Belajar dari Birmingham
![]() |
MS1572A of MIngana Collection |
Versi pendek tulisan ini terbit di harian nasional Republika, Selasa 28 Juli 2015
-----
Uji radiokarbon atas
dua lembar perkamen naskah M. 1572a yang berisi penggalan teks al-Quran koleksi
Perpustakaan the University of Birmingham, telah menghentak dunia akademik
Islam internasional atas kesimpulannya bahwa naskah berbahan kulit kambing
tersebut berasal dari antara tahun 568 hingga 645 M, tidak jauh dari masa hidup
Nabi Muhammad Saw (570-632 M).
‘Klaim’ usia naskah
al-Quran Birmingham itu memang sulit dibantah karena dihasilkan dari sebuah
langkah metodis saintifik yang tingkat akurasinya mencapai 95,4%. Ini berbeda
dengan klaim-klaim yang sering berseliweran di kalangan masyarakat umum tentang
kepemilikan sebuah naskah yang konon berusia ‘ratusan’ tahun, tanpa dilanjutkan
dengan riset akademik untuk menguji kebenarannya.
Riset adalah kata
kuncinya!
Berkat kajian manuskrip yang dilakukan oleh Alba Fedeli untuk
disertasinya, kini kota Birmingham menjadi buah bibir dunia, kredit akademik
juga diraih oleh kampus University of Birmingham karena hasil riset
mahasiswanya dikutip, dan akan terus dikutip, oleh dunia akademik
internasional, meski nanti mungkin ada peneliti lain yang ‘meruntuhkan’
tesisnya. Muslim warga Birmingham pun begitu sumringah, sampai-sampai Imam
besar Masjid Agung Birmingham, Muhammad Afzal, pun tak kuasa menahan air mata
kegembiraan dan harunya saat berkesempatan ‘menyapa’ langsung lembaran-lembaran
kulit kambing yang mungkin pernah disentuh oleh sahabat Nabi lebih dari 1.370
tahun lalu tersebut.
Temuan ini tentu saja menjadi
tantangan tersendiri bagi para sarjana pengkaji sejarah awal Islam, khususnya
mazhab revisionis, yang kerap meragukan temuan-temuan sumber-sumber tertulis
Muslim tradisional terkait sejarah Islam awal, termasuk di dalamnya sejarah
mushaf al-Quran (Mun'im Sirry 2015). Mungkin,
Alphonse Mingana (1878-1937) sendiri,
yang notabene berada di barisan revisionis, tidak menduga bahwa di antara
naskah-naskah yang dikumpulkannya itu terdapat fragmen al-Quran setua itu.
Memang, hasil riset itu
tentu masih menyimpan sejumlah pertanyaan karena tampaknya baru mengungkap
aspek kodikologis dari alas naskahnya. Kita, misalnya, belum menjumpai analisis
tekstologis dan paleografis terkait usia teksnya, atau uji karbon atas tintanya.
Kita masih bias bertanya, apakah tulisan pada masa awal sahabat itu memang
sudah sedemikian rapi? Bukankah sangat mungkin bahwa alas naskahnya berasal
dari zaman Nabi, tapi teksnya baru ditulis pada masa tabi’in atau tabi’ tabi’in?
Akan lebih mencengangkan jika dapat diketahui, siapa penulis fragmen al-Quran
tersebut?
Dalam konteks naskah
Nusantara, uji karbon untuk mengetahui usia sebuah naskah juga pernah dilakukan
oleh peneliti bahasa, sastra, dan budaya Batak asal Jerman, Uli Kozok, saat ia
meneliti naskah Undang-undang Tanjung Tanah berbahan daluwang asal Kerinci, Sumatera Selatan (Kozok 2004). Uji
radiokarbon di Wellington Selandia yang dilakukannya menunjukkan bahwa naskah
tersebut berasal dari masa kejayaan Adityawarman sebelum tahun 1377 M, dan
hingga kini dianggap sebagai naskah Melayu tertua zaman pra-Islam.
Sekali lagi, riset yang
baik adalah kata kunci untuk memberikan kontribusi bagi dunia keilmuan, dan
merekonstruksi puing-puing peradaban sebuah bangsa.
Temuan fragmen naskah
Quran tertua di Birmingham pun sesungguhnya ‘tidak baru’, dan bukan
satu-satunya yang diyakini berasal dari abad pertama Hijriah. Kurator the
British Library, Annabel Teh Gallop, menjelaskan bahwa ada puluhan fragmen
naskah al-Quran lainnya, dengan tulisan serupa dan bahan serupa, yang tersimpan
dalam berbagai perpustakaan di seluruh dunia, termasuk di the British Library,
di Bibliotheque national Paris, di Tubingen Jerman, dan di Sanaa Yemen.
Bahkan, dua folio
naskah al-Quran Birmingham itu pun diduga kuat bagian ‘tercecer’ dari 16 folio
naskah yang tersimpan di Paris dengan kode BnF Arabe 328(c) (Déroche 2009).
