Please feel free to quote part of information provided here, with an acknowledgment to the source.

21.5.15

Sabda Raja: Antara Wahyu Leluhur dan Tradisi Leluhur


Versi ringkas artikel ini terbit di Koran Republika, Selasa 12 Mei 2015.
----------

Untuk pertama kalinya sejak naik tahta 7 Maret 1989 silam, pada Kamis (30/4) Sultan Hamengkubuwono X mengeluarkan Sabda Raja yang berisi lima butir titah: penggantian kata Buwono menjadi Bawono, penanggalan gelar Khalifatullah, penggantian kata Sedasa menjadi Sepuluh’ mengubah perjanjian pendiri Mataram Ki Ageng Giring dengan Ki Ageng Pemanahan, dan menyempurnakan keris Kanjeng Kyai Ageng Kopek dengan keris Kanjeng Kyai Ageng Joko Piturun.

Berdasar tradisi Kraton, sabda Raja tentu saja adalah sabda pandita ratu yang tiada lain harus dipatuhi, bukan untuk diperdebatkan. Apalagi, Sultan Hamengkub[a]wono X menegaskan bahwa Sabda Raja ini tak lain adalah ‘wahyu leluhur’ melalui dirinya. Akan tetapi, dari perspektif sejarah kesultanan di Nusantara, penanggalan gelar khalifatullah, khususnya, sejatinya bukan persoalan sederhana.

Khalifatullah: Warisan Ideologi dan Tradisi
Sebutan khalifatullah (wakil Tuhan) adalah ‘setali tiga uang’ dengan gelar zillullah fil alam atau zillullah fil ard yang berarti bayang-bayang Tuhan di bumi, dan melekat pada gelar para Sultan di kerajaan Melayu-Islam sejak abad ke-14 (Milner 1981: 52). Jadi, oleh rakyatnya, Sultan selalu diyakini sebagai wakil Tuhan di muka bumi yang patut dan wajib dipatuhi segala titahnya.


Sultan-sultan di Jawa tak terkecuali, karena gelar-gelar tersebut bukan semata ‘cindera mata’ simbolis dari otoritas tertinggi kekhalifahan semacam Turki Utsmani pada masanya, melainkan lebih dari itu mencerminkan ideologi ajaran Manunggaling Kawula Gusti  (menyatunya hamba dengan Tuhan), yang dalam doktrin mistis Islam dikenal sebagai wahdatul wujud (kesatuan wujud).

Inti doktrin itu mengajarkan bahwa secara spiritual manusia dapat naik merapat ke maqom Tuhannya (taraqqi), begitupun Tuhan dapat turun menjelma pada makhluk-Nya (tajalli). Oleh raja-raja kesultanan Islam di Nusantara, ajaran ini lalu diserap dan diterjemahkan sebagai keharusan rakyat patuh pada Rajanya, dan keniscayaan Raja menyatu dengan rakyatnya, atau bahasa populernya: merakyat!

Naskah-naskah kuno asal Kraton Yogyakarta sendiri menjadi bukti kuat bahwa pada abad ke-18 khususnya, doktrin Manunggaling Kawula Gusti  yang menjadi inti ajaran salah satu ordo sufi paling berpengaruh saat itu, yakni tarekat Syatariyah, telah menyatu dengan elit Kraton.

Naskah Jav. 69 koleksi the British Library misalnya, dengan gamblang menegaskan bahwa salah seorang murid Syatariyah dari lingkaran elit Kraton Yogyakarta adalah Kangjeng Ratu Kadospaten kang palenggah ing Negara Yogyakarta Adiningrat nagarane, lang ing Sokawati Kamajan Pawong sanake. Kangjeng Ratu yang dimaksud bukan sembarang elit Kraton, melainkan tiada lain adalah salah seorang perempuan terpenting di Jawa, yakni istri Permaisuri Pangeran Mangkubumi, Raja pertama Kesultanan Yogyakarta, dan ibu bagi Hamengkubuwana II.

Otoritas dan otentisitas naskah berbahasa Jawa Pegon ini pun tidak perlu diragukan karena ia adalah salah satu dari 75 naskah yang pada Juni 1812 dirampas oleh Raffles dari dalam Kraton Yogyakarta, dan kini tersimpan dengan baik dalam koleksi Colin Mackenzie di Perpustakaan yang terletak di London tersebut.

