Tradisi dan Wacana Intelektual Islam Indonesia

Oman Fathurahman
Jajat Burhanudin
This article will be published as part of book entitled: "Sejarah Indonesia" by Taufik Abdullah as Editor-in-Chief.
Dalam konteks sejarah Indonesia khususnya, dan Asia Tenggara pada umumnya, pembentukan tradisi dan wacana intelektual Islam sesungguhnya tidak dapat dipisahkan dari proses Islamisasi itu sendiri yang mulai terjadi pada sekitar abad VII M. Hanya saja, berkaitan dengan proses Islamisasi ini, penting dibedakan antara masa awal kedatangan Islam, masa penyebaran, serta masa pembentukan dan konsolidasi struktur kelembagaan sosial dan politiknya, seiring dengan dimulainya pembentukan struktur pemerintahan atau kerajaan.
Dalam masa awal kedatangannya, hingga kira-kira abad XII M, Islam di Nusantara tentu saja belum menghasilkan satu tradisi dan wacana intelektual tersendiri yang mapan dan bisa dianggap sebagai sesuatu yang khas, melainkan hanya menghasilkan beberapa komunitas Muslim yang terutama terdiri dari para pembawa Islam itu sendiri, seperti para pedagang dan mubalig.
Baru pada tahap berikutnya, yakni mulai sekitar abad XIII M, ketika penyebaran Islam di Nusantara semakin mantap dan terkonsolidasi, berbagai nilai dan ajaran Islam pun mulai mengalami semacam “penerjemahan” ke dalam sistem sosial budaya masyarakat setempat. Penerjemahan dalam hal ini dapat dianggap sebagai proses penyerapan prinsip-prinsip Islam melalui modus konseptualisasi nilai-nilai dan ajaran Islam yang berbasiskan sistem sosial budaya masyarakat Indonesia. Hal inilah yang pada gilirannya kemudian membentuk sebuah tradisi dan wacana intelektual Islam Nusantara yang khas.
Dalam konteks tulisan ini, tradisi dan wacana intelektual Islam yang diwujudkan dalam bentuk karya-karya keislaman, sesungguhnya baru secara tegas menemukan bentuknya mulai pertengahan abad XVII. Kata “secara tegas” yang dimaksud berarti bahwa pada periode sebelumnya, tradisi dan wacana keislaman juga sudah muncul dalam sejumlah karya sastra, seperti dalam Hikayat Raja-raja Pasai atau Sejarah Melayu. Hanya saja, Islam yang muncul pada periode ini masih dalam tingkat pengenalan, belum banyak bersentuhan dengan wacana dan doktrin-doktrin keilmuan yang sudah mapan (established) di pusat keilmuan Islam (Makkah dan Madinah). Hal ini tentu saja seiring dengan baru dimulainya proses Islamisasi dan penyebaran Islam itu sendiri. Pada masa-masa berikutnyalah, pembentukan tradisi dan wacana intelektual Islam semakin melembaga, seiring dengan pembentukan dan konsolidasi struktur kelembagaan sosial dan politik keagamaan.
Berangkat dari kerangka pemikiran di atas, tradisi dan wacana intelektual dalam tulisan ini akan dibahas sejalan dengan perkembangan sejarah Islam di satu sisi, dan dengan penekanan pada wacana yang dominan mempengaruhi tradisi intelektual Islam tersebut, yakni sufisme. Pembahasannya terutama dimulai pada periode di mana Islam mulai tampil secara tegas sebagai sebuah gejala intelektual dengan melahirkan banyak karya keislaman.
Sufisme
Penting ditegaskan bahwa, sejauh menyangkut tradisi dan wacana intelektual Islam Nusantara, isu penting yang berkembang sejak awal proses Islamisasi adalah sufisme. Di setiap wilayah di mana pun Islam berkembang, baik pada level kerajaan maupun masyarakat, sufisme senantiasa mewarnai secara keseluruhan gambaran Islam yang muncul. Hal ini tidak terlalu mengherankan jika mempertimbangkan teori Islamisasi A.H. Johns (1961), seorang ahli Islam di Asia Tenggara, yang menjelaskan bahwa, khususnya sejak abad XIII, para guru sufilah yang paling banyak mempengaruhi jalannya Islamisasi di Nusantara.
Johns menegaskan bahwa Islam tidak dapat, dan tidak akan pernah bisa, menancapkan akarnya secara kuat di kalangan penduduk Nusantara, bahkan mungkin juga tidak dapat mengislamkan para penguasa, jika tidak disiarkan secara massif oleh para sufi. Ini tentu saja berkait erat dengan karakteristik sufisme itu sendiri yang cenderung lentur dalam menyikapi berbagai kepercayaan dan praktik keagamaan lokal, yang saat itu masih kuat dipengaruhi tradisi dan praktik kepercayaan pra-Islam.
Di antara aspek-aspek ajaran lain, seperti fikih misalnya, sufisme merupakan bagian dari ajaran Islam yang paling sejalan dengan adaptasi budaya lokal. Hal ini karena sufisme lebih menekankan praktik-pratik meditasi untuk mencapai “derajat kesatuan” dengan Tuhan––yang dianggap sebagai bentuk kesempurnaan dalam beragama–– ketimbang praktik-praktik keagamaan yang ditentukan syariah (fiqh). Dalam konteks Nusantara, lebih-lebih di Jawa, sufisme sedemikian mudah diterima masyarakat. Sufisme dalam banyak aspek memang sejalan dengan praktik-praktik dan pandangan dunia keagamaan masyarakat Jawa yang Hindu-Budhis. Oleh karena itu, A.H. Johns, berkesimpulan bahwa sufisme menduduki satu kategori penting dalam sejarah Islam di Nusantara.
Pandangan Johns ini memang sejalan dengan fakta bahwa masa ketika Islam mulai mendapatkan tempat di masyarakat Nusantara, khususnya sejak abad XIII, sufisme bersama dengan lembaga tarekat tengah berjaya dalam wacana intelektual keagamaan di dunia Muslim. Nama-nama seperti Abû Hamîd al-Ghazâlî (w. 1111), Abd al-Qadîr al-Jîlanî (w. 1166), Ibn ‘Arabî (w. 1240), adalah para sufi terkenal yang hidup ––seperti bisa dilihat dari tahun wafatnya–– dalam bentang waktu sejarah yang berdekatan dengan masa berlangsungnya proses Islamisasi di Nusantara. Begitu pula dari zaman sejarah yang sama kita juga mengenal nama-nama seperti Najm al-Dîn al-Kubrâ (w. 1221) dan Abû Hasan al-Syadzîlî (w. 1258)––masing-masing pendiri tarekat Kubrawiyah dan Syadziliyah di Asia Tengah dan Afrika Utara–– serta nama-nama sufi lain yang sangat dikenal di dunia Islam.
Demikianlah, bila kita mulai dengan dunia Melayu, tradisi sufisme sudah terlihat bahkan dalam teks-teks klasik seperti Hikayat Raja-Raja Pasai dan Sejarah Melayu yang telah disebut di atas. Penggambaran konversi keislaman raja-raja Melayu melalui mimpi bertemu dengan Nabi Muhammad Saw––seperti dijelaskan dalam dua teks di atas––oleh para ahli sejarah dilihat sebagai ungkapan yang memiliki nuansa dan kecenderungan sufisme. Dalam tradisi sufisme, proses mimpi diakui sebagai bagian dari praktik-praktik keagamaan para sufi, sebagai sarana proses transmisi ilmu-ilmu keislaman. Bahkan Abû Hamîd al-Ghazâlî berpendapat bahwa apa yang muncul dalam mimpi adalah sebuah perumpamaan (mîtsâl); ia merupakan bentuk pengalaman spiritual yang dimiliki para sufi. Oleh karena itu, bisa dikatakan bahwa munculnya sufisme dalam wacana intelektual Islam di Nusantara berlangsung sejalan dengan proses Islamisasi.
Kenyataannya, Islam yang bercorak sufisme ini sedemikian dominan mewarnai wacana intelektual keagamaan yang terjadi, kendati dengan karakteristik, kecenderungan, dan penekanan yang relatif berbeda antarsatu periode dengan periode lainnya. Di antara sifat dan kecenderungan sufisme yang semakin menguat dari waktu ke waktu adalah munculnya apa yang disebut dengan neo-sufisme, yakni ajaran tasawuf yang menekankan adanya rekonsiliasi atau saling pendekatan antara ilmu tasawuf (‘ilm al-haqîqah) dan ilmu syariah (‘ilm al-syarî’ah).
Neo-Sufisme: Mainstream Wacana Intelektual Islam
Azra (1994) menegaskan bahwa sepanjang menyangkut perkembangan Islam, khususnya di abad XVII M, neo-sufisme merupakan wacana dominan dalam jaringan ulama Nusantara dengan Timur Tengah. Sejak awal abad XVII, Timur Tengah, khususnya Makkah dan Madinah, menyaksikan berkembangnya pemikiran Islam aliran neo-sufisme. Sehingga, sebagai wilayah yang terlibat dalam proses transmisi keilmuan Islam dari Timur Tengah tersebut, Nusantara juga memperlihatkan kecenderungan Islamnya yang neo-sufis tersebut.
Abad XVII M dalam sejarah Islam di Nusantara memang merupakan periode penting yang mencatat perkembangan sangat berarti dalam pembentukan tradisi intelektual Islam. Perkembangan ini terjadi sejalan dengan terjalinnya hubungan yang semakin intensif antara dunia Melayu-Nusantara dengan Timur Tengah, yakni Makkah dan Madinah. Kedua kota suci tersebut saat itu tengah berkembang menjadi pusat berlangsungnya studi-studi Islam oleh para ulama di dunia Muslim, termasuk Melayu-Nusantara. Melalui para ulama inilah transmisi keilmuan Islam di Melayu-Nusantara berkembang semakin kuat. Para ulama ini selanjutnya membentuk satu “jaringan ulama” Melayu-Nusantara dengan Timur Tengah yang berfungsi sebagai sarana berlangsungnya proses transmisi keilmuan Islam ke Melayu Nusantara. Sebagian besar ulama terkemuka di Nusantara pernah belajar di Timur Tengah, khususnya Makkah dan Madinah.
