sesungguhnya tokoh-tokoh yang menjadi penggagas
urban sufism tetap terhubungkan dengan guru-guru tarekat. Terlepas dari itu semua, fenomena urban sufism harus juga dipahami sebagai kelanjutan dari ajaran neo-Sufisme. Dalam hal ini, pembaharuan yang dilakukan oleh tokoh-tokoh urban sufism merupakan upaya untuk menjadikan nilai-nilai sufistis dapat tetap diterima kalangan masyarakat di tengah arus konsumerisme dan materialisme.

Urban Sufism dan Tasawuf Konvensional:
Persinggungan dan Perbedaan
Sebagai penutup, saya ingin menggarisbawahi masalah persinggungan dan perbedaan antara apa yang terdapat dalam
urban sufism dan tasawuf konvensional. Seperti ditunjukkan di atas, setidaknya dalam dua hal urban sufism dan tasawuf konvensional dapat ketemu: pertama dalam hal zikir, dan kedua dalam hal pembersihan hati (tahdhib al-nafs). Sejauh menyangkut zikir, para penggagas urban sufism dan para sufi konvensional sama-sama mengajarkan dan menekankan pentingnya zikir. Dalam fenomena urban sufism, penekanan pada aspek zikir terlihat pada contoh Arifin Ilham, Ustaz Haryono, dan juga Aa Gym.

Pesantren Darut Tauhid pimpinan Aa Gym misalnya, mencanangkan motto lembaganya dengan “zikir, fikir, ikhtiar”, dan bertujuan untuk membentuk insan yang ramah, santun, berwibawa, rajin, trampil cekatan, dan tidak menyia-nyiakan waktu. Ustaz Haryono mengolah zikir ini menjadi menu untuk menyembuhkan berbagai penyakit. Hampir setiap waktu, ribuan pasien antri di rumahnya di Bekasi. Menu zikir dan penyembuhan ala Ustaz Haryono menjadi daya tarik tersendiri sehingga ia mampu menggugah puluhan ribu jamaah untuk mengikuti ritual zikirnya, baik di Pesantrennya di Pasuruan maupun di tempat lain di mana ia diundang oleh jamaahnya. Sementara itu, Arifin Ilham konsisten dengan promosi zikir taubatnya. Arifin Ilham menegaskan bahwa ia berzikir untuk “mengenal Allah secara lebih total” (Agoes MD 1999).

Konsep zikir ini juga menjadi perhatian dan ajaran utama dalam tasawuf konvensional. Oleh para sufi, zikir bahkan dianggap sebagai pintu gerbang utama (a’zamu babin) untuk mencapai penghayatan makrifat pada al-Haq. Karena itu, dalam ajaran tasawuf konvensional, terutama setelah munculnya berbagai tarekat, tata cara zikir beserta aturan-aturan wiridnya memegang peranan sentral dan menjadi ciri pembeda antara satu tarekat dengan tarekat lain.

Dalam Tanbih al-Mashi, karangan seorang ulama Sufi Aceh Abdurrauf Singkel, dijelaskan bahwa zikir merupakan cara paling efektif untuk mendekatkan diri kepada Allah, paling mudah dilakukan, dan paling baik di hadapan Allah. Zikir yang dianjurkan oleh hampir semua sufi, antara lain, adalah bacaan tahlil, la ilaha illa Allah [Tidak ada Tuhan selain Allah] (Fathurahman 1999: 69).

Hanya saja, ada sejumlah perbedaan menonjol antara konsep dan formula zikir yang dikembangkan oleh para penggagas
urban sufism dengan tasawuf konvensional. Selain aturan zikir yang cenderung rigid dan ketat karena harus didahului dengan ikrar dan bai’at, zikir dalam formulasi para sufi konvensional seringkali dijadikan sarana untuk mencapai penghayatan fana fi Allah (peleburan diri dalam Allah) dan bahkan fana fi fanaih (fana dalam fana itu sendiri). Oleh karenanya, tujuan tertinggi dari zikir itu sendiri adalah diperolehnya keyakinan mutlak akan keesaan Allah dan tenggelam di dalam-Nya, sehingga wujud hamba menjadi hilang dan menjadi tiada (Fathurahman 1999: 71).

