Peneliti Muda Indonesia Paling Sedikit Menerima Beasiswa Riset dari The Alexander von Humboldt-Stiftung
Pada tahun 2002, tercatat hanya ada 3 peneliti asal Indonesia yang mengajukan aplikasi ke The AvH, tetapi hanya 1 orang yang diterima, kemudian setelah itu berturut-turut pada 2003 dan 2004, tidak ada seorang pun yang mengajukan aplikasi, dan pada 2005, saya tercatat sebagai satu-satunya peneliti Indonesia yang mendaftar serta menjadi salah seorang di antara 469 Research Fellow yang diterima dari jumlah keseluruhan 1277 yang mengajukan aplikasi, sedangkan pada 2006, ada 1 orang peneliti muda Indonesia yang mengajukan aplikasi, tetapi sayangnya tidak lolos seleksi.
Sungguh jumlah yang sangat sedikit! Bandingkan misalnya dengan Research Fellow dari negara-negara Asia lain semisal China yang pada tahun 2002 berjumlah 53 dari 176 pendaftar, pada 2003 naik menjadi 66 dari 186 pendaftar, pada 2004 naik lagi menjadi 75 dari 229 pendaftar, pada 2005 juga bertambah menjadi 88 dari 206, serta pada 2006 sebanyak 87 dari 205 orang yang mendaftarkan diri.
Selain China, negara-negara Asia lain yang para peneliti mudanya tercatat sebagai Research Fellow The AvH dalam jumlah besar adalah Jepang dan India. Jumlah Humboldtian dari masing-masing negara ini antara tahun 2002-2006 bahkan melebihi jumlah Humboldtian dari negara-negara lain dari benua Amerika, Australia, dan Eropa sendiri.
Hingga saat ini, total keseluruhan peneliti muda Indonesia yang pernah menjadi Research Fellow dari The AvH hanya berjumlah 24 orang, masing-masing 4 orang di bidang Humanities and Social Sciences, 17 orang di bidang Natural Sciences, dan 3 orang di bidang Engineering. Dalam hal jumlah keseluruhan ini, para peneliti Jepang berada pada jumlah tertinggi di antara negara-negara Asia, yaitu 1724 orang, menyusul India (998), dan China (875). Jumlah Research Fellow muda asal Jepang bahkan melampaui jumlah keseluruhan Research Fellow muda asal Jerman sendiri yang berjumlah 1564 orang.
The AvH memang tidak memberikan beasiswa studi, baik untuk jenjang Magister maupun Doktoral, melainkan memfokuskan pada pemberian beasiswa penelitian, baik bagi peneliti dari dalam maupun luar negeri, yang sudah menyelesaikan program PhDnya. Kedua Program andalan The AvH adalah Humboldt Research Fellowship, dan Humboldt Research Awards. Saya sendiri menerima beasiswa dalam kategori yang pertama. Jangan tanya saya soal besar nilai beasiswanya, karena semuanya bisa dilihat dalam website The AvH di sini.
Saya sering bertanya-tanya sendiri, kenapa jumlah PhD kita begitu sedikit yang memanfaatkan beasiswa ini? Apakah minat para peneliti kita lebih tertarik melakukan risetnya di benua lain seperti Amerika? Atau apakah karena adanya kesulitan faktor bahasa? Ya, semuanya serba mungkin.
Tapi berdasarkan pengalaman riset saya selama setahun ini, alasan-alasan seperti itu tidak terlalu mendasar. Apalagi untuk kajian tentang Indonesia, Jerman bertetangga dekat dengan Leiden, yang memiliki Perpustakaan Universitas dengan fasilitas bacaan terbesar di dunia. Faktor bahasa? The AvH juga memberikan fasilitas lain berupa kursus intensif bahasa Jerman selama 2 bulan di Goethe-Institut di Jerman, sebelum kegiatan riset dimulai, baik untuk penerima beasiswa sendiri maupun istri/suami yang mendampinginya. Saya sendiri beruntung mendapat kesempatan mempelajari bahasa dan budaya Jerman itu di Goethe-Institut Bonn.
Khusus berkaitan dengan penelitian atas manuskrip-manuskrip Nusantara, kita sangat beruntung karena salah seorang Indonesianist yang juga filolog, Edwin Wieringa, yang menjadi academic host saya saat ini, telah bertugas sebagai Professor di bidang Indonesian Philology and Islamic Studies di Malaiologischer Apparat am Orientalischen Seminar, Universität zu Köln, Jerman, sehingga bisa menjadi "jembatan" untuk mendapatkan beasiswa riset dari The AvH, yang memang mensyaratkan adanya seorang Profesor di Jerman sebagai academic host selama penelitian berlangsung.