Naskah lain dalam koleksi sama (Jav. 83) juga menyebut sejumlah elit Kraton Yogyakarta yang terlibat aktif dalam jaringan sufi penganut ajaran Manunggaling Kawula Gusti, dan yang silsilahnya terhubungkan hingga ke Syekh Abdul Muhyi Pamijahan dan Syekh Abdurrauf Singkel Aceh, yakni Kanjeng Raden Ayu Kilen ingkang garwa Kanjeng Sinuhun Sultan Pakubuwana ‘Abdurrahman Sayyid Panatagama Senapati Alaga.

Meski bergelar Kanjeng Sinuhun Sultan Pakubuwana, suami Kanjeng Raden Ayu Kilen yang dimaksud adalah Sultan Hamengkubuwana II. Menurut M. C. Ricklefs (1974: 78-9), selain soal bahasa, tensi politik yang tinggi pasca pembagian kekuasaan Mataram menjadi Yogyakarta dan Surakarta saat itu menyebabkan Raja Yogyakarta sering menggunakan gelar Raja Surakarta ketimbang gelarnya sendiri sebagai Senapati Ing Ngalaga Ngabdurakhman Sayidin Panatagama Kalipatulah.

Masih dalam naskah Jav. 83, diketahui bahwa mursyid Kanjeng Raden Ayu Kilen adalah Kanjeng Pangeran Pakuningrat ing Ngayogyakarta Adiningrat, seorang Pangeran elit Kraton Yogyakarta dari jalur silsilah Mataram lama.

Dengan begitu, tentu bukan tanpa alasan jika sejak awal para leluhur elit Kraton Yogyakarta mengadopsi doktrin yang bersumber dari mistisisme Islam itu, serta melekatkan ‘Khalifah’ pada  gelar kehormatan Rajanya. Bukan sekedar simbolik, ini ideologi, karena Raja butuh legitimasi atas kekuasaannya, dan Raja butuh pengakuan serta kesetiaan dari rakyatnya.

Khalifatullah atau Zillullah fil Alam untuk Sultan[ah]?
Menyusul Sabda pertama, pada Sabtu (2/5), Sultan mengeluarkan Dhawuh Raja berisi penggantian nama GKR Pembayun menjadi GKR Mangkubumi, yang memunculkan dugaan bahwa putri sulung Raja ini akan menjadi Putri Mahkota. Jika ya, patutkah gelar Khalifatullah untuk Raja perempuan?
Meski belum pernah terjadi dalam sejarah Kraton Yogyakarta, Raja perempuan adalah hal lumrah dalam sejarah dan tradisi kesultanan Islam Nusantara. Aceh adalah contoh terbaik terkait hal ini. Sejak 1641 hingga wafatnya pada 1675, putri Sultan Iskandar Muda, yakni Sultanah Safiatuddin, bertahta di Kesultanan Islam Aceh Darussalam dengan memangku gelar Paduka Sri Sultanah Ratu Safiatuddin Tajul-’Alam Syah Johan Berdaulat Zillullah fl-’Alam binti al-Marhum. Bahkan, tiga pengganti Sultanah berikutnya juga adalah perempuan.
Saat dipimpin oleh Sultanah Safiatuddin, Kesultanan Aceh Darussalam mencapai masa keemasannya, disokong oleh Syekh Abdurrauf Singkel, yang trah keulamaannya diwarisi oleh sultan-sultan dan elit di Jawa melalui tarekat Syatariyah.
Dalam konsep tasawuf yang diadopsi oleh kraton-kraton Islam Nusantara, manusia memang dipandang sama, laki-laki maupun perempuan, sama-sama citra Tuhan. Jika dapat mencapai derajat tertentu, keduanya dapat menjadi insan kamil (manusia sempurna), dan menjadi wakil Tuhan di muka bumi (khalifatullah atau zillullah fil alam).
Saya tentu tidak ingin masuk pada asumsi bahwa Sabda Raja ini terkait kemungkinan GKR Mangkubumi menjadi Putri Mahkota dan Sultan[ah] Kraton Yogyakarta berikutnya. Seperti yang disampaikan Sang Sultan sendiri, ‘wahyu’ yang turun baru sebatas mengganti nama putrinya itu, dan ia hanya sebatas juru bicara.
Yang jelas, pasca Sabda dan Dhawuh Raja, kini Kraton Yogyakarta menghadapi babak dan pilihan baru: antara mempertahankan tradisi leluhur atau mengikuti wahyu leluhur. Penyelesaian dengan penuh kebijaksanaan adalah hal yang perlu dikedepankan, agar tidak terulang sejarah Mataram lama yang penuh dengan intrik dan perseteruan. Kita hanya bisa berdoa yang terbaik untuk Yogyakarta, dan untuk kita semua, Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Print This Page

0 Kommentare: