Please feel free to quote part of information provided here, with an acknowledgment to the source.

20.2.13

Ahok, Betawi, Tionghoa, Islam, dan Rasa ke-Indonesia-an Kita

Silsilah Syatariyah Baba Jainan.
Courtesy: Cod. Or. 7274 ff.3v-r of Leiden University Library
Artikel ini terbit di Indonesia Media, edisi early March 2013.
----------
Tampilnya Basuki Tjahaja Purnama, atau Ahok, sebagai wakil Gubernur DKI Jakarta mendampingi Jokowi, mengembalikan sebagian memori saya atas sejarah warga Tionghoa keturunan Cina yang faktanya sudah mendarah daging dalam sejarah Betawi (dulu Batavia) sejak abad 17 lalu.

Mengutip Valentijn, Susan Abeyasekere (1987: 24) dalam Jakarta A History menyebut: “…if there were no Chinese here, Batavia would be very dead and deprived of many necessities…”. 

Antara 1619-1740, Batavia disebut oleh Leonard Blusse (1981: 160) sebagai a Chinese colonial town under Dutch protection, mungkin saking besarnya peran warga Tionghoa dalam perekonomian kota Batavia saat itu, meski pada akhir kurun waktu tersebut ada masa kelam dalam sejarah warga Tionghoa di Batavia khususnya.

Dalam bidang politik? Mungkin memang baru kali ini seorang Tionghoa “mengadu nasib” di kampung Bang Pitung. Waktulah yang akan menentukan, apakah kelak Betawi akan berhutang budi kepada seorang Ahok, atau lewat begitu saja seperti pejabat pribumi sebelumnya.



Terlepas dari fenomena Ahok, dari dulu, warga Tionghoa di Batavia sejatinya tidak sekedar “menumpang” hidup belaka, melainkan turut memberikan kontribusi sesuai kapasitas yang dimilikinya, tentu kebanyakan sebagai saudagar, karena dalam posisi itulah Pemerintah Kolonial Belanda dulu memaksa menempatkan “status sosial” kebanyakan mereka.

Pada abad 19, sejarah Islam Batavia pernah juga “berhutang budi” pada sebagian Tionghoa Muslim yang telah menjadi bagian tak terpisahkan dari perkembangan tradisi intelektual Islam di wilayah ini. Mereka bahkan menjadi ulama Batavia yang berjasa menghubungkan tradisi intelektual Islam Batavia dengan ulama-ulama pribumi dari wilayah lain seperti Banten, Jawa Tengah, Jawa Barat dan Aceh melalui jalur tarekat dan tasawuf.

Dalam sebuah manuskrip kuno yang tersimpan di Perpustakaan Universitas Leiden (Cod.Or.7274) misalnya, Anak Tung dan Baba Jainan disebut sebagai murid tarekat Syatariyah yang menyebarkan Islam di Kampung Pasar Senen Sungai Baru sekitar abad 19.

Menilik namanya, Guru Besar ahli Tionghoa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Ikhsan Tanggok, meyakini mereka sebagai Muslim Tionghoa, atau yang oleh Wang Dahai diidentifikasi sebagai "Orang Sit-lam/Selam" (Claudine Salmon, Sastra Indonesia Awal, 2010: 44).

Silsilah intelektual Anak Tung dan Baba Jainan terhubungkan dengan Kyai Santari Hurip dari Banten yang masih harus dilacak identitasnya, serta ulama-ulama dari Karang Pamijahan Jawa Barat semisal Kyai Mas Alida Muhammad, Kyai Mas Nida Muhammad Muhyiddin, dan yang paling kesohor, Syekh Abdul Muhyi Pamijahan. Nama terakhir adalah murid utama Syekh Abdurrauf Singkel (w. 1693), seorang ulama moderat di istana Kesultanan Aceh sejak masa Sultanah Safiyatuddin.

Meski identitasnya belum lengkap, Anak Tung dan Baba Jainan telah mensejajarkan diri dengan ulama Batavia lain tempo doeloe, baik kalangan Tionghoa maupun pribumi, seperti Baba Ibrahim dari Kampung Tinggi, atau Encik Salihin dan Khatib Sa’id yang asal-usulnya dapat diidentifikasi dalam Manuskrip MSS.Jav.50 Koleksi the British Library sebagai Batawiyah negerinya, Mataraman [sekarang Matraman] kampungnya.