Penting dijelaskan, pada abad XVII hubungan Melayu-Nusantara dengan Timur Tengah memang terjalin sangat intensif. Perkembangan politik dan ekonomi kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara, khususnya kerajaan Aceh, telah menempatkan dunia Melayu-Nusantara memiliki akses langsung dalam berhubungan dengan dunia Timur Tengah. Bukti-bukti sejarah menunjukan bahwa bahwa pada abad XVII terjadi peningkatan hubungan yang semakin intensif dari dua dunia Muslim tersebut. Hal ini terjadi selain melalui ibadah haji ––yang mengalami peningkatan sejalan perkembangan perdagangan di Lautan Hindia––tapi yang terpenting adalah hubungan para ulama yang terjalin melalui sebuah jaringan yang sangat kompleks. Meski tidak sedikit yang awalnya hanya bertujuan melaksanakan ibadah haji, para ulama kemudian belajar Islam di Makkah dan Madinah dalam waktu yang sangat lama. Para ulama inilah kemudian menjadi tokoh intelektual terkemuka yang bertanggung jawab atas penyebaran dan sosialisasi pemikiran-pemikiran Islam yang mereka pelajari selama berada di Timur Tengah.
Salah seorang ulama yang bertanggungjawab memperkenalkan pemikiran neo-sufisme kepada para ulama Nusantara adalah Ibrâhîm al-Kuranî (1614-1690), seorang ulama terkemuka di Haramayn asal Kurdi. Ia menjadi guru bagi kebanyakan ulama Nusantara yang belajar dan bermukim di Makkah dan Madinah. Di antara ulama Nusantara yang pernah berguru kepadanya adalah al-Sinkili al-Sinkili dan Muhammad Yusuf al-Makassari. Al-Kuranî diketahui mendapatkan pendidikan awal di tempat kelahirannya, sebelum kemudian ia belajar di Iran dan di wilayah-wilayah Usmania Anatolia, Syria dan Mesir. Hal terpenting untuk ditekankan dalam konteks neo-sufisme ini adalah bahwa Ibrâhîm al-Kuranî dikenal sebagai seorang yang memberi perhatian pada upaya mendamaikan aliran-aliran dalam pemikiran Is¬lam yang kerap kali bertentangan satu sama lain, khususnya antara para ulama sufi dan ulama fikih.
Sebagaimana telah diisyaratkan di atas, aspek paling menonjol dari pemikiran neo-sufisme adalah adanya saling pendekatan (raproachment) antara para ulama yang lebih berorientasi syariah (ahl al-syarî’ah), khususnya mereka yang kerap disebut para ahli fikih, dan para ulama yang lebih menekankan praktik-praktik sufisme (ahl al-haqîqah). Oleh karena itu, dalam se¬jarah pemikiran Islam, neo-sufisme ini sedikit banyak diakui merupakan pembaharuan yang berusaha menjadikan sufisme sejalan dengan syariah. Hal ini lahir karena kon¬flik yang tajam antara dua kelompok pemikir Islam di atas. Bahkan, konflik ini telah merenggut korban dengan meninggalnya para sufi, seperti yang dialami al-Hallâj, karena tuduhan tidak menjalankan hukum-hukum atau ketentuan-ketentuan yang ditetapkan syariah. Demikianlah, sejak sekitar abad XII, khususnya diwakili Abû Muhammad al-Ghazâlî (w. 1111), rekonsiliasi sufisme dan syariah merupakan wacana dominan dalam perkembangan pemikiran Islam. Al-Ghazâlî berpendangan bahwa sufisme yang dijalankan para sufi eskatik seperti Ibn ‘Arabî, harus diletakkan kem¬bali dalam kerangka syariah.
Dalam konteks Melayu-Nusantara, khususnya di Kerajaan Aceh––seperti akan dijelaskan secara rinci kemudian––gagasan-gagasan neo-sufisme diketengahkan para ulama Nu¬santara yang belajar di Timur Tengah, yaitu Nuruddin ar-Raniri (w. 1658), al-Sinkili al-Sinkili (1615-1693), dan Yusuf al-Makassari (1627-1699) pada abad XVII; serta Muhammad al-Palimbani dan Abu Daud al-Patani pada abad XVIII. Mereka, lebih-lebih al-Raniri, mewakili gerakan Islam neo-sufisme di Melayu-Nusantara yang menentang aliran sufisme wahdah al-wujûd yang ditanamkan pengikut Ibn ‘Arabî, khususnya Hamzah al-Fansuri dan Syamsuddin al-Sumatrani (w. 1630).
Tradisi dan Wacana Intelektual Islam di Aceh:
Awal Persemaian Doktrin-doktrin Tasawuf
Seiring dengan awal Islamisasi yang terjadi di Nusantara, Aceh tentu saja menjadi wilayah pertama yang menjadi pusat perkembangan tradisi intelektual Islam. Di Aceh pula, wacana intelektual Islam di Nusantara mulai menemukan bentuknya, dengan munculnya sejumlah ulama yang sedemikian produktif menghasilkan karya-karya keislaman, seperti Hamzah Fansuri, Syamsuddin al-Sumatrani, Nuruddin al-Raniri, dan al-Sinkili al-Sinkili.
Hamzah al-Fansuri dan Syamsuddin al-Sumatrani
Hamzah al-Fansuri, dan kemudian diteruskan Syamsuddin al-Sumatrani,––kemungkinan besar muridnya––merupakan dua ulama di Aceh yang mencoba merumuskan formulasi sufisme untuk konteks dunia Melayu-Indonesia, meski tetap mengikuti kecenderungan pemikiran sufisme yang berkem¬bang di dunia Muslim. Tidak banyak informasi yang diperoleh berkaitan dengan kehidupan dua orang tokoh sufi ini. Namun, berdasarkan sumber-sumber yang tersedia, baik lokal maupun asing, sejumlah sarjana berpendapat bahwa Hamzah al-Fansuri kemungkinan be¬sar hidup pada masa sebelum dan selama pemerintahan Sultan Alauddin Ri’ayat Syah (1589-1602) di Kerajaan Aceh.
Sementara Syamsuddin al-Sumatrani diperkirakan hidup pada masa kekuasan raja Aceh berikutnya, yakni Sultan Iskandar Muda (1607-1636). Kedua ulama tersebut masing-masing menduduki jabatan sebagai “Syaikh al-Islam” yang bertugas sebagai penasihat raja, khususnya di bidang agama. Lepas dari itu, hal paling penting untuk ditekankan di sini, baik Hamzah al-Fansuri maupun Syamsuddin al-Sumatrani adalah ulama terkemuka di Nusantara akhir abad XVI dan awal abad XVII, khususnya di Kera¬jaan Aceh.
Penting dijelaskan, setelah Kerajaan Malaka jatuh ke tangan Portugis pada 1511, Aceh berkembang menjadi satu kerajaan Islam terkemuka di Nusantara. Perkembangan ekonomi kerajaan, didukung terutama hasil lada yang laku di pasaran internasional, telah menjadikan Kerajaan Aceh mengalami kemajuan pesat, baik di bidang politik maupun intelektual-keagamaan. Maka banyak ulama lahir di dan memperoleh dukungan politik Kerajaan Aceh. Hamzah al-Fansuri dan Syamsuddin al-Sumatrani adalah dua di antara ulama-ulama terke¬muka Nusantara yang mendapat dukungan Kerajaan Aceh.
Mengenai pemikiran dua tokoh sufi tersebut, baik Hamzah maupun Syamsuddin sama-sama mewakili aliran sufisme wahdah al-wujûd. Dalam sejarah Islam, aliran sufisme ini sering dihubungkan dengan seorang sufi terkemuka asal Andalusia, Ibn ‘Arabî (1156-1240). Salah satu pemikiran sufisme aliran wahdah al-wujûd yang paling menon¬jol adalah mengenai hubungan wujud Tuhan dan alam semesta, termasuk manusia. Ibn ‘Arabî dalam hal ini berpendapat bahwa Tuhan esksis (mawjûd) dengan zat-Nya dan karena zat-Nya sendiri. Dia (Tuhan) adalah wujud mutlak yang tak terbatas oleh yang lain, bukan “akibat” (ma’lûl) dari sesuatu, dan juga bukan “sebab” (‘illat) bagi sesuatu. Tuhan adalah pencipta sebab-sebab dan akibat-akibat sekaligus. Dalam pemikiran ini, alam, dan juga manusia, dilihat memiliki ek¬sistensi hanya dalam kaitan dengan Tuhan, tidak dengan dirinya sendiri dan tidak karena dirinya sendiri. Manusia dan alam dengan demikian adalah wujud Tuhan. Dari sinilah kemudian muncul pandangan bahwa “manusia bersatu dengan Tuhan”; bahwa wujud keduanya adalah identik dan setara satu sama lain.
Hamzah al-Fansuri dan Syamsuddin al-Sumatrani adalah pendukung utama ajaran tersebut. Melalui karya-karya mereka, khususnya Jawhar al-Haqâ’iq (Esensi Hakikat) oleh Syamsuddin dan Asrâr al-’Ârifîn (Rahasia Kaum Gnostik) oleh Hamzah al-Fansuri, pemikiran sufisme Ibn ‘Arabî sedemikian tersosialisasikan. Seperti dikatakan para ahli Islam, dua karya utama di atas sangat menekankan ––seperti halnya Ibn ‘Arabî–– “penyatuan manusia dengan Tuhan” yang dirumuskan dalam konsep martabat tujuh. Tuhan dalam pandangan mereka melimpahkan wujud-Nya di alam dan manusia secara bertingkat, yang beru¬jung pada penyempurnaan kesatuan dengan wujud Tuhan (martabat ahâdiyat). Melalui pemikiran demikian, Hamzah al-Fansuri dan Syamsuddin al-Sumatrani kemudian mengundang kritik dan oposisi keras yang dilancarkan Nuruddin al-Raniri, seperti akan dijelaskan nanti, setelah yang terakhir ini mampu menarik penguasa Kerajaan Aceh untuk mendukungnya.