Rumusan hakikat zikir seperti itu jelas tidak berkembang dalam urban sufism. Seperti dikemukakan di atas, Arifin Ilham misalnya menekankan bahwa tujuan zikir itu “sekedar” untuk mencapai cinta (mahabba) Allah, dan memperbaiki moral ummat. Bagi masyarakat di perkotaan, rumusan dan tata cara zikir seperti yang digagas Arifin Ilham ini lebih menarik daripada formulasi zikir yang terikat dalam sebuah tarekat. Selain itu, berbeda dengan yang berkembang dalam dunia tasawuf konvensional, bacaan zikir kalangan pengikut
urban sufism seringkali merupakan gabungan antara apa yang diajarkan secara harfiyah oleh Nabi dan para ulama salaf dengan rumusan zikir hasil “racikan” sendiri, yang umumnya dalam bahasa lokal (Indonesia).

Syaefullah, salah seorang jamaah Arifin Ilham, mengatakan bahwa formulasi zikir Arifin Ilham memiliki sejumlah kelebihan. Selain karena zikirnya lepas, tidak terikat dengan pakem dan tarekat tertentu, dan tanpa harus melalui bai’at terlebih dahulu, cara zikirnya mudah diikuti orang awam karena diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.

Tentu saja, inovasi rumusan zikir seperti yang dilakukan Aa Gym dan Arifin Ilham ini oleh sebagian kalangan dianggap tidak patut dan mengada-ada. Abdurrahman Al Mukaffi misalnya, menulis buku berjudul Rapot Merah Aa Gym, MQ di Penjara Tasawwuf. Salah satu rapot merah Aa Gym versi Al Mukaffi adalah karena Aa Gym, dan juga Arifin Ilham, sering berzikir dan berdoa tidak menggunakan rumusan bacaan yang diajarkan Nabi, melainkan rumusan dan bahasa sendiri. Menurut Al Mukaffi: “…penggunaan kalimat produk manusia tersebut mengandung semacam penghinaan dan pelecehan terhadap kalimat yang digunakan Rasulullah SAW dalam berdoa kepada Allah Ta’ala dan berzikir kepada-Nya…” (Al-Mukaffi 2003: 128).

Tentu banyak yang tidak sependapat dengan pandangan Al Mukaffi di atas. Organisasi Mathlaul Anwar secara resmi menyampaikan bantahannya dalam buku yang disusun oleh Tengku Zulkarnain (2004), Salah Faham: Penyakit Umat Islam Masa Kini; Jawaban atas Buku Rapot Merah Aa Gym.

Persinggungan kedua antara
urban sufism dan tasawuf konvensional adalah dalam upaya pembersihan hati (tahdhib al-nafs). Dalam hal ini, pembersihan hati dan jiwa, yang dimulai dari pembersihan tubuh lahir, diikuti dengan pembersihan tubuh batin, merupakan perhatian utama para sufi sejak awal. Dan hal itu pula yang menjadi pula menu tasawuf ajaran Aa Gym, yang kemudian mengorganisasi serta mengolahnya menjadi Manajemen Qalbu (MQ) (Nur’aeni 2005).

Di samping persinggungan, antara
urban sufism dan tasawuf konvensional juga terdapat sejumlah perbedaan. Selain tipe jamaahnya, perbedaan yang paling mencolok adalah organisasinya. Jika yang disebut pertama berada dalam wilayah yang sedemikian longgar, sebaliknya yang disebut terakhir sangat menekankan pentingnya sebuah ikatan organisasi yang diwujudkan dalam bentuk tarekat. Tidak heran jika dalam dunia tasawuf konvensional muncul tradisi silsilah dan sanad yang menjelaskan hubungan spiritual antara murshid dan murid, hal yang tidak berkembang dalam fenomena urban sufism.

Selain itu, dalam tasawuf konvensional para pengikutnya cenderung menjauhi kehidupan dan aktivitas yang bersifat duniawi ('uzla). Hal ini sudah mulai hilang ketika tasawuf masuk dalam fase neo-sufism, karena umumnya tokoh-tokoh neo-Sufism adalah para aktivis yang terlibat dalam kehidupan sosial politik masyarakatnya. Hilangnya aspek 'uzla ini lebih kentara lagi dalam urban sufism, di mana para pengikutnya justru dari kalangan masyarakat menengah yang sangat disibukkan dengan urusan duniawi, tetapi memiliki ketertarikan terhadap sufisme.