Encik Salihin dan Khatib Sa’id adalah dua ulama Syatariyah Batavia murid dari seseorang yang disebut dalam manuskrip tersebut sebagai “…Tuan Haji Nur Ahmad Tegil negerinya, Kepatihan kampungnya…”, yang mungkin berarti dari Tegal Jawa Tengah. Jadi mereka mewarisi tradisi Melayu, Sunda, dan Jawa sekaligus karena ulama Tegal itu ujung-ujungnya juga belajar dari guru-guru tarekat di Karang Pamijahan itu.

Nama-nama mereka masih terabadikan dalam beberapa manuskrip kuno yang sayangnya kini sudah tidak tersimpan lagi di kampungnya sendiri, meski tetap terawat dengan sangat baik di Negeri orang.

Lalu, apa kaitannya dengan Ahok? Tionghoa Muslim pun bukan, apalagi ulama, Ahok juga mungkin tidak pernah tahu bahwa ada puluhan manuskrip kuno di Eropa yang mencatatkan nama sebagian “leluhurnya” sebagai tokoh ulama Betawi tempo doeloe, dan tersimpan rapih dalam sebuah koleksi khusus Legaat Prof. Dr. C. Snouck Hurgronje 1936.

Ahok juga pasti tidak pernah tahu bahwa manuskrip-manuskrip yang mengabadikan nama Anak Tung, Baba Jainan, Baba Salihin dan Baba Ibrahim itu telah menjadi salah satu sumber terpenting Michael Laffan (2011: 36-37) ketika menulis buku the Makings of Indonesian Islam.

Mungkin memang tidak ada hubungannya! Tapi justru karena bukan Tionghoa Muslim itulah cerita Ahok bisa melengkapi keragaman sejarah Betawi! Siapa tahu?

Melalui fenomena Ahok kita berharap bahwa untuk kemajuan bersama, warga Betawi, dan juga warga Indonesia lainnya, bisa melupakan perbedaan etnis, suku, keturunan dan agama, seperti halnya para pendahulu kita melupakan perbedaan itu semua untuk kemerdekaan Indonesia! Dan bersama-sama sebagai manusia, membangun Negeri yang kita cintai ini.

Nun jauh dari Negeri Sakura, saya tersenyum simpul dan bangga menjadi orang Indonesia ketika mengintip “pidato” seorang pengguna media Youtube dengan akun Nuraqsha shodiq yang membubuhkan komentar dalam salah satu video yang diunggah Pemprov DKI 8 November 2012 lalu (saya kutip seadanya, bentuk italic dari saya):

Ass Wr Wb Saudara2ku, rakyat Indonesia seluruhnya, Jokowi-Ahok sedang berjihad di jalan kebenaran, menegakkan yang Haq dan membasmi kebathilan, INGAT di dalam Islam diajarkan, bahwa semua perkara yang terjadi di dunia ini bukan kebetulan melainkan "ketentuan" Allah SWT. JADI, bukan suatu kebetulan kita dianugerahi Jokowi-Ahok di tengah penderitaan rakyat ini. SUNGGUH maha besar ALLAH, kebenaran hanyalah milik Allah, dan pintunya adalah JB. DEMI Allah, demi Rosululloh, Maju terus AHOK. Allahuakbar.

Meskipun “pidato” semacam itu terkesan emosional dan baru bisa saya temukan di dunia maya, dalam lubuk hati secara tulus saya berharap, semoga fenomena Ahok-Jokowi di Kampung Bang Pitung ini dapat semakin memupuk rasa ke-Indonesia-an sebagian besar kita yang memang sudah ditakdirkan penuh warna-warni: warna etnis, warna suku, warna agama, bersama-sama dalam Bhineka Tunggal Ika. Semoga!

Oman Fathurahman
Dosen Fakultas Adab dan Humaiora UIN Jakarta
Ketua Umum Masyarakat Pernaskahan Nusantara (Manassa)

0 Kommentare: