Please feel free to quote part of information provided here, with an acknowledgment to the source.

14.11.06

Book Review: Jaringan Ulama



PEMBAHARUAN DAN REKONSILIASI
DALAM TRADISI INTELEKTUAL ISLAM
DI DUNIA MELAYU-INDONESIA

Oman Fathurahman


Azyumardi Azra, The Origins of Islamic Reformism in Southeast Asia: Networks of Malay-Indonesian and Middle Eastren 'Ulama' in the Seventeenth and Eighteenth Centuries, Australia:
Allen&Unwin, 2004, ix + 254 halaman


This article has been published in Studia Islamika, Vol. 11 No. 2, 2004.


“Pembaharuan Islam” (Islamic reformism) selama ini dihubungkan dengan gerakan Islam pada abad ke-20, yang berkembang sejalan dengan perubahan sosial-budaya Muslim akibat desakan modernisasi oleh pemerintah kolonial Belanda di Indonesia.

Pembaharuan Islam sebagaimana disuarakan ulama Kairo—lebih khususnya Muhammad ‘Abduh dan Rashid Rida melalui jurnal Al-Manar—menjadi kiblat intelektual mereka yang kemudian dikenal sebagai kaum Muslim reformis. Agenda utama mereka adalah berusaha memperkenalkan Islam dalam wajah baru yang sejalan dengan semangat kemajuan modern. Sekolah dan institusi modern, jurnal, surat kabar dan buku-buku keagamaan menjadi ciri utama gerakan kaum Muslim reformis, menggantikan sistem pendidikan tradisional pesantren dan kitab kuning.


Buku ini berusaha memperkaya dan—dalam beberapa segi penting—juga merevisi nomenklatur “pembaharuan Islam” tersebut. Ketimbang bertitik tolak dari modernisasi, buku ini menjelaskan pembaharuan Islam dengan menghadirkan satu pelacakan historis di mana gagasan pentingnya syariah dalam pemikiran dan praktik keagamaan Muslim tampil menjadi wacana dominan. Dan gagasan tersebut memang disuarakan oleh ulama terkemuka Indonesia ada abad ke-17 dan 18, sebagaimana akan dijelaskan nanti.

Lebih penting lagi, munculnya gagasan tersebut berlangsung sejalan dengan kontak intelektual mereka dengan ulama Haramayn (Makkah dan Madinah), yang melahirkan proses transmisi Islam melalui saling-silang hubungan guru-murid yang sangat kompleks. Dan proses inilah, yang disebut jaringan ulama, yang menjadi titik konsentrasi pembahasan buku ini.

Penting ditegaskan, isu utama yang menjadi inti pemikiran dalam proses transmisi di atas adalah kembali pada ortodoksi Islam dengan menekankan rekonsiliasi antara aspek syariah dan tasawwuf. Gagasan yang kemudian disebut sebagai neo-Sufisme ini menjadi sangat penting, terutama dalam membentuk karakteristik pemikiran masyarakat Muslim di dunia Melayu-Indonesia saat itu, dan juga pada masa-masa berikutnya. Penyebaran gagasan pembaharuan Islam melalui penekanan pada neo-Sufisme pada gilirannya juga menghasilkan intensifikasi Islamisasi.

Dalam konteks dunia Melayu-Nusantara, memahami proses transmisi keilmuan Islam yang terjadi ini menjadi sangat penting karena umumnya, sejauh menyangkut dunia Islam, wilayah ini dianggap sebagai pinggiran (pheripery), tidak termasuk ke dalam mainstream, sehingga karenanya ada kecenderungan para peneliti tentang Islam untuk tidak menyertakan wilayah Melayu-Nusantara dalam berbagai diskusi tentang Islam, karena tidak memiliki tradisi Islam yang stabil. Bahkan, Islam di wilayah ini tidak jarang dianggap sebagai “tidak asli”, berbeda dengan Islam di Timur Tengah sebagai “pusat”nya (h. 2).

Demikianlah, melalui buku ini, dengan menghadirkan berbagai data dan argumen yang kuat, Azyumardi Azra mencoba meyakinkan bahwa —tanpa mengenyampingkan adanya pengaruh lokal terhadap corak Islam yang berkembang— ada kesinambungan antara Islam yang berkembang di Timur Tengah tersebut dengan Islam di dunia Melayu-Nusantara. Kesinambungan tersebut terjalin melalui saling-silang hubungan antara ulama Melayu-Nusantara dan sejumlah ulama terkemuka di Timur Tengah.

Buku ini awalnya merupakan disertasi penulisnya di Columbia University, New York (1992), dan sesungguhnya telah terbit lebih awal dalam bahasa Indonesia (1994) dan bahasa Arab (1999). Dibandingkan dengan disertasi asli, serta versi Indonesia dan Arabnya, sistematika buku ini telah mengalami sedikit perubahan dan penyesuaian. Perubahan dan penyesuaian tersebut tampaknya untuk mendukung tesis yang ingin lebih ditonjolkan, yakni tentang akar-akar pembaharuan Islam di dunia Melayu-Nusantara pada umumnya, dan Indonesia pada khususnya.

Kendati ada jeda waktu lebih dari 10 tahun sejak pertama kali ditulis dan diterbitkan dalam bahasa Indonesia, buku ini tampaknya tidak kemudian kehilangan greget dan relevansinya, mengingat dalam kurun waktu tersebut tidak juga muncul kajian serupa, misalnya, yang dapat diakses oleh pembaca yang lebih luas. Apalagi, —selain bibliografi yang terus di up date— di bagian akhir, Azra menambahkan sebuah epilog yang menambahkan sejumlah informasi mutakhir berkaitan dengan topik yang dikaji, dan mencoba menempatkan kajian buku ini dalam konteks yang lebih luas.