Please feel free to quote part of information provided here, with an acknowledgment to the source.

22.1.07

Wajah Islam Asia Tenggara


Jamhari Makruf


Pembantu Rektor Bidang Keilmuan, UIN Jakarta

Pernah pada masanya Islam Asia Tenggara tidak dilirik, karena dianggap terlalu sinkretik dan "menyimpang" dari mainstream Islam di Negeri asal kelahirannya.

Namun kemudian ada pergeseran yang signifikan dalam memandang Islam di Asia Tenggara. Sejak era 80an, banyak sarjana yang mulai memandang Islam Asia Tenggara dengan semestinya. Jika dikaitkan dengan kecenderungan akademik global, berkembangnya area studies (studi kewilayahan) memberikan peluang bagi Islam untuk dijadikan bahasan. Selama ini studi keislaman selalu masuk dalam wilayah kajian Timur Tengah (middle Eastern Studies).

Tetapi Islam Asia Tenggara menjadi pusat perhatian, di samping alasan akademis tersebut, juga dikarenakan mulai “dianggapnya” Islam di Asia Tenggara. Bukan saja karena secara jumlah umat Islam di Asia Tenggara adalah jumlah terbesar di dunia, melainkan karena adanya pengakuan akan kekhasan Islam di Asia Tenggara. Perbedaan manefestasi keagamaan di Asia Tenggara dengan yang ada di Timur Tengah tidak lagi disikapi sebagai sebuah “ketidak murnian, tetapi justru kekayaan budaya keislaman”.

Sinkretisme Islam bukanlah hal yang tabu, karena ternyata hal itu juga terjadi di wilayah lain, termasuk apa yang terjadi di Timur Tengah sendiri. Perbedaan manifestasi keagamaan itu seharusnya dilihat sebagai sebuah cara bagaimana umat Islam di wilayah tertentu menerjemahkan Islam sesuai dengan realitas budayanya. Dalam pandangan ini, tulisan Arab Jawi atau pegon sesungguhnya merupakan kekayaan Islam di wilayah Asia Tenggara, karena menggabungkan antara tradisi agama dengan tradisi lokal.

Islam di Asia Tenggara juga dipandang sebagai representasi “lain” yang positif dari wajah Islam yang banyak digambarkan sebagai “penuh kekerasaan dan sangat agresif” yang ada di Timur Tengah. Kemampuan Islam di Asia Tenggara untuk beradaptasi dengan budaya lokal dan dapat menampilkan wajahnya yang ramah dan toleran menjadi penawar bagi potret Islam yang keras dan agresif tersebut. Islam di Asia Tenggara memberikan contoh yang baik bagaimana sebuah agama dapat berkembang dalam masyarakat yang plural dan multi etnis.

Di tengah-tengah perbedaan itu, Islam—dengan karakter yang luwes—mengadopsi budaya lokal untuk memperkaya khasanah pengalamannya keislamnya. Perbedaan dalam menerjemahkan keislaman di Indonesia sesungguhnya adalah, meminjam istilah Marshal Hodgson, “mosaic” yang memberikan keindahan gambar Islam dalam bentang budaya yang plural. Makanya tidak mengherankan jika Asia Tenggara mempunyai variasi karakter keislaman yang khas; ada Melayu, Aceh, Jawa, Bugis, Banten, Sunda, Patani, Mindanau, Brunei dan sebagainya.

Islam Asia Tenggara juga mempunyai kredit dalam masalah berhubungan dengan Barat. Walaupun hubungan intelektual dengan Timur Tengah terus terjalin, Islam Asia Tenggara membuka hubungan intelektual dengan pusat-pusat peradaban Barat. Kalau sebelumnya perdebatan wacana keagamaan didominasi oleh mereka yang belajar ke Timur Tengah, sekarang perdebatan itu beragam dengan masuknya alumni-alumni universitas Barat.