Pemikiran Hamzah al-Fansuri di atas terefleksikan dengan jelas, misalnya, dalam salah satu tamsil di mana hubungan Tuhan dengan alam serta manusia diibaratkan hubungan antara pohon dengan biji. Hamzah al-Fansuri menulis:
“Ketahuilah olehmu hai thalib, .... sabda Nabi saw “man ‘arafa nafsah, fa qad ‘arafa rabbah”, yakni barang siapa mengenal dirinya, makasanya mengenal Tuhannya; arti mengenal Tuhannya dan mengenal dirinya, yakni dirinya dan semesta sekalian dalam ilmu Allah, seperti biji dan sepohon; pohonnya dalam sebiji itu sungguhpun tiada kelihatan, tetapi hukumnya ada dalam biji itu .... “Maka demi Allah, sekaliannya Ia jua, tamsil seperti biji sebiji, dalamnya pohon kayu sepohon dengan selengkapnya, asal¬nya biji itu jua. Setelah menjadi kayu biji sebiji itu gaib, kayu jua kelihatannya; warnanya berbaga-bagai, rasanya berbagai-bagai, asalnya sebiji itu jua”.
Pandangan sufisme yang sama juga dinyatakan Syamsuddin al-Sumatrani. Dalam salah satu karyanya yang telah disebut di atas, dia menulis:
“Segala sesuatu tidaklah berwujud kecuali dengan Dia karena semuanya itu hanya berwujud dengan Allah. Dan Allah Subhanahu wa Ta’ala membuat segala sesuatu itu berdiri tegak atau berwujud. Segala sesuatu (dari alam) pada esensinya adalah fana (tidak ada), (tapi) berwujud dengan Tuhan. Tuhan berwujud dengan dzat-Nya sendiri. Dengan Dialah tegaknya segala sesuatu, maka Dia adalah penegak segala sesuatu itu”.
“Dan kata Syaikh, ‘Yogiya kau pandang kapas dan kain; kata ini, segala ‘arif apabila dipandangnya kepada segala makhluqat yang banyak itu, maka terpandang olehnya (cahaya) dzat Allah yang Esa itu.’ Dan katanya, ‘Keduanya wahid, asma-nya lain; arti wahid esa dan arti asma-nya itu segala nama; maka kata ini, sungguhpun se¬gala makhluk itu namanya berlain-lainan dan Allah pun namanya lain, tetapi kepada hakikatnya esa jua’”.
Dari dua kutipan di atas, baik Syamsuddin maupun Hamzah al-Fansuri jelas memiliki corak pandangan sufisme yang termasuk dalam aliran wahdah al-wujûd seperti dikembangkan Ibnu ‘Arabî. Hubungan Tuhan dan manusia dipahami menyatu dalam zat Tuhan, wahdah, yang kemudian dianggap seba¬gai bentuk kesempurnaan serta merupakan tahap akhir perjalanan spiritual manusia da¬lam berhubungan dengan Tuhan.
Kuatnya kecenderungan sufisme aliran wahdah al-wujûd ini juga terdapat dalam karya-karya lain baik di Melayu atau wilayah lain di Nu¬santara. Kajian A.H. Johns tentang sebuah naskah Melayu abad XVII, misalnya, menunjukkan bahwa pemikiran sufisme Ibnu ‘Arabî di atas sedemikian kuat mempengaruhi wacana intelektual Islam di Nusantara. Seperti halnya pemikiran Hamzah dan Syamsuddin, naskah tersebut mengetengahkan paham sufisme yang sangat menekankan kesatuan manusia dengan Tuhan, sebagai stasiun terkahir dalam proses latihan spiritual yang bi¬asa dilakukan para sufi.
Nuruddin al-Raniri
Nama lengkapnya adalah Nur al-Din Muhammad ibn ‘Ali ibn Hasanji al-Hamid al-Syafi’i al-Asy’ari al-’Aydarusi al-Raniri (w. 1068/1658). Ia lahir di Ranir, atau Randir, sebuah kota pelabuhan tua di pantai Gujarat. Al-Raniri berasal dari keturunan Melayu-Arab. Ibunya ber¬darah Melayu dan ayah berasal dari keluarga imigran Hadrami yang berpindah ke wilayah Asia Selatan dan Tenggara, seperti halnya orang-orang Arabia Selatan lainnya pada masa Islamisasi di Nusantara. Al-Raniri tumbuh dalam suasana kehidupan kota pelabuhan yang semakin ramai dikunjungi para pedagang internasional. Tercatat bahwa pada abad XVI Ranir telah menarik kedatangan bangsa Arab, Persia, Turki, dan Melayu untuk berdagang dan menetap di sana. Al-Raniri sendiri pertama kali mendapatkan pendidikannya di Ranir, kemudian melanjutkan ke Hadhramaut, sebe¬lum akhirnya ke Haramayn. Di sanalah dia berkenalan dengan pemikiran keislaman bercorak neo-sufistik. Masa al-Raniri belajar di Haramayn, kemungkinan sekitar 1620 atau 1621, merupakan masa perkembangan aliran neo-sufisme. Al-Raniri di sana belajar Islam dari ulama-ulama yang dikenal sebagai pembela ajaran Islam sejati dari ke¬cenderungan praktik-praktik sufisme populer yang tidak lagi memandang penting pelaksanaan syariah.
Ar-Raniri pertama kali datang ke Melayu-Nusantara diperkirakan sekitar 1621. Kemungkinan besar dia tinggal di Kerajaan Pahang sampai pada 1637, waktu ketika dia di¬angkat sebagai “Syakh al-Islam” di Kerajaan Aceh––jabatan agama tertinggi setelah sultan. Selama di Kerajaan Pahang, al-Raniri menjalin hubungan baik dengan Putra Sultan Ahmad dari Pahang yang dibawa ke Aceh oleh Sultan Iskandar Muda dan ke¬mudian dinikahkan dengan putrinya. Ia di kemudian hari dikenal dengan Iskandar Tsani, pengganti Sultan Iskandar Muda di Kerajaan Aceh. Pada masa kekuasaan Iskan¬dar Tsani inilah al-Raniri memperoleh dukungan politik dari kerajaan, termasuk da¬lam gerakan keagamaannya menentang aliran sufisme wahdah al-wujûd oleh Syamsuddin yang didukung Sultan Iskandar Muda. Dari sini pula bisa dipahami mengapa al-Raniri, setelah kedatangannya di Nusantara pada 1621, tidak langsung datang ke Aceh tapi lebih memilih tinggal di Kerajaan Pahang. Al-Raniri tampaknya menunggu waktu yang tepat sampai akhirnya Kerajaan Aceh dipimpin seorang sultan yang memiliki pemikiran keagamaan yang sejalan dengannya. Seperti telah diketahui, pada masa kekuasaan Iskandar Muda doktrin sufi wahdah al-wujûd yang diajarkan Hamzah dan Syamsuddin tengah berada di puncak kejayaannya. Syamsuddin sendiri saat itu dipercaya Iskandar Muda untuk memangku jabatan sebagai Syaikh al-Islam Kerajaan Aceh.
Oleh karena itu segera setelah Iskandar Muda dan Syamsuddin meninggal dunia, al-Raniri datang ke Aceh, tepatnya sekitar 1637, dan dia langsung diangkat menduduki jabatan sebagai Syaikh al-Islam. Dalam posisinya yang demikian kuat di kerajaan, al-Raniri kemudian melancarkan gerakan pembaharuan keagamaan untuk menentang doktrin sufi wahdah al-wujûd. Menurutnya, Islam di wilayah ini telah dikacaukan oleh paham sufi wahdah al-wujûd yang dinilainya telah bertentangan dengan ajaran dasar Islam. Dia bahkan melangkah lebih jauh dengan mengeluarkan fatwa yang mengarah pada upaya perburuan terhadap orang-orang yang sesat; membunuh orang-orang yang menolak melepaskan keyakinannya yang dianggap sesat. Al-Raniri menjabat sebagai Syaikh al-Islam di Kerajaan Aceh selama tujuh tahun, hingga 1644 ketika secara tiba-tiba dia meninggalkan Aceh menuju kota kelahirannya, Ranir. Kepergian al-Raniri ini, sepeti diuangkap Takeshi Ito––seorang ahli sejarah Islam di Indonesia––banyak ber¬hubungan dengan hadirnya Sayf al-Rijal, seorang Minangkabau yang pernah belajar di Aceh sebelum kedatangan al-Raniri, yang hendak membela kembali para pengkut aliran sufi wahdah al-wujûd dari intimidasi yang dilakukan al-Raniri dan Iskandar Tsani. Hal ini tampaknya menimbulkan masalah politik di kerajaan Aceh, yang kemudian melibatkan Sultanah Syafiyah al-Din. Ia, Sultanah, tampaknya lebih cenderung berpihak kepada Syaif al-Rijal. Ia mengundangnya ke istana kerajaan dan memperlakukannya sebagai tamu terhormat. Dengan kejadian ini al-Raniri dengan sendirinya tidak lagi memiliki posisi yang kuat di lingkungan kerajaan, sehingga kemudian ia memutuskan untuk kembali ke Ranir.
Selama tujuh tahun berada di Aceh, al-Raniri telah melahirkan banyak karya keislaman di berbagai bidang: teologi, tafsir, hadis, fikih, sejarah, dan lain-lain. Ia memang dikenal seorang ulama yang sangat produktif dalam menulis. Berdasarkan pengamatan P. Voorhoeve––seorang sarjana Belanda––tercatat sekitar tiga puluh karya yang teridentifikasi sebagai karangan al-Raniri, kendati tidak semuanya ditulis selama masa tujuh tahun ia berada di Aceh. Sebagai contoh, salah satu karyanya yang banyak dikaji para sarjana, al-Sirât al-Mustaqîm (Jalan Lurus), sebagian ditulis sebelum kedatangannya ke Aceh. Begitu pula karya terakhirnya, Rahiq al-Muhammadiah fî Tarîq al-Sûfiah (Minuman Umat Muhammad pada Jalan Orang-Orang Sufi), ditulis setelah ia kembali ke tanah kelahirannya di India. Menyangkut karya-karya al-Raniri, penting dicatat bahwa ia lebih banyak menulis tentang teologi dan tasawuf. Hal ini memang sejalan dengan pergumulan intelektulanya selama di Aceh, di mana ia--seperti telah disinggung berkali-kali--terlibat dalam polemik intelektual dengan Hamzah dan Syamsuddin di bidang teologi dan tasawuf.
