Please feel free to quote part of information provided here, with an acknowledgment to the source.

26.10.15

Museum Islam Betawi


Artikel terbit di Koran Republika, Sabtu 24 Oktober 2015.

==========
Menyisir katalog, dan kemudian menyimak halaman demi halaman beberapa manuskrip yang terkait dengan sejarah Islam di Batavia (kini Jakarta) di Perpustakaan Universitas Leiden, menggiring saya pada imajinasi tentang Islam Betawi masa lalu. Kertas kecil putih bertuliskan Legaat Prof. Dr. C. Snouck Hurgronje yang nempel pada halaman sampul sejumlah manuskrip yang kami baca menandakan peran penting Penasehat urusan-urusan keislaman bagi Pemerintah Kolonial Belanda pada masanya itu, dalam pengumpulan naskah-naskah di Indonesia.

Dalam tiga hari di akhir September, saya bersama K.H. A Shodri HM, Pimpinan Jakarta Islamic Center (JIC), Ahmad Juhandi, Haerullah, Abdul Razak Said dan teman-teman peneliti lain dari JIC menyambangi Perpustakaan yang menyimpan koleksi manuskrip Indonesia terbesar di dunia tersebut, untuk melakukan riset awal terkait rencana JIC mengembangkan Museum Islam Betawi. Selain Perpustakaan, Museum Volkenkunde, yang menata artefak-artefak budaya asal berbagai Negara termasuk Indonesia, juga menjadi tempat tujuan yang ternyata memberikan banyak inspirasi bagaimana mengelola dan memvisualisasikan potensi sejarah dan kebudayaan sebuah masyarakat.

Kurator manuskrip dan buku langka Asia Tenggara Perpustakaan Leiden, Doris Jedamski, menceritakan bahwa selain manuskrip, dalam special collections khususnya, juga tersimpan banyak arsip, foto-foto, dan dokumen lain terkait sejarah Islam Betawi. Doris memberikan komitmennya untuk bekerja sama memfasilitasi semua material yang dibutuhkan untuk Museum Islam Betawi.

Terkait sumber-sumber sejarah Islam Indonesia, termasuk sejarah dan budaya Islam Betawi, Leiden memang surga! Beberapa bulan lalu, Perpustakaan Leiden bahkan menggelar pameran figur beserta karya-karya seorang ulama Hadhrami kelahiran Pekojan, Sayyid Uthman (1822-1913). Materi Pameran yang diinisiasi oleh peneliti di Leiden Institute for Area Studies, Nico Kaptein, tersebut kini dapat dinikmati secara daring melalui situs Perpustakaan Universitas Leiden sendiri.

Nico, yang pada 2014 lalu menerbitkan buku Islam, Colonialism, and the Modern Age in the Netherlands East Indies; A Biography of Sayyid ‘Uthman (1822-1914), ini sejak tahun 1990an mengkaji dokumen-dokumen terkait Sayyid Uthman, ulama Arab-Betawi yang sangat berpengaruh, sekaligus kontroversial, pada masanya. Nico menunjukkan dengan sangat baik bagaimana ulama Betawi yang tumbuh di lingkungan keluarga Arab di Pekojan ini telah turut memberikan kontribusi terhadap perkembangan sejarah Islam Indonesia. Di antara sumber rujukan Nico adalah Suluh Zaman dan Qamar al-Zaman, dua manuskrip yang ditulis oleh kalangan internal keluarga Sayyid Uthman, dan kini tersimpan di Perpustakaan Leiden.

Ulama Betawi dalam Manuskrip
Selain dokumen-dokumen tentang Sayyid Uthman yang diakses oleh Nico, sejumlah manuskrip warisan Snouck Hurgronje di Leiden juga mengabadikan nama-nama tempat dan ulama setempat yang lebih awal, sekitar abad ke-19. Mereka pernah mengisi lembaran sejarah Islam di Betawi, khususnya yang terkait tarekat Syatariyah.

