Kajian Islam Indonesia di Cairo: Sebuah Refleksi
Hingga awal abad ke 20, mahasiswa-mahasiswa Indonesia yang belajar di Universitas Al-Azhar Cairo pun memiliki pengaruh signifikan terhadap perkembangan tradisi intelektual keagamaan di Tanah Air. Nama seperti Mahmud Yunus, yang turut menggagas terbitnya Jurnal Seruan Azhar pada tahun 1925, tidak asing lagi terdengar dan memiliki kontribusi sedemikian besar, khususnya terhadap perkembangan dunia pendidikan Islam Indonesia.
Kontribusi alumni Al-Azhar terhadap perkembangan dan wacana keilmuan Islam Indonesia pada masa lalu ini sedemikian besar, dan terwujud karena tetap terpeliharanya ikatan emosional intelektual antara mahasiswa-mahasiswanya yang belajar di Al-Azhar dengan tradisi dan wacana keilmuan yang berkembang di Indonesia sendiri.
Slogan yang dikumandangkan Mahmud Yunus dalam Seruan Azhar bulan Oktober 1927 kiranya menggambarkan persepsi dan sikap mahasiswa-mahasiswa Indonesia di Universitas Al-Azhar saat itu. Slogan tersebut menegaskan bahwa Jurnal Seruan Azhar dimaksudkan: ”... for our homeland because we recognize Indonesia and the Peninsula as one community, one people, with one adat, one way of life, and what is more, virtually one religion...“ (Roff 1970).
Sayangnya, sejak era Mahmud Yunus, Djanan Thaib, Muchtar Lutfi, Iljas Ja’kub, Raden Fathurrahman Kafrawi, Muhammad Idris Marbawi, Abdul Wahab Abdullah, dan aktivis-aktivis lainnya pada paruh pertama abad 20 tersebut, tidak terdengar lagi alumni-alumni Universitas Al-Azhar Cairo yang memberikan pengaruh cukup signifikan terhadap perkembangan tradisi dan wacana sosial-intelektual keagamaan di Indonesia.
Salah satu faktor tidak terciptanya hubungan emosional intelektual yang kuat antara alumni-alumni Al-Azhar Cairo periode belakangan, dengan tradisi keilmuan di Indonesia adalah karena saat ini, dengan alasan tidak ada profesor "Indonesian Islam" yang bisa membimbing, di kalangan mahasiswa Indonesia di Cairo tidak tercipta iklim kajian Islam yang secara langsung terhubungkan dengan wacana keislaman Indonesia, padahal sumber-sumber primer yang berkaitan dengan sejarah Islam Indonesia sendiri cukup banyak dijumpai, termasuk di Perpustakaan Darul Kutub dan Perpustakaan Universitas Al-Azhar, Cairo, yang untuk konteks dunia Arab memang menjadi pusat penyimpanan khazanah keislaman klasik, termasuk khazanah keislaman Nusantara.
Di antara bentuk sumber primer tentang kajian Islam Indonesia yang dapat dijumpai di dua perpustakaan di Cairo adalah naskah-naskah kuno (manuscript) keagamaan yang ditulis khususnya oleh ulama-ulama Melayu-Nusantara sejak abad ke 17, yang belajar, berguru, dan kemudian beberapa di antaranya mengajar, di Mekkah dan Madinah (Haramayn), baik memiliki, atau tidak memiliki, hubungan keilmuan langsung dengan Cairo.
Sayangnya, belum ada upaya sistematis untuk menginventarisasi naskah-naskah Nusantara keagamaan yang berada di dua perpustakaan tersebut, padahal jika semua naskahnya sudah terinventarisasi, maka penelitian-penelitian atasnya juga akan semakin mudah dilakukan.
Telaah awal dan acak yang saya lakukan atas koleksi naskah keagamaan di Perpustakaan Dar al-Kutub dan Perpustakaan Al-Azhar beberapa waktu lalu menunjukkan bahwa dua perpustakaan ini menyimpan potensi khazanah naskah keagamaan yang "bernuansa Nusantara". Tentu ini juga tergantung dari batasan yang dibuat, apa yang dimaksud dengan naskah Nusantara.
Langkah-langkah praktis perlu segera dilakukan untuk menghidupkan kembali minat kajian Islam Indonesia di kalangan mahasiswa-mahasiswa Indonesia di Cairo tersebut, dan inventarisasi sumber-sumber yang berkaitan dengan dunia Melayu-Indonesia di perpustakaan-perpustakaan di Cairo adalah hanya salah satu upaya saja di antaranya.
Print This Page
1 Kommentare:
Artikel-arikelnya sangat menarik dan actual, saya tunggu artikel Islam berikutnya ya ?
Terima kasih.
Post a Comment