Berdasarkan sumber-sumber yang tersedia, tercatat setidaknya lima belas karya al-Raniri yang berkenaan dengan masalah teologi dan tasawuf. Berikut ini adalah beberapa di antaranya: (1) Durrat al-Farâ’id bi Syarh al-Aqâ’id (Permata Berharga tentang Uraian Akidah), kitab berbahasa Melayu tentang akidah, yang merupakan saduran dari kitab Syarh al-Aqâ’id al-Nasafiah karya Imam Sa’d al-Dîn al-Taftazânî; (2) Nubdzah fi Da’wah azh-Zhil ma’a Sâhibihi (Uraian Singkat mengenai Dakwaan Kaum Bayang dengan Para Sahabatnya), yang berisi ajaran mengenai kesesatan ajaran sufi wahdah al-wujûd; dan (3) Latâ’if al-Asrâr (Kehalusan Rahasia) yang membahas ilmu tasawuf; (4) Asrâr al-Ihsân fî Ma’rifah al-Rûh wa al-Rahmân (Rahasia Manusia dalam Mengetahui Ruh dan Tuhan); (5) Tibyân fî Ma’rifah al-Adyân (Penjelasan tentang Pengetahuan akan Agama-Agama); (6) Hill al-Zhill (Menguraikan Perkataan “Zhill”), yang berisi tentang kesesatan ajaran wujûdiyyah; (7) Hujjah al-Siddiq li Daf’i al-Zindiq (Hujah Orang Benar untuk Menolak Itikad Orang Zindik); (8) al-Fath al-Mubîn ‘alâ al-Muhîdîn (Kemenangan Nyata atas Kaum Ateis); dan beberapa karya-karya lain yang membahas masalah yang sama.
Lebih dari itu, karya-karya al-Raniri di atas--seperti terlihat dari judul-judulnya--bersifat polemis dan bahkan cenderung advokatif untuk menentang paham kea¬gamaan wujûdiyyah. Ia memang dikenal seorang yang berhaluan keras dan radikal dalam mempertahankan pandangan keagamaannya. Dalam beberapa karyanya itu, al-Raniri dengan keras menuduh para pengikut aliran wujûdiyyah telah sesat karena mempercayai banyak Tuhan (politeis). Sehingga, akibatnya, mereka harus dihukum mati jika tidak bersedia bertobat. Sebagai seorang ulama yang memegang jabatan Syaikh al-Islam, al-Raniri memang mendapat dukungan Sultan Iskandar Tsani, pelindungnya, di mana ia memerintahkan para pengikut aliran wujûdiyyah agar bertobat kepada Tuhan karena kesesatan mereka. Namun, upaya ini tidak membawa hasil, sehingga akhirnya Iskandar Tsani--berdasarkan fatwa al-Raniri tentunya--memerintahkan agar mereka dibunuh dan buku-buku mereka dibakar di depan masjid Bayt al-Rahman. Dalam al-Fath al-Mubîn, al-Raniri menulis:
“... dan lagi kata mereka itu: al-’alam huwa Allah, huwa al-’alam, bahwa alam itu Allah dan Allah itu alam. Setelah sudah demikian itu, maka disuruh raja akan mereka itu bahwa tobat daripada iktikad yang kufur itu. Maka dengen beberapa kali disuruh raja jua akan mereka itu membawa tobat, sekali-kali tiada ia mau tobat, hingga berperanglah mereka itu dengan penyuruh raja. Maka disuruh oleh raja bunuh akan mereka itu, dan disuruhnya himpunkan segala kitab karangan guru mereka di tengah medan masjid yang bernama Bayt Al-Rahman. Maka disuruh oleh raja tunukan segala kitab itu.”
Pokok perdebatan al-Raniri dengan para ulama pengikut aliran wujûdiyyah, khususnya Hamzah dan Syamsuddin, terutama terletak padas masalah yang berkenaan dengan hubungan antara Tuhan sebagai Khalik dan alam serta manusia sebagai makhluk. Al-Raniri, yang mewakili pandangan teologi Asy’ariyah, menekankan perbedaan dan keterpisahan secara tegas antara Tuhan dan manusia serta alam raya ini. Bagi al-Raniri, transendensi Tuhan vis-a-vis imanensi manusia bersifat mutlak, yang membedakan dan menempatkanya keduanya--Allah dan manusia--dalam posisi yang berbeda dan terpisah. Oleh karea itu, bagi al-Raniri, penjelasan Hamzah dan Syamsuddin mengenai hubungan Tuhan-manusia melalui sebuah tamsil “biji dan pohon” seperti dalam kutipan di atas, tidak hanya bertentangan dengan ajaran Islam, tapi juga merusak akidah kaum Muslim. Sebab penjelasan Hamzah dan Syamsuddin berimplikasi pada pengakuan kehadiran Tuhan di dunia yang bersifat imanen: bahwa pada mulanya segenap alam berwujud dalam kandungan zat Tuhan, kemudian alam itu keluar dari-Nya seperti pohon kayu keluar dari satu biji; dengan keluarnya itu, maka jadilah Tuhan berada dalam alam dan bersatu dengannya. Demikianlah dalam karyanya, Tibyân fî Ma’rifah al-Adyân, al-Raniri menulis:
“Maka sekarang kunyatakan pula kepadamu setengah dari i’tiqad kaum wujudiah yang di bawah angin, yaitu Hamzah al-Fansuri dan Syamsuddin al-Sumatrani dan segala yang mengikuti keduanya. Kata Hamzah al-Fansuri dalam kitabnya yang bernama Muntahi pada merencanakan sabda Nabi: “man ‘arafa nafsah fa qad ‘arafa rabbah”, barang siapa mengenal dirinya, bahwasanya ia mengenal Tuhannya; arti mengenal Tuhannya dan mengenal dirinya, yakni diri “kunt kanzan makhfian” dirinya dan sekalian semesta dalam ilmu Allah; tamsil seperti biji pohon, pohonnya dalam biji itu lengkap serta dalam biji itu. Maka nyatalah daripada perkataan wujudiah itu bahwa seru semesta alam sekaliannya lengkap berwujud dalam Haqq Ta’ala: maka keluarlah alam daripada-Nya seperti pohon kayu keluar dari biji. Maka i’tiqad yang demikian itu kufur.”
Sebagai seorang penganut aliran neo-sufisme, al-Raniri dengan sendirinya sangat menekankan pentignya syari’ah dalam praktek-praktek tasawuf. Dalam Sirât al-Mustaqîm, misalnya, ia dengan tegas menandaskan kewajiban utama Muslim dalam praktik beragama, di mana syariah menduduki posisi sangat mendasar. Ia dalam karyanya itu memberikan penjelasan secara rinci mengenai berbagai hal yang menyangkut ibadah, mulai dari bersuci (wudlu’), salat, zakat, puasa (shawm), haji (hajj), kurban (qurbân), hingga masalah-masalah lain yang banyak dikupas dalam kitab-kitab fikih yang dikenal di dunia Muslim. Al-Raniri dalam hal ini memang mendasarkan pembahasannya tentang ibadah pada karya-karya fikih standar dari aliran al-Syafi’i, seperti Minhâj al-Tâlibîn karya al-Nawawi, Fath al-Wahhab bi Syarh Minhâj al-Tullâb karya Zakariya al-Ansârî, Hidâyah al-Muhtâj Syarh al-Mukhtasar oleh Ibnu Hajar, Kitâb al-Anwâr oleh al-Ardabil dan Nihâyah al-Muhtâj ilâ Syarh al-Minhâj karya al-Nawawi oleh Syamsuddin al-Ramli. Sejalan dengan itu, al-Raniri memberi perhatian tentang pentingnya hadis Nabi dalam kehidupan Muslim. Untuk itu, ia mengarang buku Hidâyah al-Habîb fi al-Targhîb wa al-Tarhîb (Petunjuk Kekasih dalam Hal yang Menggembirakan dan Menakutkan), yang berisi kumpulan hadis-hadis Nabi, sekitar 831 hadis, yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu.
Selain itu, kontribusi penting al-Raniri dalam perkembangan intelektual Islam di Nusantara juga bisa dilihat dari karyanya yang lain, Bustân al-Salâtîn (Taman Para Sultan). Karya ini, terdiri dari tujuh buku, merupakan karya terbesar yang pernah ditulis di bidang sejarah, bahkan di kalangan para ulama Nusantara semasa al-Raniri. Karya ini jelas menunjukkan perhatian al-Raniri yang sangat besar untuk membuat satu rekonstruksi sejarah. Dua buku pertama dari karya ini berisi bahasan tentang se¬jarah dunia, mulai dari proses penciptaan dunia hingga periode perkembangan Islam di India dan Melayu-Nusantara. Selebihnya, lima buku dari Bustân al-Salâtîn, berisi nasi¬hat-nasihat bagi para raja dalam menjalankan pemerintahannya. Di sini ia mengikuti pola karya al-Ghazâlî, Nasîhah al-Mulk (Nasihat bagi Para Raja). Karya besar al-Raniri di bidang sejarah ini merupakan sumbangan sangat berarti bagi Muslim Melayu-Nusantara. Melalui karya inilah horizon pemikiran bangsa Melayu tentang sejarah dan geografi, khususnya mengenai bangsa-bangsa lain di dunia, terbentuk dalam kesadaran mereka. Karya ini, yang meletakkan sejarah dan keberadaan Melayu-Nusantara menjadi bagian dari sejarah dunia, lebib jauh menandai perkembangan pent¬ing dalam tradisi penulisan sejarah di Nusantara yang berbentuk babad untuk kasus Jawa dan hikayat untuk kasus Melayu. Maka Bustân al-Salâtîn berbeda, misalnya, dengan teks Sejarah Melayu yang cenderung menjadikan Kerajaan Malaka sebagai pusat dalam perkembangan sejarah Melayu yang diketengahkan.
