Book Review: Transformasi Sistem Pendidikan Islam Tradisional

Oman Fathurahman
Hasan Madmarn, The Pondok and Madrasah in Patani, Bangi: Penerbit Universiti Kebangsaan Malaysia, 1999
This article has been published in Studia Islamika, Vol. 8. no. 1, 2001, pp. 181-203
Dalam konteks pendidikan, Islam —termasuk yang berkembang di wilayah Melayu-Nusantara— diakui telah memainkan peran yang sangat signifikan, bahkan sangat dominan, dengan mengambil posisi terdepan dalam pendirian, pengembangan, serta pemberdayaan lembaga-lembaga pendidikan.
Dalam hal ini, kita harus menyebut lembaga pendidikan semacam pondok, pesantren, meunasah, surau, atau lembaga pendidikan tradisional sejenis, sebagai bentuk lembaga pendidikan Islam periode awal yang —dalam konteks Melayu-Nusantara— telah menempati posisi sentral dari dinamika perkembangan dan kebangkitan intelektual Islam secara keseluruhan.
Dikatakan demikian karena pada kenyataannya lembaga-lembaga pendidikan tradisional tersebut —di wilayah mana pun ia berkembang— telah berfungsi sebagai sarana untuk sosialisasi berbagai pemikiran keislaman, dan bahkan sebagai tempat lahirnya sejumlah karya penting dalam berbagai bidang keagamaan.
Di wilayah Melayu-Indonesia, pondok atau pesantren, sejak awal, dan bahkan hingga kini, telah menunjukkan vitalitasnya sebagai basis kekuatan sosial, kultural, keagamaan, dan bahkan politik, yang turut membentuk bangunan kebudayaan bangsa selanjutnya. Dalam konteks Jawa misalnya, pesantren —selain sebagai transmitter keilmuan Islam tradisional— memiliki peran sentral pada masa awal pendirian kerajaan Islam Demak, Cirebon, dan Banten di daerah pesisir utara Jawa, serta pada masa kerajaan Mataram Islam di daerah pedalamannya.
Demikian halnya pada sekitar abad ke-19, pesantren menjadi basis kekuatan sosial politik masyarakat pedesaan dalam melawan penjajahan kolonial Belanda (lihat Dhofier 1994: 2; lihat juga Suryo 2000: 65). Tidak heran, jika kemudian pesantren menjadi kajian yang menarik bagi para sarjana semisal Geertz (1976), Rahardjo (1974), Steenbrink (1994), Dhofier (1994), dll.
Hingga beberapa periode, lembaga-lembaga pendidikan tradisional tersebut tampaknya memang telah mengakar kuat serta menjadi bagian yang tak terpisahkan dari masyarakat Muslimnya. Bahkan, di wilayah Melayu-Patani yang akan dibicarakan, lembaga-lembaga tersebut menjelma menjadi semacam instrumen untuk mendefinisikan identitas etnis dan agama, dalam hal ini etnis Melayu, dan agama Islam.
Hal ini tentu saja terkait dengan kenyataan bahwa Melayu-Patani merupakan salah satu wilayah di mana kelompok Melayu Muslimnya merupakan kelompok minoritas, yang seringkali harus berbenturan dengan kepentingan-kepentingan kelompok di luar dirinya yang lebih besar. Mengutip teori solidaritas etnisnya Karl W. Deutch, umumnya sejauh kelompok-kelompok minoritas di dalam suatu negara mendapat perhatian yang proporsional, tampaknya tidak akan menimbulkan masalah sama sekali. Akan tetapi, jika mereka sudah dipandang sebagai “masalah”, persoalannya akan menjadi lain (lihat Deutch 1969: 159).
Dalam perkembangan berikutnya, ketika arus perubahan atau modernisasi semakin deras melanda berbagai kawasan dunia Muslim, lembaga-lembaga pendidikan tradisional tersebut “dipaksa” berhadapan dengan realitas modernisasi sistem pendidikan, yang dalam beberapa hal, dianggap mengancam eksistensi mereka.
Memang, “nasib” lembaga-lembaga pendidikan tradisional tersebut berbeda antarsatu wilayah dengan wilayah lainnya. Sebagian lenyap tergusur oleh ekspansi sistem pendidikan modern —untuk tidak menyebut sistem pendidikan “sekuler”; tetapi sebagian lagi mengalami tranformasi menjadi, atau setidak-tidaknya menyesuaikan diri dengan sistem pendidikan modern tersebut.
Buku yang ditulis oleh Hasan Madmarn ini berusaha melukiskan dinamika sistem pendidikan Islam di Patani, dalam hal ini sistem pendidikan Islam tradisionalnya, sejak awal kemunculannya hingga masa di mana arus perubahan atau modernisasi melanda sebagian besar dunia Melayu, termasuk Patani. Seperti akan kita lihat, dinamika yang terjadi di Patani di satu sisi sangat rumit, tetapi di sisi lain justru menarik, apalagi jika dibandingkan dengan apa yang terjadi di wilayah lain semisal Indonesia atau Malaysia misalnya.
0 Kommentare:
Post a Comment