Sabda Raja: Antara Wahyu Leluhur dan Tradisi Leluhur
----------
Untuk pertama kalinya
sejak naik tahta 7 Maret 1989 silam, pada Kamis (30/4) Sultan Hamengkubuwono X
mengeluarkan Sabda Raja yang berisi lima butir titah: penggantian kata Buwono menjadi Bawono, penanggalan gelar Khalifatullah,
penggantian kata Sedasa menjadi Sepuluh’ mengubah perjanjian pendiri
Mataram Ki Ageng Giring dengan Ki Ageng Pemanahan, dan menyempurnakan keris
Kanjeng Kyai Ageng Kopek dengan keris Kanjeng Kyai Ageng Joko Piturun.
Berdasar tradisi Kraton,
sabda Raja tentu saja adalah sabda
pandita ratu yang tiada lain harus dipatuhi, bukan untuk diperdebatkan.
Apalagi, Sultan Hamengkub[a]wono X menegaskan bahwa Sabda Raja ini tak lain
adalah ‘wahyu leluhur’ melalui dirinya. Akan tetapi, dari perspektif sejarah
kesultanan di Nusantara, penanggalan gelar khalifatullah,
khususnya, sejatinya bukan persoalan sederhana.
Khalifatullah: Warisan Ideologi dan Tradisi
Sebutan khalifatullah (wakil Tuhan) adalah
‘setali tiga uang’ dengan gelar zillullah
fil alam atau zillullah fil ard
yang berarti bayang-bayang Tuhan di bumi, dan melekat pada gelar para Sultan di
kerajaan Melayu-Islam sejak abad ke-14 (Milner 1981: 52). Jadi, oleh rakyatnya,
Sultan selalu diyakini sebagai wakil Tuhan di muka bumi yang patut dan wajib
dipatuhi segala titahnya.
Sultan-sultan di Jawa
tak terkecuali, karena gelar-gelar tersebut bukan semata ‘cindera mata’
simbolis dari otoritas tertinggi kekhalifahan semacam Turki Utsmani pada
masanya, melainkan lebih dari itu mencerminkan ideologi ajaran Manunggaling Kawula Gusti (menyatunya hamba dengan Tuhan), yang dalam
doktrin mistis Islam dikenal sebagai wahdatul
wujud (kesatuan wujud).
Inti doktrin itu
mengajarkan bahwa secara spiritual manusia dapat naik merapat ke maqom Tuhannya (taraqqi), begitupun Tuhan dapat turun menjelma pada makhluk-Nya (tajalli). Oleh raja-raja kesultanan
Islam di Nusantara, ajaran ini lalu diserap dan diterjemahkan sebagai keharusan
rakyat patuh pada Rajanya, dan keniscayaan Raja menyatu dengan rakyatnya, atau
bahasa populernya: merakyat!
Naskah-naskah kuno asal
Kraton Yogyakarta sendiri menjadi bukti kuat bahwa pada abad ke-18 khususnya,
doktrin Manunggaling Kawula Gusti yang menjadi inti ajaran salah satu ordo sufi
paling berpengaruh saat itu, yakni tarekat Syatariyah, telah menyatu dengan
elit Kraton.
Naskah Jav. 69 koleksi
the British Library misalnya, dengan gamblang menegaskan bahwa salah seorang
murid Syatariyah dari lingkaran elit Kraton Yogyakarta adalah Kangjeng Ratu Kadospaten kang palenggah ing Negara
Yogyakarta Adiningrat nagarane, lang ing Sokawati Kamajan Pawong sanake. Kangjeng Ratu yang
dimaksud bukan sembarang elit Kraton, melainkan tiada lain adalah salah seorang
perempuan terpenting di Jawa, yakni istri Permaisuri Pangeran Mangkubumi, Raja
pertama Kesultanan Yogyakarta, dan ibu bagi Hamengkubuwana II.
Otoritas dan otentisitas naskah berbahasa Jawa Pegon ini
pun tidak perlu diragukan karena ia adalah salah satu dari 75 naskah yang pada
Juni 1812 dirampas oleh Raffles dari dalam Kraton Yogyakarta, dan kini
tersimpan dengan baik dalam koleksi Colin Mackenzie di Perpustakaan yang
terletak di London tersebut.
Naskah lain dalam koleksi sama (Jav. 83) juga menyebut
sejumlah elit Kraton Yogyakarta yang terlibat aktif dalam jaringan sufi
penganut ajaran Manunggaling Kawula Gusti,
dan yang silsilahnya terhubungkan hingga ke Syekh Abdul Muhyi Pamijahan dan
Syekh Abdurrauf Singkel Aceh, yakni Kanjeng
Raden Ayu Kilen ingkang garwa Kanjeng Sinuhun Sultan Pakubuwana ‘Abdurrahman
Sayyid Panatagama Senapati Alaga.
Meski bergelar Kanjeng
Sinuhun Sultan Pakubuwana, suami
Kanjeng Raden Ayu Kilen yang dimaksud adalah Sultan Hamengkubuwana II. Menurut
M. C. Ricklefs (1974: 78-9), selain soal bahasa, tensi politik yang tinggi
pasca pembagian kekuasaan Mataram menjadi Yogyakarta dan Surakarta saat itu
menyebabkan Raja Yogyakarta sering menggunakan gelar Raja Surakarta ketimbang
gelarnya sendiri sebagai Senapati Ing
Ngalaga Ngabdurakhman Sayidin Panatagama Kalipatulah.
Masih dalam naskah Jav. 83, diketahui bahwa mursyid
Kanjeng Raden Ayu Kilen adalah Kanjeng
Pangeran Pakuningrat ing Ngayogyakarta Adiningrat, seorang Pangeran elit
Kraton Yogyakarta dari jalur silsilah Mataram lama.
Dengan begitu, tentu bukan tanpa alasan jika sejak awal
para leluhur elit Kraton Yogyakarta mengadopsi doktrin yang bersumber dari
mistisisme Islam itu, serta melekatkan ‘Khalifah’ pada gelar kehormatan Rajanya. Bukan sekedar simbolik,
ini ideologi, karena Raja butuh legitimasi atas kekuasaannya, dan Raja butuh
pengakuan serta kesetiaan dari rakyatnya.
Khalifatullah atau Zillullah fil
Alam untuk Sultan[ah]?
Menyusul Sabda pertama, pada Sabtu (2/5), Sultan
mengeluarkan Dhawuh Raja berisi penggantian nama GKR Pembayun menjadi GKR
Mangkubumi, yang memunculkan dugaan bahwa putri sulung Raja ini akan menjadi
Putri Mahkota. Jika ya, patutkah gelar Khalifatullah
untuk Raja perempuan?
Meski belum pernah terjadi dalam sejarah Kraton
Yogyakarta, Raja perempuan adalah hal lumrah dalam sejarah dan tradisi
kesultanan Islam Nusantara. Aceh adalah contoh terbaik terkait hal ini. Sejak
1641 hingga wafatnya pada 1675, putri Sultan Iskandar Muda, yakni Sultanah
Safiatuddin, bertahta di Kesultanan Islam Aceh Darussalam dengan memangku gelar
Paduka Sri Sultanah Ratu Safiatuddin
Tajul-’Alam Syah Johan Berdaulat Zillullah fl-’Alam binti al-Marhum.
Bahkan, tiga pengganti Sultanah berikutnya juga adalah perempuan.
Saat dipimpin oleh
Sultanah Safiatuddin, Kesultanan Aceh Darussalam mencapai masa keemasannya,
disokong oleh Syekh Abdurrauf Singkel, yang trah
keulamaannya diwarisi oleh sultan-sultan dan elit di Jawa melalui tarekat
Syatariyah.
Dalam konsep tasawuf yang diadopsi oleh kraton-kraton
Islam Nusantara, manusia memang dipandang sama, laki-laki maupun perempuan,
sama-sama citra Tuhan. Jika dapat mencapai derajat tertentu, keduanya dapat
menjadi insan kamil (manusia sempurna), dan menjadi wakil Tuhan di muka bumi (khalifatullah atau zillullah fil alam).
Saya tentu tidak ingin masuk pada asumsi bahwa Sabda Raja
ini terkait kemungkinan GKR Mangkubumi menjadi Putri Mahkota dan Sultan[ah]
Kraton Yogyakarta berikutnya. Seperti yang disampaikan Sang Sultan sendiri,
‘wahyu’ yang turun baru sebatas mengganti nama putrinya itu, dan ia hanya
sebatas juru bicara.
Yang jelas, pasca Sabda dan Dhawuh Raja, kini
Kraton Yogyakarta menghadapi babak dan pilihan baru: antara mempertahankan
tradisi leluhur atau mengikuti wahyu leluhur. Penyelesaian dengan penuh
kebijaksanaan adalah hal yang perlu dikedepankan, agar tidak terulang sejarah
Mataram lama yang penuh dengan intrik dan perseteruan. Kita hanya bisa berdoa
yang terbaik untuk Yogyakarta, dan untuk kita semua, Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
Print This Page
0 Kommentare:
Post a Comment