Aceh, Banten, dan Mindanao 2 (plus Cirebon)
![]() |
a page of manuscript in SMS collection |
Saya pernah menulis artikel tentang informasi awal jaringan keilmuan Islam antara Aceh, Banten, dan Mindanao (Republika, 8 Maret 2012). Tulisan itu saya sarikan setelah membaca sepintas beberapa manuskrip koleksi Sheik Muhammad Said bin Imam sa Bayang di Marawi City, Mindanao.
Ketika ngaji lebih rinci halaman per halaman keseluruhan 43 manuskrip yang menjadi inspirasi utama tulisan itu, ternyata lebih gamblang lagi betapa kokohnya jalinan Muslim Maranao dengan kedua wilayah di Indonesia masa lalu itu, dan ditambah Cirebon.
Tulisan ini saya anggap saja refleksi tentang Aceh, Banten, dan Mindanao (plus Cirebon) jilid dua, meski kali ini tidak akan ada ulasan terkait Aceh, tapi ingin bercerita lebih jauh betapa ilmu yang dipelajari dari Banten oleh Muslim Maranao ternyata tidak sebatas tasawuf dan tarekat ajaran Syekh Abdul Qohar atau Syekh Abdul Syakur, melainkan juga ilmu kebal dan debusnya.
Tentang ilmu yang terkenal di Banten itu, naskah Maranao menyebutnya “ilmu tabaruk”, termasuk ajian Braja Lima dan Braja Sembilan, lengkap dengan rajah-rajah, isim, serta petunjuk “…puasa tujuh isnain dan tujuh khamis dan mandi tiga purnama…”.
Dengan gamblang pula naskah Maranao menjelaskan bahwa “ilmu tabaruk” ini berasal dari “…kyai masih orang Banten di Karang Tanjung nama kampungnya maka mengajar ia kepada Tuan Haji Basaruddin orang Malimdanaw…”.
Entah siapa Kyai Banten yang dimaksud, yang jelas di Kampung Karang Tanjung Pandeglang memang banyak kyai jawara semisal Syekh Abdul Jabbar, yang sampai kini makamnya dikeramatkan. Mungkin karena saat itu Muslim Maranao berada dalam situasi perang sabil melawan kafir Spanyol dan Amerika, mereka merasa perlu belajar ilmu-ilmu kanuragan itu dari Banten, yang saat itu juga berada dalam tekanan Kolonial Belanda.
Saking populernya ilmu kanuragan dan ilmu hikmah di kalangan Muslim Maranao abad 18-19, sebelas prosen dari keseluruhan naskah koleksi Sheik Muhammad Said ini berisi doa-doa, ajimat, wafak dan sejenisnya, padahal naskah tasawuf saja hanya sepuluh prosen, sementara fikih sembilan prosen, dan Tauhid tujuh prosen.
Cerita-cerita dan informasi dalam naskah kuno koleksi Sheik Muhammad Said di Marawi City ini sudah sepatutnya dijadikan sebagai petunjuk awal mengorek lebih jauh sejarah hubungan Muslim Maranao dan Banten.
Saya membayangkan bahwa dulu ada “santri’ Maranao yang ngaji sorogan ke Kyai Banten. Di salah satu halaman naskah fikih berjudul al-Mustahal misalnya, saya menjumpai coretan-coretan pinggir menggunakan tinta Cina dengan posisi miring ke berbagai posisi khas santri pesantren. Salah satu coretan tersebut diakhiri kalimat “…min [dari] Syekh Abdul Jalal rahmatullah ‘alayhi, Qadi Banten…”.
Teman saya, Tubagus Aceh Hasan Syadzily yang tulen mewarisi trah kyai Banten mengakui bahwa ia belum pernah mendengar nama sang Kyai itu, tapi menilik embel-embelnya sebagai Qadi Banten, pasti ia seorang berpengaruh dan berilmu fikih tinggi masa itu.
Bagaimana dengan Cirebon? Saya memang belum menjumpai bukti meyakinkan terjalinnya hubungan keilmuan langsung dengan Muslim Maranao di Mindanao. Tapi, teks silsilah Syatariyah Syekh Abdul Qohar berbahasa Jawa koleksi Elang Panji di Cirebon, ternyata sangat mirip dengan teks silsilah Syekh Abdul Qohar versi Melayu yang dijumpai dalam koleksi Sheik Muhammad Said.
Silsilah Syekh Abdul Qohar di Cirebon ini tergolong unik karena jalurnya tidak melalui Abdurrauf Singkel atau Ibrahim al-Kurani, melainkan Syekh Salih Khatib, yang berguru langsung ke al-Qusyasyi di Madinah. Dalam keunikan inilah Cirebon dan Maranao ketemu.
Itulah sebagian kecil penggalan sejarah peradaban saudara-saudara Muslim Maranao yang terkait dengan kita, dan terekam dalam naskah-naskah koleksi Sheik Muhammad Said bin Imam sa Bayang. Profesor KAWASHIMA Midori dan saya tengah menyiapkan publikasi lengkapnya akhir tahun ini.
Yang jelas, naskah-naskah kuno Nusantara seperti contoh di atas seringkali menyimpan sejarah peradaban masyarakatnya yang belum banyak kita ketahui, termasuk peradaban Melayu Islam Indonesia.
Saya sering miris karena sebagian ahli waris naskah malah lebih suka menjajakan dan menjual ketimbang ngaji isinya, termasuk yang pernah ditawarkan oleh seorang pengirim dari Banten ke inbox email saya, meski saya sarankan untuk merawat dan mengajinya saja.
0 Kommentare:
Post a Comment