Jadi, rasanya sayang sekali jika peluang beasiswa riset ini tidak dimanfaatkan secara maksimal oleh para peneliti muda kita. Apalagi Jerman memiliki kebijakan yang sangat mendukung untuk membawa serta keluarga, biar sekalian diajak jalan-jalan ke berbagai kota di Eropa yang sangat indah.
Tinggal di Jerman bukan hambatan untuk mengunjungi kota-kota di negara tetangga seperti Salzburg Austria, Paris, Luxemburg, Amsterdam, Italia, naik ke Puncak Pegunungan Alpen, dan kota-kota lain, selain di Jerman sendiri tentunya, karena visa Schengen menungkinkan kita untuk mengunjungi 15 negara tanpa kesulitan, serta dengan transportasi mewah tapi murah karena adanya sistem subsidi melalui sistem perekonomian yang diatur oleh Negara.
Lebih dari itu, The AvH memiliki motto: “Once an Humboldtian, always an Humboldtian”, sehingga setelah menyelesaikan Program risetnya pun, seorang Humboldtian memiliki peluang untuk memanfaatkan berbagai fasilitas finansial untuk mendukung pengembangan bidang keilmuan di lembaganya di negara masing-masing.
Sejak beberapa tahun belakangan ini, The AvH juga menambah quota khusus bagi para peneliti muda asal Negara-negara yang sangat dipengaruhi oleh Islam. Tentu Indonesia tercatat sebagai salah satu dari 50 negara yang mendapat prioritas tersebut. Jadi, tunggu apa lagi? Saya yakin Indonesia memiliki jumlah PhD usia muda yang potensial dalam berbagai bidangnya, serta memiliki publikasi berlevel internasional.
8 Kommentare:
wah, jadi pingin belajar ke Jerman neh....???!!tp mungkin gak yah??
saya kemaren dah ke darul kutub al-mishriyyah selepas ujian terakhir tgl 17, tapi masih ada hal yang harus saya lengkapi lagi....
rencananya, tgl 20, saya akan ke al-Azhar Library..
maaf atas keterlambatannya
Mawhib, bukankah semua hal di dunia ini bersifat mungkin? he he....Makasih banyak yah atas kerja kerasnya ke perpustakaan, semoga studinya sukses. Salam
Kang, ada yang bilang kalo kebanyakan peneliti kita hanya jago di proyek saja.. So, kang Oman sebaiknya jadi provokator, biar para peneliti Indonesia nggak dikenal sebagai jago kandang dan proyek aja.. :)
Mas Yainal, kalo gitu, anggaplah posting ini sebagai provokasi :), biar proyek juga jalan, tapi dunia riset juga berkembang.....Thanks yah udh mampir, kangen nih udh lama gak ketemu....
mas oman bisa minta tolong kasih referensi tentang manuscript-nya tarikat naqsyabandiyah? saya dengar isu-isu bahwa ada manuscript yang dibawa orang-orang jerman, benar enggak sih
Manuskrip tentang tarekat Naqshbandiyyah di Indonesia termasuk yang paling banyak. Bisa lihat di Katalog Tim Behrend (ed.) 1998, koleksi Perpustakaan Nasional Jakarta. Pd masa lalu, naskah-naskah Nusantara memang banyak yang dibawa ke Eropa, ada baiknya juga karena ternyata naskah-naskah itu kini terawat dengan baik di perpustakaan, dan boleh diakses oleh siapa saja. Bandingkan dengan naskah-naskah di Indonesia yang sering ditelantarkan, dan tidak bisa diwariskan kandungan isinya karena hanya dijadikan benda keramat.
kang Oman,
hatur nuhun tos ameng ka pun rorompok (blog). sae pisan atuh, akang tiasa janten postdoc di Jerman. muhun, satuju pisan, phd-phd ti Indonesia teh kedah wanter sareng sumanget milarian kasempatan naliti di institusi di luar nagri -- supados tiasa ningkatkeun kaahlian nya.
Sumuhun Teh Mer, abdi oge reueus ku Teteh anu kacida binangkitna di lembur deungeun, wilujeng nya pamugi seratanna enggal terbit.
Post a Comment