Abdurrauf al-Sinkili
Upaya al-Raniri memperkenalkan gagasan neo-sufisme Islam di dunia Melayu-Nusantara selanjutnya diteruskan oleh Abdurrauf al-Sinkili (1024-1105/1615-1693), yang nama lengkapnya adalah ‘Abd al-Ra'uf bin ‘Ali al-Jawi al-Fansuri as-Sinkili. Ia adalah seorang Melayu dari Fansur, Sinkil (Singkel) di wilayah pantai barat laut Aceh. Ayahnya adalah seorang Arab bernama Syekh Ali. Hingga saat ini, tidak ada data pasti mengenai tanggal dan tahun kelahirannya. Akan tetapi menurut hipotesis Rinkes, al-Sinkili dilahirkan sekitar tahun 1615. Rinkes mendasarkan dugaannya setelah menghitung mundur dari saat kembalinya al-Sinkili dari tanah Arab ke Aceh pada 1661. Menurutnya, usia wajar seseorang mulai berkelana adalah pada 25-30 tahun. Sedangkan dari data yang ada, al-Sinkili jelas tinggal di tanah Arab selama 19 tahun. Oleh karenanya, Rinkes menyarankan tahun 1615 tersebut sebagai perkiraan. Dan dalam perkembangannya, penentuan tahun oleh Rinkes ini menjadi pegangan sebagian besar ahli tentang al-Sinkili.
Al-Sinkili wafat pada 1693 dan dimakamkan di samping makam Teungku Anjong yang dianggap paling keramat di Aceh, dekat Kuala sungai Aceh. Oleh karena itulah, di Aceh, ia dikenal dengan sebutan Teungku di Kuala (Hurgronje, II 1997: 13). Hingga kini, makamnya menjadi tempat ziarah berbagai lapisan masyarakat, baik dari Aceh sendiri maupun dari luar Aceh. Berkat kemasyhurannya, nama al-Sinkili diabadikan menjadi nama sebuah perguruan tinggi di Aceh, yaitu Universitas Syiah Kuala.
Seperti halnya ulama besar sufi yang lain, al-Sinkili banyak dihubungkan dengan berbagai legenda, antara lain ia dianggap sebagai ulama pertama yang mengislamkan Aceh, meskipun Islam sudah ada di sana beberapa waktu sebelumnya. Legenda lain menyebutkan bahwa al-Sinkililah yang berhasil menginsyafkan para pelacur penghuni rumah bordil yang konon dibuka oleh Hamzah Fansuri di ibukota Aceh (Fang 1993, II: 67; lihat juga Hurgronje 1997, II: 16). Berbagai legenda tersebut tentu saja tidak selalu sesuai dengan fakta sejarah, namun setidaknya hal ini menunjukkan kemasyhuran dan peranan al-Sinkili sebagai seorang ulama dan pendakwah di Aceh.
Menurut Hasjmi, nenek moyang al-Sinkili berasal dari Persia yang datang ke kesultanan Samudera Pasai pada akhir abad 13. Mereka kemudian menetap di Fansur (Barus), sebuah kota pelabuhan tua yang penting di pantai Sumatra Barat, sedangkan ayah al-Sinkili —sekali lagi menurut Hasjmi— adalah kakak dari Hamzah Fansuri, seorang tokoh tasawuf di Aceh yang menyebarkan ajaran wujudiyyah (Hasjmi, dalam Azra 1994: 190). Azra sendiri —yang mengutip keterangan tersebut— meragukan keterangan Hasjmi bahwa al-Sinkili adalah benar-benar keponakan Hamzah Fansuri, sebab tidak ditemukan adanya sumber lain yang mendukung pernyataannya itu, meskipun Azra menduga bahwa al-Sinkili memang mempunyai semacam hubungan keluarga dengan Hamzah Fansuri, sebab dalam beberapa karyanya, nama al-Sinkili diikuti dengan pernyataan: ”yang berbangsa Hamzah Fansuri” (lihat Azra 1994: 190). Dugaan Azra ini pun sebenarnya masih dapat dipertanyakan, terutama jika memperhatikan keterangan Voorhoeve bahwa pernyataan ”yang berbangsa Hamzah Fansuri” atau yang dalam naskah-naskah Jawa ditulis sebagai ”kang abangsa Syekh Hamzah Fansuri” di akhir nama al-Sinkili itu tidak untuk menunjukkan adanya hubungan langsung al-Sinkili dengan penyair mistik tersebut, baik hubungan keluarga maupun hubungan guru-murid, melainkan karena Fansur, yang merupakan sebuah kota dagang di sebelah barat Sumatra pada masa dahulu itu, harus diartikan sebagai penamaan untuk seluruh pantai Barat Sumatra. Oleh karenanya, kendati bukan berasal dari Barus, al-Sinkili dapat disebut yang berbangsa Fansuri, karena berasal dari Sinkil yang termasuk wilayah pantai Barat Sumatra. Kemudian, di kalangan para pengikut mistik yang mulai digemari umum, kata Fansuri itu menjadi terkenal karena dihubungkan dengan nama Hamzah Fansuri, dan karena itu, pernyataan ”yang berbangsa Fansuri” berubah menjadi ”yang berbangsa Hamzah Fansuri”.
Mengenai latar belakang pendidikannya, tampaknya al-Sinkili kecil telah belajar agama di tanah kelahirannya, baik dari ayahnya sendiri maupun dari para ulama setempat lainnya, hingga pada sekitar tahun 1642, ia mengembara untuk menambah pengetahuan agama ke tanah Arab. Penting diingat bahwa pada saat sebelum keberangkatan al-Sinkili ke tanah Arab, di Aceh telah terjadi kontroversi dan pertikaian antara penganut doktrin wujudiyyah yang disebarkan oleh Hamzah Fansuri dan Syamsuddin as-Sumatrani, dengan ar-Raniri dan para pengikutnya. Dengan demikian, dapat dipastikan bahwa al-Sinkili mengetahui secara persis adanya kontroversi yang mengakibatkan terjadinya penganiayaan terhadap para pengikut doktrin wujudiyyah, dan pembakaran buku-buku karangan Hamzah Fansuri tersebut.
Di tanah Arab, selama 19 tahun al-Sinkili belajar agama pada tidak kurang dari 15 orang guru, 27 ulama terkenal, dan 15 tokoh mistik kenamaan di Jeddah, Mekkah, Madinah, Mokha, Bait al-Faqih dll. Akan tetapi, yang paling berpengaruh terhadap pemikiran tasawuf al-Sinkili kelak adalah Ahmad al-Qusyasyi, guru spiritualnya di Medinah. Dari al-Qusyasyi, al-Sinkili mempelajari apa yang dinamakannya ilmu-ilmu batin, yaitu tasawuf dan ilmu-ilmu terkait lainnya, sampai ia mendapatkan ijazah untuk menjadi khalifah dalam tarikat Syatariah dan Qadiriah . Setelah al-Qusyasyi meninggal pada 1660, al-Sinkili melanjutkan pendidikannya kepada Ibrahim al-Kurani (w. 1690), dan memperdalam berbagai pengetahuan agama selain ilmu tasawuf. Dengan bekal pengetahuannya ini, al-Sinkili menjadi seorang ulama yang mumpuni, baik dalam ilmu-ilmu batin, yakni tasawuf, maupun ilmu-ilmu lahir seperti tafsir, fikih, hadis, dll. Perpaduan dua bidang ilmu tersebut sangat mempengaruhi sikap keilmuan al-Sinkili kelak, yang sangat menekankan perpaduan antara syariat dan tasawuf, atau, dalam istilahnya sendiri, antara ilmu lahir dan ilmu batin.
Al-Sinkili kembali ke Aceh pada sekitar 1661, yaitu setahun setelah al-Qusyasyi meninggal. Pandangan-pandangan keagamaannya segera dapat merebut hati Sultanah Safiatuddin, yang saat itu masih memerintah kesultanan Aceh (1645-1675), dan kemudian mengangkatnya sebagai Qadi Malik al-’Adil, atau mufti yang bertanggung jawab atas administrasi masalah-masalah keagamaan.
Sebagai ulama yang menguasai berbagai bidang ilmu keagamaan, al-Sinkili telah menghasilkan berbagai karangan yang mencakup bidang fikih, hadis, tasawuf, tafsir al-Quran, dan ilmu-ilmu agama lainnya. Produktifitas al-Sinkili ini juga tidak terlepas dari posisinya yang menduduki jabatan penting di kerajaan Aceh, dan dengan sendirinya mendapat perlindungan dari penguasa kerajaan. Sejauh ini, tercatat sekitar 22 karya yang ditulis oleh al-Sinkili, yang meliputi masalah fikih, tafsir, kalam, dan tasawuf. Di bidang fikih, karya utama al-Sinkili adalah Mir’at al-Tullâb fi Ma’rifah al-Ahkâm al-Syar’iyyah li al-Malik al-Wahhâb, yang ditulis atas permintaan Sultanah Syafiyah al-Din. Dalam karyanya ini, al-Sinkili menyajikan pembahasan komprehensif tentang fikih, tidak hanya terbatas pada masalah ibadah, tapi juga masalah muamalah yang berakar dalam kehidupan konkrit kaum Muslim, seperti politik, sosial, dan ekonomi. Karya al-Sin¬kili ini bisa dikatakan terkemuka di bidangnya, khususnya jika dibanding karya al-Raniri, Sirât al-Mustaqîm, yang membatasi fikih hanya pada aspek ibadah.
Karya penting lain--bahkan mungkin terpenting--yang dilahirkan al-Sinkili adalah Tarjumân al-Mustafîd, sebuah tafsir al-Qur’an dalam bahasa Melayu. Al-Sinkili adalah orang pertama di Melayu-Nusantara yang menulis tafsir al-Qur’an secara lengkap. Maka tidak mengherankan bahwa karya ini beredar luas di wilayah Melayu-Nusantara, bahkan di tahun-tahun belakangan ini. Edisi terakhir karya tafsir ini diterbitkan di Jakarta pada 1981. Menyangkut kajian terhadap karya ini, di kalangan para sarjana terdapat perbedaan pendapat menganai sumber yang digu¬nakan al-Sinkili dalam menyusun Tarjumân al-Mustafîd. Snouck Hurgronje, Islamolog Belanda masa kolonial, berkesimpulan bahwa karya tersebut semata-mata meru¬pakan terjemahan yang tidak baik dari karya tafsir al-Baydhawi, Anwâr al-Tanzîl. Pendapat tersebut diikuti oleh dua orang muridnya, Rinkes dan Voerhoeve, kendati sarjana yang disebut terakhir ini kemudian mengubah pendapatnya den¬gan mengatakan bahwa sumber-sumber yang digunakan al-Sinkili adalah berbagai karya tafsir berbahasa Arab.
