Museum Islam Betawi
==========
Menyisir katalog, dan kemudian menyimak halaman demi halaman
beberapa manuskrip yang terkait dengan sejarah Islam di Batavia (kini Jakarta) di
Perpustakaan Universitas Leiden, menggiring saya pada imajinasi tentang Islam Betawi
masa lalu. Kertas kecil putih bertuliskan Legaat Prof. Dr. C. Snouck Hurgronje yang nempel pada halaman sampul sejumlah manuskrip
yang kami baca menandakan peran penting Penasehat urusan-urusan keislaman bagi
Pemerintah Kolonial Belanda pada masanya itu, dalam pengumpulan naskah-naskah
di Indonesia.
Dalam tiga
hari di akhir September, saya bersama K.H. A Shodri HM, Pimpinan Jakarta Islamic
Center (JIC), Ahmad Juhandi, Haerullah, Abdul Razak Said dan teman-teman peneliti lain dari JIC menyambangi Perpustakaan yang menyimpan koleksi manuskrip Indonesia terbesar di
dunia tersebut, untuk melakukan riset awal terkait rencana JIC mengembangkan
Museum Islam Betawi. Selain Perpustakaan, Museum Volkenkunde, yang menata
artefak-artefak budaya asal berbagai Negara termasuk Indonesia, juga menjadi
tempat tujuan yang ternyata memberikan banyak inspirasi bagaimana mengelola dan
memvisualisasikan potensi sejarah dan kebudayaan sebuah masyarakat.
Terkait
sumber-sumber sejarah Islam Indonesia, termasuk sejarah dan budaya Islam
Betawi, Leiden memang surga! Beberapa bulan lalu, Perpustakaan Leiden bahkan
menggelar pameran figur beserta karya-karya seorang ulama Hadhrami kelahiran
Pekojan, Sayyid Uthman (1822-1913). Materi Pameran yang diinisiasi oleh
peneliti di Leiden Institute for Area Studies, Nico Kaptein, tersebut kini
dapat dinikmati secara daring melalui situs Perpustakaan Universitas Leiden
sendiri.
Nico, yang pada
2014 lalu menerbitkan buku Islam, Colonialism, and the Modern Age in the
Netherlands East Indies; A Biography of Sayyid ‘Uthman (1822-1914), ini sejak
tahun 1990an mengkaji dokumen-dokumen terkait Sayyid Uthman, ulama Arab-Betawi
yang sangat berpengaruh, sekaligus kontroversial, pada masanya. Nico
menunjukkan dengan sangat baik bagaimana ulama Betawi yang tumbuh di lingkungan
keluarga Arab di Pekojan ini telah turut memberikan kontribusi terhadap perkembangan
sejarah Islam Indonesia. Di antara sumber rujukan Nico adalah Suluh Zaman dan
Qamar al-Zaman, dua manuskrip yang ditulis oleh kalangan internal
keluarga Sayyid Uthman, dan kini tersimpan di Perpustakaan Leiden.
Ulama Betawi dalam Manuskrip
Selain
dokumen-dokumen tentang Sayyid Uthman yang diakses oleh Nico, sejumlah
manuskrip warisan Snouck Hurgronje di Leiden juga mengabadikan nama-nama tempat
dan ulama setempat yang lebih awal, sekitar abad ke-19. Mereka pernah mengisi
lembaran sejarah Islam di Betawi, khususnya yang terkait tarekat Syatariyah.
Naskah berbahasa
Melayu beraksara Jawi dengan kode Or.7274 (Mal. c1909) misalnya, menyebut Anak Tung dan Baba Jainan, dua ulama Betawi di
Kampung Pasar Senen Sungai Baru, yang silsilah intelektualnya terhubungkan kepada
Kyai Santari Hurip dari Banten, serta ulama-ulama dari Karang Pamijahan Jawa
Barat semisal Kyai Mas Alida Muhammad, Kyai Mas Nida Muhammad Muhyiddin, dan
yang paling kesohor, Syekh Abdul Muhyi Pamijahan. Nama terakhir adalah murid
utama Syekh Abdurrauf Singkel (w. 1693), seorang ulama moderat di istana
Kesultanan Aceh sejak masa Sultanah Safiyatuddin.