Naskah berbahasa Melayu beraksara Jawi dengan kode Or.7274 (Mal. c1909) misalnya, menyebut Anak Tung dan Baba Jainan, dua ulama Betawi di Kampung Pasar Senen Sungai Baru, yang silsilah intelektualnya terhubungkan kepada Kyai Santari Hurip dari Banten, serta ulama-ulama dari Karang Pamijahan Jawa Barat semisal Kyai Mas Alida Muhammad, Kyai Mas Nida Muhammad Muhyiddin, dan yang paling kesohor, Syekh Abdul Muhyi Pamijahan. Nama terakhir adalah murid utama Syekh Abdurrauf Singkel (w. 1693), seorang ulama moderat di istana Kesultanan Aceh sejak masa Sultanah Safiyatuddin.

Data ini melengkapi informasi dalam manuskrip lain koleksi the British Library, MSS.Jav.50, yang menyebut Baba Ibrahim dari Kampung Tinggi, atau Encik Salihin dan Khatib Sa’id yang asal-usulnya diidentifikasi sebagai Batawiyah negerinya, Mataraman [sekarang Matraman] kampungnya. Dua nama terakhir adalah murid dari seseorang yang disebut dalam manuskrip tersebut sebagai “…Tuan Haji Nur Ahmad Tegil negerinya, Kepatihan kampungnya…”, yang mungkin berarti dari Tegal Jawa Tengah. Jadi ulama Betawi ini mewarisi tradisi Melayu, Sunda, dan Jawa sekaligus karena ulama Tegal itu ujung-ujungnya juga belajar dari guru-guru tarekat di Pamijahan.

Bagi sarjana-sarjana Barat, manuskrip-manuskrip yang disalin sendiri oleh para sastrawan Betawi itu telah ditempatkan sesuai ‘maqamnya’ sebagai sumber penting sejarah Islam Betawi, seperti yang dilakukan Michael Laffan (2011: 36-37) ketika menulis buku the Makings of Indonesian Islam. Bahkan untuk membacanya di Perpustakaan Leiden pun, kami diwajibkan menggunakan bantal sebagai alas, agar lembaran-lembaran yang sudah rapuh itu tidak bertambah rusak.

Mempertimbangkan beberapa potensi di atas, maka pemikiran untuk menghadirkan Museum Islam Betawi di Kampung Si Pitung sendiri, patut didukung serius oleh semua pihak. Apalagi, artefak budaya Betawi yang terkait Islam sangat banyak, lebih dari sekedar manuskrip dan dokumen belaka.

Membangun Distingsi
Saat beberapa waktu lalu ngopi bersama Kurator manuskrip Asia dan Asia Tenggara the British Library, Annabel Teh Gallop, saya sampaikan rencana JIC membangun Museum Islam Betawi ini. Pertanyaan pertama yang diajukan Annabel adalah untuk siapa Museum itu ditujukan? Material apa yang membedakan Museum ini dari koleksi lain sehingga dapat menarik pengunjung?

Pertanyaan-pertanyaan Annabel seperti itu penting dijawab, tapi sekaligus juga tantangan berat untuk direalisasikan. Kita percaya bahwa orang yang datang ke Museum niscaya berharap melihat benda asli yang mampu membawa imajinasinya ke masa lampau, bukan sekedar duplikasi! Padahal, Museum Islam Jakarta ini, lokasinya bahkan tidak terletak di tempat yang terkait sejarah Islam Betawi sendiri.

Di sela-sela istirahat membaca manuskrip, dosen sastra dan budaya Indonesia di Universitas Leiden, Suryadi, menyarankan agar rencana membangun Museum Islam Betawi ini disiapkan secara serius. Penulis buku Syair Lampung Karam (2010), yang menceritakan dahsyatnya letusan Krakatau ini, pun siap memfasilitasi pengadaan material museum yang tersedia di Leiden.

Oman Fathurahman

Guru Besar Filologi Fakultas Adab dan Humaniora, Peneliti Senior Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Print This Page

1 Kommentare:

batara said...

infonya bermanfaat sekali pak, tapi sayang tulisannya terlalu kecil jadi sedikit kesulitan saya membacanya.