Koleksi Manuskrip Yayasan Ali Hasjmy, Banda Aceh: Beberapa Catatan Mutakhir
Salah satu lembaga penyimpan dokumen-dokumen penting bersejarah yang selamat dari hantaman tsunami pada 26 Desember 2004 lalu di Aceh adalah Yayasan Pendidikan dan Museum Ali Hasjmy (selanjutnya, YPAH). Hanya gempa sebelumnya yang merubuhkan rak-rak lemari penyimpan buku, sehingga sejumlah koleksi buku berjatuhan dan kemudian terendam air yang masuk setinggi sekitar 10 cm.
YPAH juga menyimpan koleksi khusus naskah-naskah kuno yang mulai dihimpun pada 1992 oleh Ali Hasjmy, salah seorang budayawan, ulama, dan politisi terkemuka Aceh yang wafat pada tahun 1998. Naskah-naskah tersebut umumnya diperoleh dari masyarakat Aceh sendiri, tentunya atas dasar kepercayaan kepada tokoh yang mereka hormati, Ali Hasjmy. Berdasarkan angka tahun yang dibuat oleh pihak perpustakaan, naskah-naskah koleksi YPAH ini diperoleh antara tahun 1992 hingga 1995.
Semenjak Ali Hasjmy wafat, tidak pernah ada lagi masyarakat yang menghibahkan naskah-naskah miliknya kepada Yayasan, dan sayangnya, tidak ada ahli waris Ali Hasjmy yang benar-benar menggeluti bidang sastra dan budaya yang telah membersarkan nama Ali Hasjmy tersebut, meskipun para pengurus Yayasan yang juga adalah anak cucu Ali Hasjmy sendiri tetap memiliki kepedulian untuk menjaga berbagai warisan berharga tersebut.
Informasi Terbaru Koleksi Naskah Ali Hasjmy
Meski perpustakaan Yayasan dan Pendidikan Ali Hasjmy relatif dikenal karena ketokohan Ali Hasjmy sendiri, namun sejauh menyangkut koleksi manuskripnya, tidak banyak masyarakat luas yang mengetahui secara terperinci, baik mengenai jumlah jumlah, kategori, maupun sifat koleksinya.
Publikasi paling mutakhir berkaitan dengan koleksi ini adalah yang ditulis oleh Chambert-Loir & Fathurahman (1999). Dengan merujuk pada informasi dalam tulisan dua sarjana lain, yakni Wan Ali Hj. Wan Mamat (1993) dan Roger Tol (1994), jumlah askah dalam koleksi ini tidak lebih dari 40 naskah saja, yang terdiri dari naskah berbahasa Arab, Melayu, dan Aceh.
Pada Agustus 2005, delapan bulan setelah tsunami terjadi, sebuah Tim dibentuk untuk melakukan inventarisasi, katalogisasi, dan kemudian digitalisasi manuskrip koleksi YPAH ini. Tim tersebut merupakan kerja sama Masyarakat Pernaskahan Nusantara (Manassa), Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, PKPM Banda Aceh, dan Centre for Documentation and Area-Transcultural Studies (C-DATS) Tokyo University of Foreign Studies (TUFS) di bawah koordinasi saya sendiri.
Dalam kegiatan tersebut, semua naskah koleksi YPAH dibaca satu persatu, dicatat, serta dikelompokkan ulang berdasarkan kandungan isinya. Katalog naskah YPAH ini telah diterbitkan pada Januari 2007 lalu oleh Tokyo University of Foreign Studies.
Hasil inventarisasi oleh Tim ini ternyata jauh berbeda dengan pencatatan yang dilakukan oleh Chambert-Loir & Fathurahman pada tahun 1999 tersebut. Jumlah keseluruhan naskah koleksi YPAH adalah sebanyak 232 buah, dengan 314 teks di dalamnya.
Dari segi kuantitas, jumlah teks kategori fikih dalam koleksi ini menempati urutan teratas, yakni sebanyak 75 teks (24%), kemudian berturut-turut 50 buah teks tatabahasa (16%), 46 buah teks tasawwuf (15%), 41 buah teks tauhid (13%), 28 buah teks lain-lain (9%), 23 buah teks al-Quran (7%), 22 buah teks zikir dan doa (7%), 15 buah teks hikayat (56%), serta masing-masing 7 buah teks tafsir dan hadis (2%).
Meskipun komposisi naskah koleksi YPAH ini tidak dapat dianggap mewakili naskah-naskah di Aceh secara keseluruhan, akan tetapi saya kira komposisi tersebut memberikan gambaran tentang karakter umum naskah-naskah Aceh yang sangat bersifat keagamaan.