Akibatnya adalah, umat Islam di Asia Tenggara dapat dengan akrab berdiskusi dengan isu-isu global seperti civil society atau masyarakat madani, demokrasi, isu-isu gender, isu hak asasi manusia dan lain-lainnya. Di Indonesia misalnya, political will masyarakat Indonesia untuk mengusung demokrasi setelah kejatuhan rezim Orde Baru membuktikan akan kesiapan umat Islam Indonesia untuk membuka pintu bagi wacana-wacana global.

Tetapi, beberapa waktu belakangan, wajah Islam Asia Tenggara yang toleran, ramah, liberal dan modern tiba-tiba dikejutkan dengan berita-berita tentang gerakan Islam radikal. Berita-berita di media lokal maupun media asing menyuguhkan tentang kecenderungan radikal umat Islam di Indonesia. Islam di Asia Tenggara menjadi “hot news” dalam bentuk yang sangat berbeda; Islam Asia Tenggara menjadi “the nest of terrorism” (sarang terorisme). Dari berita tentang fatwa Jihad hingga perjuangan menerapkan Syari’at Islam di Indonesia tak henti-hentinya menjadi topik pembicaraan. Bahkan juga muncul kecenderungan penggunaan kekerasan seperti misalnya perusakan sampai hukuman mati bagi mereka yang berbeda pendapat.

Kemunculan Islam garis keras di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari beberapa faktor. Pertama, faktor pemahaman keagamaan literal telah mengakibatkan adanya kecenderungan “keras” dalam mempraktekkan agama.

Kedua, adanya interaksi Muslim Indonesia dengan dunia Muslim internasional. Hal itu dimungkinkan lewat informasi media maupun internet yang dapat diakses dengan mudah. Hubungan dengan Muslim international dimungkinkan karena difasilitasi mobilitas Muslim Indonesia ke luar negeri baik melalui jalur kerja—seperti ke Saudi dan Malaysia—ataupun atas nama solidaritas sesama Muslim—ikut berperang di Afghanistan maupun Mindanau.

Ketiga, faktor politik global—demokrasi—yang tidak dapat dibendung lagi. Bagi kalangan tertentu—terutama mereka yang berpaham literal—melihat demokrasi sebagai ancaman terhadap eksistensi sistem politik yang berlandaskan agama.

Apakah betul wajah Islam telah berganti? Kemana wajah Islam yang ramah dan toleran dulu? Secara jujur harus dikatakan bahwa mainstream Islam di Indonesia masih tetap Islam yang ramah dan toleran. Dua organisasi besar di Indonesia NU dan Muhammadiyah yang menjadi naungan mayoritas Muslim Indonesia adalah penyebar dari pemahaman Islam yang ramah dan toleran. Tetapi juga harus pula jujur diakui bahwa munculnya tendensi radikalisme di kalangan umat Islam Indonesia karena kedua organisasi tersebut telah jauh dari umatnya.

Kalau diamati, kemungkinan besar pengikut dari gerakan radikal Islam di Indonesia adalah bagian dari kedua organisasi tersebut, walaupun mungkin hanya sebatas hubungan kultural. Dengan demikian perlu adanya “penyegaran” dan juga “pengkayaan tradisi” dalam lembaga-lembaga pendidikan mereka. Sudah saatnya lembaga-lembaga pendidikan mereka itu dilengkapi dengan muatan agama, lokal (isu-isu budaya lokal) dan juga isu-isu global yang kontemporer dengan menyajikan bahan bacaan yang lebih variatif kepada anak didiknya.

Di samping itu, perlu adanya pengalaman riil untuk berhubungan dengan masyarakat yang majemuk, sehingga mereka terbiasa melihat keragamaan. Kembalikan Islam Indonesiaku yang ramah dan toleran.


1 Kommentare:

Nadirsyah Hosen said...

Tolong beri tahu Boss Jamhari. Mbok ya kalau pakai kemeja, dasi dan jas itu pilih yang style dan warnanya "matching" gitu hehheh