Kajian paling belakangan yang dilakukan Peter Riddell dan Salman Harun--masing-masing dari Australia dan IAIN Jakarta--membuktikan bahwa Tarjumân al-Mustafîd merupakan terjemahan dari Tafsîr Jalâlayn, kecuali pada bagian-bagian tertentu al-Sinkili mengacu pada Tafsîr al-Baydlâwî dan al-Khazin. Tafsir Jalâlayn ditulis oleh dua orang ulama terkemuka, Jalâl al-Dîn al-Mahallî (w. 864/1459) dan Jalâl al-Dîn al-Suyûtî yang menjadi salah satu rujukan penting karya-karya para ulama Nusantara, khususnya mereka yang terlibat dalam jaringan ulama Melayu-Nusantara dengan Timur Tengah pada periode ini. Hal ini dengan jelas membuktikkan bahwa al-Sinkili menulis Tarjumân al-Mustafîd berdasarkan sumber-sumber tafsir yang otoritatif karangan para ulama terkemuka. Ini sekaligus membutikan bahwa al-Sinkili adalah seorang ulama yang telah memberi kontribusi penting dalam tradisi intelektual Islam di dunia Melayu-Nusantara dan di Asia Tenggara umumnya.
Bila diletakkan dalam perkembangan tradisi intelektual Islam di dunia Melayu-Nusantara, lebih tepatnya kontroversi al-Raniri dan para pengikut aliran wujûdiyyah di Aceh, pemikiran al-Sinkili tampak berada dalam alur pemikiran yang diketengahkan al-Raniri, yakni neo-sufisme, kendati ia tidak sekeras al-Raniri dalam menyerang mereka yang beraliran sufisme wahdah al-wujûd. Sebagaimana tertuang dalam karyanya Kifâyah al-Muhtâjîn ilâ Masyrab al-Muwahhidîn al-Qâ’ilîn bi Wahdah al-Wujûd, al-Sinkili dengan jelas mempertahankan pendapat ulama sebelumnya, al-Raniri.
Dalam hal ini, hampir keseluruhan karya al-Sinkili berisi penjelasan tentang hubungan ontologis antara al-Haq dan al-khalq. Penjelasan-penjelasan yang diberikan itu dimaksudkan, antara lain, untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan seperti bagaimana kedudukan ontologis al-khalq (alam)? Apakah alam identik dengan Tuhan? Atau apakah alam tidak mempunyai wujud sama sekali?
Pandangan al-Sinkili terhadap persoalan-persoalan di atas terungkap dalam Tanbîh al-Mâsyî, yang merupakan satu-satunya kitab karangan al-Sinkili dalam bahasa Arab. Dalam kitab ini, al-Sinkili menjelaskan bahwa alam tidak identik secara mutlak dengan Tuhan, karena alam hanya merupakan bayangan-Nya, bukan wujud-Nya. Dengan ini al-Sinkili menegaskan transendensi Tuhan atas makhluk-Nya. Alam —termasuk manusia di dalamnya—, dengan demikian tidak memiliki wujud tersendiri, karena ia hanya merupakan bayangan Tuhan, atau bahkan hanya bayangan dari bayangan-Nya. Kehadiran bayangan itu sangat tergantung pada ada dan tidak adanya sumber bayangan. Oleh karena itu, wujud hakiki yang sebenarnya adalah sumber bayangan tersebut berikut segala sifat yang melekat padanya.
Demikianlah, menurut al-Sinkili, segala sesuatu selain Allah (baca: alam) itu bersumber pada-Nya, dan keberadaannya pun sangat tergantung pada wujud-Nya. Dengan pandangannya bahwa alam adalah bayangan Allah semata, berarti al-Sinkili menegaskan bahwa alam bukan benar-benar zat al-Haq, karena anggapan tersebut, menurutnya, akan membatalkan status al-Haq sebagai Pencipta alam raya. Menurut al-Sinkili, sangat tidak masuk akal jika Sang Pencipta menciptakan zat-Nya sendiri secara utuh.
Bagi al-Sinkili, semua yang dikemukakannya dalam kitab-kitab karangannya itulah yang ia namakan sebagai doktrin wahdatul wujud (kesatuan wujud), atau yang oleh ar-Raniri disebut dengan wujudiyyah. Jadi, alam —dalam konsep wahdatul wujud al-Sinkili— bukan merupakan wujud kedua yang benar-benar terpisah dari al-Haq, karena ia adalah pancaran dari zat-Nya. Dalam hal ini, berarti al-Sinkili mengemukakan konsep imanensi (penyatuan) Tuhan dalam alam (tasybîh; baca: konsep al-faid). Akan tetapi, alam juga bukan zat al-Haq secara mutlak, melainkan sekedar bayangan-Nya, atau bahkan bayangan dari bayangan-Nya, karena Tuhan adalah Zat Yang Esa, tidak ada sesuatu pun yang menyertai-Nya (lâ syarîka lah), meskipun Ia selalu menyertai segala sesuatu (al-Muhît). Dalam hal ini, berarti al-Sinkili tetap mempertahankan konsep transendensi Tuhan atas ciptaan-Nya (tanzîh; baca: konsep al-zill).
Yang penting dikemukakan dari semua uraian di atas adalah bahwa meskipun jelas-jelas al-Sinkili merupakan seorang ulama sufi yang turut mempropagandakan ajaran wahdatul wujud, namun dari penjelasannya tentang konsep al-faid dan al-zill, kita menangkap satu kesan bahwa al-Sinkili bersikap sangat hati-hati dalam mengemukakan ajaran tersebut. Ia mencoba untuk menjauhkan satu pemahaman bahwa wahdatul wujud merupakan doktrin yang mengajarkan kesatuan antara Tuhan dan alam secara mutlak. Sikapnya ini berbeda dengan ulama sufi Melayu lain semisal Yusuf al-Makassari, yang karena tidak ingin mengaitkan dirinya dengan paham kesatuan akhir antara Tuhan dan alam, ia lantas menolak wahdatul wujud (kesatuan wujud), untuk kemudian mengajarkan doktrin wahdah al-syuhud (kesatuan kesadaran) yang dikembangkan oleh Ahmad as-Sirhindi dan Syah Waliyullah.
Kecenderungan al-Sinkili untuk mengadakan reinterpretasi yang lebih kompromistis terhadap doktrin wahdatul wujud, dan penekanannya terhadap keselarasan doktrin tersebut dengan al-Quran dan hadis Nabi, tampaknya juga tidak lepas dari konteks sosial masyarakat Aceh saat itu. Seperti telah dikemukakan di awal, sejak keberangkatan al-Sinkili ke Arabia sekitar 1642, Aceh ditandai dengan kontroversi dan pertikaian antara seorang ulama ortodoks, ar-Raniri dengan penganut doktrin wujudiyyah Hamzah Fansuri dan as-Sumatrani. Al-Sinkili, tampaknya sangat berhati-hati menempatkan posisi dirinya di antara dua pihak yang bertikai itu. Dalam Tanbîh al-Mâsyî, meskipun secara implisit semangat ajaran al-Sinkili senada dengan ar-Raniri, yakni menunjukkan ketidaksepahamannya dengan doktrin wujudiyyah Hamzah Fansuri dan as-Sumatrani, namun, ia juga tidak sependapat dengan sikap ar-Raniri yang menentang ajaran tersebut secara radikal.
Pandangan al-Sinkili tentang konsep Tuhan dan alam ini juga dikemukakan dalam karyanya yang lain, Daqâ’iq al-Hurûf. Dalam karya yang berupa penafsiran atas “empat baris ungkapan panthesitis” dari Ibn ‘Arabî ini, al-Sinkili menekankan transendensi Tuhan vis-a-vis manusia dan alam raya, sambil mengakui pentingnya intuisi (kasyf) dalam jalan mistis untuk memahami hakikat Tuhan karena keterbatasan akal manusia. Oleh karena itu, menurutnya, cara paling efektif untuk bisa merasakan dan menangkap Keseaan Tuhan adalah dengan menjalankan ibadah, terutama zikir (“mengingat” Tuhan). Dengan demikian, jelas bahwa al-Sinkili sejalan dengan al-Raniri yang sama-sama mewakili aliran neo-sufisme di Melayu-Nusantara.
Pendiriannya di atas membuktikan bahwa tasawuf harus dilakukan seiring dengan dan berada di bawah kontrol syariah. Begitu pula, sebagai penganut aliran neo-sufisme, al-Sinkili menekankan pentingnya hadis-hadis Nabi dalam praktik keagamaan Muslim. Ia menulis dua buah karya di bidang hadis ini: yakni penafsiran atas Hadis Arba’in karangan al-Nawawi, dan al-Mawâ’izh al-Badî’ah. Yang terakhir ini bersisi koleksi hadis-hadis qudsi—wahyu Tuhan yang disampaikan melalui kata-kata Nabi sendiri.
Menarik untuk dicatat bahwa di antara karya-karya al-Sinkili yang hampir keseluruhannya berbentuk prosa, terdapat satu karya dalam 'genre' puisi, yaitu Syair Ma’rifah yang salah satu naskahnya disalin di Bukit Tinggi tahun 1859. Syair ini mengemukakan tentang empat komponen agama Islam, yaitu Iman, Islam, Tauhid dan Ma’rifat, serta tentang Ma’rifat sebagai pengetahuan sufi yang memahkotai empat komponen itu. Syair ini juga menegaskan bahwa empat komponen agama inilah yang akan menentukan seseorang disebut sebagai insan kamil (manusia sempurna).
Menurut Braginsky, data di atas menunjukkan bahwa al-Sinkili dapat dianggap sebagai penerus yang sesungguhnya dari tradisi penulisan 'syair religius-mistik' yang sebelumnya telah dirintis oleh Hamzah Fansuri. Kesimpulan Braginsky ini cukup menarik karena ternyata ia tidak menunjuk ar-Raniri sebagai penerus tradisi tersebut, meskipun dalam Bustan as-Salatin misalnya, ar-Raniri banyak mengungkapkan bait-bait syair.
Muhammad Yusuf al-Makassari:
Mutiara dari Timur
Menyusul dua ulama terkemuka yang telah dibahas, sejarah Melayu-Nusantara di penghujung abad XVII juga menyaksikan munculnya seorang ulama terkemuka lain yang beraliran neo-sufisme. Ia adalah al-Makassari, lengkapnya bernama Muhammad Yusuf ibn Abd Allah Abu Mahasin al-Taj al-Khalwati al-Makassari (1037-1111 H/1627-1699 M), yang lahir di daerah Gowa, Sulawesi Selatan. Al-Makassari tumbuh di lingkungan ke¬luarga yang sudah memeluk Islam secara utuh. Sejak masa-masa awal kehidupannya, al-Makassari telah dididik menurut tradisi Islam. Ia belajar membaca al-Qur’an dengan seorang ulama setempat bernama Daeng ri Tasammang. Setelah itu dia belajar bahasa Arab, fiqh, tauhid, dan tasawuf dari seorang ulama keturunan Arab yang tinggal di Bontola, Ba ‘Alî ibn ‘Abd Allâh al-’Allâmah. Ketika berusia 15 tahun, al-Makassari melanjutkan Pendidikannya di bidang keislaman bersama Jalâl al-Dîn al-Aydid, seorang guru keliling di Cikoang.
Seperti halnya ulama-ulama lain saat itu, khusunya dua ulama terkemuka di atas, al-Makassari kemudian melanjutkan pendidikannya di Timur Tengah. Maka tidak lama setelah menyelesaikan pelajarannya dengan ulama di Cikoang––hanya diselingi pernikahan dengan putri Sultan Gowa, ‘Alâ’ al-Dîn––ia segera bertolak ke Arabia pada Rajab 1054/September 1646. Dalam perjalanannya ke Arabia ini, al-Makassari singgah di beberapa tempat sesuai dengan jalur perdagangan yang berlaku saat itu. Daerah pertama yang menjadi tempat persinggahannya adalah Banten, yang waktu itu tengah berkembang menjadi sebuah kerajaan Islam terkemuka di Jawa Barat. Dari sana, al-Makassari selanjutnya meneruskan perjalanan ke Aceh, di mana ia berharap dapat bertemu dan berguru kepada Nuruddin al-Raniri. Namun, seperti telah ditunjukkan di atas, al-Raniri telah kembali ke Ranir, kota kelahirannya, pada tahun yang sama den¬gan waktu keberangkatan al-Makassari dari Makassar, maka kemungkinan besar ia tidak sempat bertemu dengan al-Raniri di Aceh. Oleh karena itu, al-Makassari kemudian bertolak mengikuti al-Raniri ke India. Kendati tidak ada bukti sejarah yang menggam¬barkan secara rinci pertemuan al-Makassari dengan al-Raniri, namun kepergiannya ke India bisa dibuktikkan. Naquib al-Attas, seorang sarjana dari Malaysia, mengatakan da¬lam salah satu karyanya bahwa al-Makassari sempat berguru ‘Umar ibn ‘Abd Allâh Ba Syaybân, salah seorang guru al-Raniri. Bisa diduga, pertemuan al-Makassari dengan Ba Syaybân ini terjalin atas jasa al-Raniri yang saat itu telah berada di India, tepatnya di Ra¬nir.
Bila penjelasan di atas bisa diterima, kemungkinan besar dari India al-Makassari bertolak ke Arabia. Negara pertama yang menjadi tujuan al-Makassari adalah Yaman, di mana ia berguru dengan beberapa orang ulama terkemuka di negara tersebut, di antaranya adalah Muhammad ibn ‘Abd al-Bâqî al-Naqsyabandî, Sayyid ‘Alî al-Zabidî, dan Muhammad ibn al-Wajîh al-Sa’di al-Yamanî. Setelah beberapa tahun belajar di Yaman, al-Makassari kemudian melanjutkan perjalanannya ke Makkah dan Madinah. Di sinilah ia belajar kepada ulama-ulama yang juga menjadi guru al-Sinkili. Masa al-Makassari belajar di Makkah dan Madinah bersamaan dengan masa belajar al-Sinkili. Di antara ulama-ulama Makkah yang menjadi guru al-Makassari, seperti halnya al-Sinkili, adalah Ahmad al-Qusyaisyi, Ibrâhîm al-Kuranî, dan Hasan al-’Ajamî.
Nama-nama ulama terakhir ini memang sudah sangat terkenal dalam jaringan ulama abad XVII dan XVIII yang berpusat di Makkah dan Madinah. Tidak terlalu penting di sini untuk memba¬has secara rinci studi yang dilakukan al-Makassari dengan para ulama di Makkah dan Madinah, begitu juga ulama-ulama dari negara lain di Timur Tengah yang sempat dikunjungi al-Makassari, khususnya Damaskus dan juga Istambul. Hal penting yang perlu ditekankan di sini adalah bahwa al-Makassari––seperti halnya al-Raniri dan al-Sinkili––merupakan salah seorang eksponen utama dari jaringan intelektual Melayu-Nusantara-Timur Tengah yang telah menghasilkan ulama-ulama beraliran neo-sufisme. Dalam karier intelektual al-Makassari corak neo-sufisme ini tampak sedemikian kuat mewarnai karya-karya dan kegiatan sosial-politik yang dijalankannya.
Sekembalinya ke Nusantara, al-Makassari langsung terlibat dalam persoalan sosial dan politik di Nusantara, khususnya di Kerajaan Banten yang tengah berhadapan dengan kekuatan kolonial Belanda. Sebagaimana diketahui, berdasarkan data-data sejarah yang ada, kepulangan al-Makassari ke Nusantara tidak langsung menuju ke kota kelahirannya, Gowa, tetapi ke Banten. Kendati mungkin singgahnya di Banten hanya untuk sementara, sebelum ia pergi ke Gowa, tapi setelah beberapa bulan di sana ia berubah pikiran dan memutuskan untuk tinggal di Banten. Di Kerajaan Banten inilah al-Makassari memuali karier intelektualnya sebagai seorang ulama beraliran neo-sufisme. Ia tidak hanya mencurahkan perhatiannya pada kegiatan-kegoatan keagamaan, tapi pada saat yang sama ia juga memiliki concern yang luar biasa besar terhadap masalah-masalah sosial dan politik yang dihadapi Muslim saat itu.
Sebagaimana telah dijelaskan di atas, salah satu ciri utama neo-sufisme adalah keprihatinan yang mendalam terhadap degenerasi sosio-moral umat Islam dan berupaya melakukan upaya perubahan sejalan dengan nilai-nilai Islam. Di tangan al-Makassari, kecenderungan neo-sufisme seperti demikian itu tampak sangat kentara, bahkan dalam beberapa segi melampaui al-Raniri dan al-Sinkili. Ini terutama disebabkan kondisi sosial-politik yang dihadapi al-Makassari di Kerajaan Banten yang tengah berhadapan dengan kekuatan kolonial Belanda, sehingga kemudian mengundang al-Makassari untuk terlibat sepenuhnya dalam per¬juangan politik melawan kolonial.
Kerajaan Banten saat al-Makassari singgah ketika kepulangannya dari Arabia tengah berada di bawah kepemimpinan Sultan Ageng Tirtayasa (1053-1096/1651-1683), penguasa besar terakhir kerajaan tersebut sebelum akhirnya takluk di bawah kekuasaan kolonial. Di bawah kekuasaanya, Kerajaan Banten mencapai masa kejayaan, baik di bidang ekonomi, politik, dan keagamaan. Sultan Ageng Tirtayasa, seperti ayahnya, Sultan Abu al-Mufakhir ‘Abd al-Qadir, memberi perhatian besar pada pengembangan agama. Hubungan diplomatik dengan dunia Islam, khususnya para syarif Makkah, terus dilakukan secara intensif. Ia sendiri di kerajaan senantiasa dikelilingi para ulama yang sengaja diundang untuk mengembangkan kegiatan-kegiatan keagamaan di lingkungan istana kerajaan. Oleh karena itu, ketika al-Makassari datang ke Banten sepulangnya belajar di Arabia, ia segera mendapat sambutan luar biasa besar dari Sultan Ageng. Setelah beberapa bulan tinggal di Banten, ia segara dinikahkan den¬gan putri Sultan. Tidak lama kemudian al-Makassari diangkat menduduki posisi pent¬ing di kerajaan, yakni sebagai anggota Dewan Penasihat Sultan. Dalam sumber-sumber Balanda, al-Makassari disebut sebagai opperpriester atau hoogenpriester (“pendeta tertinggi”), yang memainkan peranan tidak hanya terbatas di bidang keagamaan, tapi juga di bidang politik. Kondisi inilah tampaknya yang mempengaruhi keputusan al-Makassari untuk tetap tinggal di Banten, tidak langsung ke Gowa setelah kedatangan¬nya dari Arabia.
Namun, tidak lama setelah itu situasi politik di Kerajaan Banten mulai mengalami perubahan, yang berujung pada perang sudara antara keluarga istana kerajaan sehingga kemudian mengundang campur tangan Belanda di dalamnya. Hal ini bermula dengan pengangkatan Pangeran Purbaya sebagai pewaris langsung tahta kerajaan oleh Sultan Ageng, menggeser kedudukan putra mahkota, ‘Abd al-Qahhar––juga dikenal sebagai “Sultan Haji” yang saat itu tengah melaksanakan ibadah haji di Makkah. Kepu¬tusan itu dibuat Sultan Ageng didasarkan pertimbangan bahwa al-Qahhar cenderung memihak kepada Belanda, sikap politik yang jelas-jelas bertentangan dengan Sultan Ageng. Sejak saat itulah friksi antara dua putra Sultan Ageng menjadi tidak bisa die¬lakkan. Sultan Ageng memang berusaha berdamai, dengan mengembalikan kedudukan al-Qahhar sebagai putra mahkota dan diserahi kekuasaan di ibukota, Banten, semen¬tara sultan yang tua pindah ke Tirtayasa. Namun kebijakan terbukti semakin mem¬perburuk hubungan di antara mereka. Al-Qahhar semakin erat berhubungan dengan pihak Belanda. Bahkan kemudian al-Qahhar menyatakan pengunduran diri ayahnya dari tahta kerajaan sambil memproklamirkan dirinya sebagai penguasa kerajaan Ban¬ten. Inilah awal terjadinya perang saudara di lingkungan keluarga istana. Sultan Ageng menolak dipaksa mengundurkan diri, maka ia bersama dengan Purbaya menghimpun kekuatan untuk menyerang al-Qahhar.
Dalam konflik politik di Kerajaan Banten ini, al-Makassari secara tegas memi¬hak Sultan Ageng. Ia bergabung dalam pasukan Sultan Ageng dan Purbaya dalam per¬angan melawan al-Qahhar. Dalam perang yang berlangsung pada 1092/1682 ini posisi al-Qahhar sebenarnya sudah terdesak, tapi ia segera meminta bantuan pihak Belanda sehingga ia akhirnya terselamatkan dari kekalahan. Pasukan Belanda berhasil mengalahkan pasukan Sultan Ageng. Pada 1682 pasukan Belanda menyerang Tirtayasa, tapi Sultan Ageng, al-Makassari, dan Purbaya berhasil meloloskan diri dari kepungan, dan mengungsi ke daerah perbukitan selatan Jawa Barat. Namun karena terus-menerus dikejar pasukan Belanda dan Sultan Haji, Sultan Ageng akhirnya tertangkap pada 1096/1683. Ia kemudian dibuang ke Batavia dan meninggal di sana pada 1103/1692.
Tertangkapnya Sultan Ageng tidak mengakhiri perang melawan Belanda. Pimpinan atas pasukan Sultan Ageng kini diambil alih al-Makassari dengan melakukan perang gerilya di hampir seluruh wilayah di Jawa Barat. Perang gerilya ini terus di¬lakukan sampai akhirnya pasukan al-Makassari berhasil ditaklukkan melalui sebuah tipu daya oleh pasukan Belanda yang menyusup masuk dalam barisan pasukan. Al-Makassari sendiri akhirnya dibuang ke Batavia, sebelum kemudian dia diasingkan lebih jauh lagi ke Srilanka bersama keluarga dan beberapa orang muridnya. Keputusan Belanda untuk membuangnya ke Srilanka berangkat dari kekhawatiran akan dilakukannya upaya pembebasan oleh kaum Muslim Nusantara yang terlanjur menghormati dan memujanya sebagai pahlawan besar yang telah berjasa melawan ekspansi Belanda.
Namun usaha Belanda memutus hubungan al-Makassari dengan Muslim Nusantara terbukti tidak berhasil. Di Srilanka, al-Makassari masih melakukan hubungan in¬tensif melalui para jamaah haji Nusantara yang singgah di wilayah tersaebut. Seperti diketahui, Srilanka adalah tempat transit dalam perjalanan ibadah haji dan perdagangan antara Makkah dan Madinah dengan Melayu-Nusantara. Jalinan hubungan ini ter¬bukti melalui sebuah karya al-Makassari, Risâlah al-Ghâyah, di mana ia menulis bahwa karya tersebut dipersembahkan untuk kawan-kawanya, para jamaah haji. Melihat kenyataan itu, maka pemerintah Belanda akhirnya memutuskan untuk membuang al-Makassari lebih jauh lagi, yaitu ke Tanjung Harapan di Afrika Selatan. Penting dicatat, Tanjung Harapan adalah tempat pengasingan para tokoh yang dihukum buang, yang dipandang paling berbahaya bagi kedudukan Belanda. Al-Makassari diberangkatkan ke Tanjung Harapan pada 1106/1693, ketika ia berusia 68 tahun. Ia terus hidup di sana dan tidak diperboleh pihak Belanda untuk kembali lagi ke Nusantara, hingga ia men¬inggal dunia di sana pada 1111/1699.
Semua pengalaman al-Makassari di atas menyuguhkan bukti kuat bahwa ia seorang neo-modernis par excellent, seperti halnya al-Raniri dan al-Sinkili di Kerajaan Aceh. Lebih dari itu, dalam keterlibatannya di bidang politik, al-Makassari bahkan selangkah lebih jauh dari dua ulama terkemuka di atas, khususnya ketika ia mengambil alih pimpinan pasukan perang setelah Sultan Ageng tertangkap Belanda. Pengalaman hidup al-Makassari ini sekaligus membuktikan bahwa paham keagamaan yang dianutnya, terutama tasawuf yang memang mendapat perhatian sangat besar, sama sekali tidak menjauhkan al-Makassari dari masalah-masalah keduniaan. Ajaran-ajaran al-Makassari, seperti akan dibahas berikut, justru diekspresikan dalam bentuk kegiatan-kegiatan yang memperlihatkan aspek aktivisme yang menjangkau bidang kehidupan yang luas. Hal terakhir ini juga bisa dilihat, misalnya, dari kegiatannya ketika ia hidup sebagai buangan di Tanjung Harapan. Di sana ia sepenuhnya mengabdikan hidupnya dalam usaha membangkitkan kehidupan Islam, khususnya di kalangan Muslim Melayu-Nu¬santara yang sudah ada di Tanjung Harapan sebelum kedatangannya. Bahkan, al-Makassari besar kemungkinan sangat berjasa dalam perkembangan tiga tarekat sufi yang banyak diikuti kaum Muslim di Tanjung Harapan: Qadariyah, Syattariyah, dan Rifa’iyah.
Sepanjang menyangkut paham keagamaan, al-Makassari, seperti halnya para ulama neo-sufisme, sangat menekankan pemurnian kepercayaan (‘aqîdah) pada keesaan Tuhan. Dalam salah satu karyanya, al-Nafhat al-Saylâniah, yang ditulis ketika ia diasingkan di Srilanka, al-Makassari menekankan bahwa keesaan Tuhan (tawhîd) itu tak terbatas dan mutlak. Tauhid adalah komponen utama dalam Islam; orang yang tidak bertauhid kepada Tuhan adalah orang kafir. Lebih jauh dalam karyanya yang lain, Matâlib al-Sâlikîn, ia membandingkan tauhid murni dengan sebuah pohon berdaun: pengetahuan makrifah adalah cabang-cabangnya dan daun-daunnya, sedangkan ibadah adalah buah-buahnya. Menurutnya, orang yang tidak mempunyai makrifah itu bodoh (jâhil), dan orang yang tidak melaksanakan ibadah itu berdosa (fâsiq). Dari sini bisa dilihat bahwa penekanan al-Makassari dalam ajarannya diarahkan pada pelaksanaan praktik sufisme yang sejalan dengan syariah. Keduanya, sufisme dan syariah adalah komponen yang tidak bisa dipisahkan dalam ajaran Islam. Hal serupa juga ditegaskan dalam karyanya yang lain, Zubdah al-Asrâr, di mana ia menyatakan bahwa orang yang hanya bersandar pada syariah lebih baik daripada orang yang mengamalkan tasawuf tapi mengabaikan hukum Islam. Al-Makassari bahkan menamakan mereka yang percaya bisa dekat dengan Tuhan tanpa melakukan ibadah sebagai pemikir bebas (zindik) dan sesat (mulhid).
Ciri neo-sufisme al-Makassari selanjutnya bisa dilihat dalam pandangan tasawufnya. Di sini ia, seperti para ulama neo-sufis lain, berpegang teguh pada transendensi Tuhan. Al-Makassari memang percaya bahwa Tuhan mencakup segala-galanya (al-ihâtah) dan ada di mana-mana (al-mâ’iyah) atas ciptaan-Nya. Namun, ia tidak jatuh dalam doktrin pentheisme, khususnya ketika ia mengatakan bahwa ciptaan Tuhan tersebut bukan Tuhan itu sendiri; semua ciptaan adalah semata-mata wujud alegoris (al-mawjûd al-majâzi) bukan wujud sejati (al-mawjûd al-haqîqî). Menurut al-Makassari, “ungkapan” Tuhan dalam ciptaan-ciptaan-Nya bukanlah kehadiran “fisik” Tuhan dalam diri mereka.
Oleh karena itu, hubungan manusia dengan Tuhan tidak bisa dipahami sebagai satu proses spiritual yang berujung pada penyatuan keduanya--seperti pada doktrin wahdah al-wujûd dari Ibn ‘Arabî dan al-hulûl dari Manshûr al-Jîlî. Melainkan, hubungan tersebut hanya bisa dicapai pada tingkat wahdah al-syuhûd (kesatuan kesadaran atau monisme fenomenologis). Dalam hal ini, lagi-lagi al-Makassari mengambil doktrin tasawuf yang dikembangkan para ulama neo-sufisme, khususnya seperti yang dikembangkan Ahmad Sihrindi dan Syah Wali Allah di India. Seperti dua ulama yang disebut terakhir ini, al-Makassari tidak menolak sufisme sepenuhnya, melainkan ia justru memberi arah baru terhadap sufisme yang sejalan dengan tuntutan-tuntutan syariah.
[bersambung]
Berikutnya: "Neo-Sufisme 'Ghazalian' Abdussamad al-Palimbani"
2 Kommentare:
Pak Oman, saya aris fauzan alumni UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Saat ini saya tinggal di Yogya. Saya termasuk salah saeorang yang konsen pada naskah kuno. Dalam kaitan ini, saya fokus ke naskah Islam jawa. Terima kasih atas terbukanya blog anda, sehingga saya bisa leluasa mengutipnya. af
Terima kasih Mas Aris, salam kenal. Saya senang berkenalan dengan sesama peminat kajian naskah kuno ini, semoga suatu saat kita bisa berjumpa dan bekerja sama. Salam
Post a Comment