Dalam kontek tradisi dan wacana intelektual Islam Indonesia, Aceh memang memiliki kedudukan yang sangat penting. Wilayah ini pernah tampil sebagai pusat perkembangan dan peradaban Islam yang memiliki pengaruh terhadap perkembangan peradaban Islam di wilayah-wilayah lain, khususnya yang kini menjadi negara-bangsa Indonesia dan Malaysia. Pada abad ke-17 khususnya, Aceh berkembang menjadi pusat kekuatan Islam Nusantara, baik secara politik maupun intelektual-keagamaan. Karena itu, tidak mengherankan jika Muslim di wilayah ini dikenal memiliki hasrat yang tinggi untuk merumuskan keberadaan mereka dalam terma-terma Islam. Dalam konteks intelektual-keagamaan pun, Aceh mewariskan khazanah intelektual-keagamaan yang sangat kaya, dan salah satunya adalah naskah-naskah kuno (manuscripts), yang tersebar di hampir seluruh wilayah Aceh, baik tersimpan secara perorangan maupun lembaga.
Catatan dari Aspek Kodikologis
Dari segi fisik, naskah-naskah koleksi YPAH ini umumnya menggunakan kertas Eropa sebagai alas naskahnya, kecuali sejumlah kecil saja yang menggunakan kertas modern atau berbentuk foto kopi. Meski demikian, hanya sekitar seperempatnya yang memiliki cap kertas (watermark). Di antara cap kertas tersebut, jenis yang paling banyak dijumpai berturut-turut adalah Crescent, Man in the Moon, dan Pro Patria.
Berkaitan dengan cap kertas ini, ada satu naskah yang tergolong unik, yakni menggunakan cap kertas bertuliskan angka tahun “1839 C.T.” Jenis cap kertas yang secara eksplisit menyebutkan angka tahun pembuatannya seperti ini sangat jarang dijumpai di Nusantara, karena umumnya cap kertas hanya menampilkan gambar-gambar tertentu saja.
Seperti telah diisyaratkan, berkaitan dengan sejarah atau asal-usulnya, naskah-naskah koleksi YPAH ini hampir semuanya berasal dari hasil upaya dan kerja keras Ali Hasjmy dalam mengumpulkan naskah-naskah tersebut, termasuk dengan cara membelinya dari tangan masyarakat Aceh. Beberapa naskah secara eksplisit menyebutkan nama pemiliknya sebelum menjadi koleksi YPAH. Naskah hadis bernomor 101A/HD/4/YPAH/2005 dengan judul al-Jami al-Sahih li al-Tirmidhi misalnya, mengandung sebuah stempel berwarna biru bertuliskan nama “M. Yusuf UR, Usaha Leveransir Bahan2 Bangunan Gle Genteng Banda Aceh”.
Hal yang sama juga terdapat dalam naskah tasawuf bernomor 66/TS/13/YPAH/2005 dengan judul Sharh al-Mawahib al-Mustatar Silla ‘ala al-Tuhfa al-Mursala. Dalam naskah karangan Abdurrauf Ali al-Jawi ini terdapat stempel bertuliskan “Shaikh Marhaban ibn al-Shaikh Muhammad Hasan ibn al-Sab'a al-Hurani Ashi”, yang mengindikasikan bahwa naskah ini pernah menjadi miliknya sebelum masuk menjadi koleksi Yayasan Ali Hasjmy pada tahun 1992.
Dari segi tulisan, keseluruhan naskah koleksi YPAH ini ditulis dalam tiga bahasa, yakni Arab (45%, Melayu (45%), dan sisanya Aceh (10%). Penting dicatat bahwa pemilahan masing-masing teks ke dalam tiga bahasa tersebut seringkali tidak dapat dilakukan secara ketat, karena dalam naskah-naskah Melayu dan Aceh pun hampir selalu terdapat kalimat-kalimat dalam bahasa Arab.
Selain teks berbahasa Arab yang ditulis dalam aksara Arab, semua teks yang berbahasa Melayu dan Aceh ditulis dalam aksara Jawi, karena dalam tradisi tulis Nusantara, Aceh memang tidak memiliki aksara tersendiri. Baik teks Arab, Melayu, atau pun Aceh tersebut umumnya menggunakan jenis khat Arab yang lebih dekat dikategorikan sebagai khat naskhi atau farisi.
Pengantar atas Katalog ini oleh Prof. Dr. Edwin Wieringa dapat dibaca di sini.