Memang, tidak berafiliasi kepada organisasi tarekat tidak berarti bahwa
urban sufism itu kehilangan apresiasinya sama sekali terhadap aspek tarekat. Pusat Kajian Tasawuf Tazkiya Sejati adalah satu contoh penting dalam hal ini. Meski lembaga ini tidak terikat atau berafiliasi kepada salah satu tarekat tertentu, pimpinannya, Jalaluddin Rahmat senantiasa memberikan kebebasan kepada para peserta atau pengikutnya untuk mengikuti dan menjadi anggota sebuah tarekat. Bahkan, sekali waktu para peserta pengajian diajak berkunjung ke Pesantren Suryalaya, sebuah lembaga pendidikan Islam tradisional yang dikenal mengembangkan ajaran tarekat Qadiriyyah Naqsybandiyyah di Tasikmalaya, Jawa Barat (Sila 2003: 21).


Daftar Bacaan
Agoes MD, 1999, “Merebut Hati Umat Lewat Zikir; Serial Bagian III: K.H. Arifin Ilham”, Femina Online.

Al Mukaffi, Abdurrahman, 2003, Rapot Merah Aa Gym, MQ di Penjara Tasawwuf, Jakarta: Darul Falah.

Azra, Azyumardi, 1994, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII, Bandung: Penerbit Mizan, cetakan II.

Bruinessen, Martin van, 1996, Tarekat Naqsyabandiyah di Indonesia, cetakan keempat, Bandung: Mizan.

Burhani, Ahmad Najib, 2001, Sufisme Kota, Jakarta: Serambi Ilmu Semesta.

Fathurahman, Oman, 1999, Tanbih Al-Masyi, Menyoal Wahdatul Wujud: Kasus Abdurrauf Singkel di Aceh Abad 17, Bandung: EFEO & Penerbit Mizan.

_____________, 2003 ”Tarekat Syattariyyah di Dunia Melayu-Indonesia: Penelitian atas Dinamika dan Perkembangannya Melalui naskah-naskah di Sumatra Barat”, disertasi di FIB UI Depok.

Howell, Julie D., 2003, “Modernity and the Borderlands of Islamic Spirituality in Indonesia’s New Sufi Networks”, makalah dalam International Conference on Sufism and the Modern in Islam, Bogor, 4-6 September 2003.

Ilham, Arifin & Debby Nasution, 2004, Hikmah Zikir Berjamaah, (Jakarta: Penerbit Republika, cetakan VIII).

Johns, A. H., 1961, “Sufism as a Category in Indonesian Literature and History”, JSEAH, 2, II, 10-23.

Mintarja, Endang, 2004, Arifin Ilham: Tarikat, Zikir, dan Muhammadiyah, (Jakarta: Penerbit Hikmah).

Mujtaba, Achmad Nawawi (ed), 2004, Menggapai Kenikmatan Zikir: Fenomena Muhammad Arifin Ilham dan Majelis Zikir Az-Zikra, (Bandung: Penerbit Hikmah, cetakan III).

Nur’aeni, Zaki, 2005, “Pesantren Daaruttauhid: Virtual Pesantren in the Global Era”, tesis di Program Interdisciplinary Islamic Studies, Pascasarjana UIN Jakarta (updated: terbit sebagai artikel berjudul "Daarut Tauhid: Modernizing a Pesantren Tradition" di Jurnal Studia Islamika , PPIM UIN Jakarta, Vol. 12 No. 3, 2005).

Rizvi, S.A.A., 1983, A History of Sufism in India, 2 jilid, (New Delhi: Munshiram Manoharlal).

Sila, M. Adlin, 2003, ”Pusat Kajian Tasawuf (PKT) Tazkiyah Sejati”, dalam jurnal Penamas (Volume XVI, Nomor 2).

Syadzily, Tb Ace Hasan, 2004, Arifin Ilham: Dai Kota Penabur Kedamaian Jiwa, Jakarta: Penerbit Hikmah.

Voll, John O., 2003, "Sufism in the Perspective of Contemporary Theory",makalah dalam International Conference on Sufism and the Modern in Islam, Bogor, 4-6 September 2003.

Zulkarnain, Tengku, 2004, Salah Faham: Penyakit Umat Islam Masa Kini; Jawaban atas Buku Rapot Merah Aa Gym, Jakarta: Penerbit Yayasan Al Hakim.