Data ini
melengkapi informasi dalam manuskrip lain koleksi the British Library, MSS.Jav.50,
yang menyebut Baba Ibrahim dari Kampung Tinggi, atau Encik Salihin dan Khatib
Sa’id yang asal-usulnya diidentifikasi sebagai Batawiyah negerinya,
Mataraman [sekarang Matraman] kampungnya. Dua nama
terakhir adalah murid dari seseorang yang
disebut dalam manuskrip tersebut sebagai “…Tuan Haji Nur Ahmad Tegil
negerinya, Kepatihan kampungnya…”, yang mungkin berarti dari Tegal Jawa
Tengah. Jadi ulama Betawi ini mewarisi tradisi Melayu, Sunda, dan Jawa
sekaligus karena ulama Tegal itu ujung-ujungnya juga belajar dari guru-guru
tarekat di Pamijahan.
Bagi
sarjana-sarjana Barat, manuskrip-manuskrip yang disalin sendiri oleh para
sastrawan Betawi itu telah ditempatkan sesuai ‘maqamnya’ sebagai sumber penting
sejarah Islam Betawi, seperti yang dilakukan Michael Laffan (2011: 36-37)
ketika menulis buku the Makings of Indonesian Islam. Bahkan untuk
membacanya di Perpustakaan Leiden pun, kami diwajibkan menggunakan bantal
sebagai alas, agar lembaran-lembaran yang sudah rapuh itu tidak bertambah
rusak.
Mempertimbangkan beberapa potensi
di atas, maka pemikiran untuk menghadirkan Museum Islam Betawi di Kampung Si
Pitung sendiri, patut didukung serius oleh semua pihak. Apalagi, artefak budaya
Betawi yang terkait Islam sangat banyak, lebih dari sekedar manuskrip dan
dokumen belaka.
Membangun Distingsi
Saat beberapa
waktu lalu ngopi bersama Kurator manuskrip Asia dan Asia Tenggara the
British Library, Annabel Teh Gallop, saya sampaikan rencana JIC membangun
Museum Islam Betawi ini. Pertanyaan pertama yang diajukan Annabel adalah untuk siapa
Museum itu ditujukan? Material apa yang membedakan Museum ini dari koleksi lain
sehingga dapat menarik pengunjung?
Pertanyaan-pertanyaan
Annabel seperti itu penting dijawab, tapi sekaligus juga tantangan berat untuk
direalisasikan. Kita percaya bahwa orang yang datang ke Museum niscaya berharap
melihat benda asli yang mampu membawa imajinasinya ke masa lampau, bukan
sekedar duplikasi! Padahal, Museum Islam Jakarta ini, lokasinya bahkan tidak
terletak di tempat yang terkait sejarah Islam Betawi sendiri.
Di sela-sela
istirahat membaca manuskrip, dosen sastra dan budaya Indonesia di Universitas
Leiden, Suryadi, menyarankan agar rencana membangun Museum Islam Betawi ini
disiapkan secara serius. Penulis buku Syair Lampung Karam (2010), yang
menceritakan dahsyatnya letusan Krakatau ini, pun siap memfasilitasi pengadaan
material museum yang tersedia di Leiden.
Oman Fathurahman
Guru Besar Filologi
Fakultas Adab dan Humaniora, Peneliti Senior Pusat Pengkajian Islam dan
Masyarakat (PPIM) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Print This Page
1 Kommentare:
infonya bermanfaat sekali pak, tapi sayang tulisannya terlalu kecil jadi sedikit kesulitan saya membacanya.
Post a Comment