Naskah-naskah
Islam: Dari Timur ke Barat
Sejarah mencatat bahwa
Islam telah melahirkan dan mewariskan peradaban penting bagi umat manusia.
Salah satu bentuk warisan peradaban Islam itu adalah naskah-naskah tulisan
tangan (manuscripts). Selain
tersimpan di wilayah-wilayah asalnya di dunia Arab, banyak naskah dari dunia
Islam telah berpindah tangan ke dunia Barat.
Naskah-naskah dalam
Mingana Collection di University of Birmingham, tempat ditemukannya fragmen
al-Quran di atas, adalah salah satu contohnya. Lebih dari 3000 naskah dan
fragmen dalam koleksi ini adalah jasa seorang teolog, sejarawan, dan orientalis
Assria, Alphonse Mingana yang saya sebut di atas. Ia mengumpulkan naskah-naskah
tersebut dari Syria, Lebanon, Iraq, Mesir, Kurdistan, dan wilayah-wilayah Arab
lainnya sejak 1924 hingga 1929.
Mingana melakukan
ekspedisi ke Timur Tengah, dan kemudian mengakuisisi naskah-naskah tersebut,
atas sponsor dari Dr. Edward Cadbury (1873-1948), pemilik raksasa perusahaan
Coklat di Bournville, Birmingham. Tak heran, jika kini salah satu fragmen teks
al-Quran tertua yang menghebohkan dunia tersebut dijumpai di Kota yang dihuni
oleh lebih dari 21% warga Muslim di Inggris tersebut.
Mingana bukan sekedar
seorang kolektor naskah. Ia juga sekaligus bekerja menyusun katalog dari
naskah-naskah yang dikumpulkannya tersebut. Katalog pertama (1933) berisi
deskripsi 606 naskah berbahasa Syria, disusul kemudian dengan katalog
berikutnya (1936) yang berisi 120 naskah Arab serta 16 naskah Syria. Terakhir,
ia menulis katalog yang berisi deskripsi 152 naskah Arab dan 40 naskah Syria,
yang baru dapat terbit pada 1939, dua tahun setelah Mingana meninggal dunia.
Contoh lain adalah 488
naskah Arab, Persia, dan Turki koleksi Perpustakaan Universitas Leipzig di
Jerman, yang berasal dari Perpustakaan keluarga ‘Refaiya’ di Damaskus. Pada
tahun 1853, semua koleksi naskah ini diakuisisi oleh Universitas Leipzig
melalui seorang sarjana orientalis Jerman yang saat itu menjabat sebagai Konsul
di Damaskus, Syria, Dr. Johann Gottfried Wetzsein (1815-1905). Kini, semua
naskah tersebut terawat dengan baik, dan seluruh halamannya dapat diakses
secara online.
Naskah-naskah Islam
asal Nusantara tak ada bedanya. Faktor sejarah antara lain menjadi sebab
berpindahnya ribuan naskah Nusantara, sebagian besar tentang Islam, ke
perpustakaan-perpustakaan di Eropa, seperti Perpustakaan Universitas Leiden dan
the British Library. Syukurlah, profesionalisme perpustakaan-perpustakaan di
Eropa tersebut dalam hal preservasi naskah telah memberikan kontribusi
signifikan pada upaya pelestariannya hingga masih dapat diakses oleh khalayak
luas, termasuk oleh kita, ‘ahli warisnya’ sendiri.
Perpustakaan Leiden dan
the British Library kini bahkan sudah membuka pintu lebar-lebar bagi para
peneliti untuk mendokumentasikan sendiri naskah-naskah koleksi mereka untuk
keperluan riset, sehingga aksesnya menjadi sangat mudah. Bahkan the British
Library menginisiasi Endangered Archive Programme, sebuah proyek yang
mengonlinekan ribuan naskah digital, hasil kerjasama lembaga tersebut dengan para
peneliti dunia, termasuk filologis-filologis asal Indonesia.
Kembali ke fragmen
naskah al-Quran Birmngham, saya meyakini sepenuhnya bahwa temuan, yang disebut
oleh kurator naskah Arab di the British Library, Dr. Muhammad Isa Waley,
sebagai exciting discovery ini tidak
lahir secara tiba-tiba. Ia adalah buah dari tradisi riset yang baik di kampus,
infrastruktur yang paripurna, kapasitas peneliti yang mumpuni, dan political will yang berpihak dari
pemangku kebijakan.
Dari segi sumberdaya,
Indonesia adalah salah satu negara pemilik khazanah naskah terbesar di dunia,
dengan tidak kurang dari 20 kelompok bahasa dan ratusan aksara (Chambert-Loir and Fathurahman 1999). Selain koleksi
yang sudah tersimpan di Perpustakaan Nasional dan museum-museum di daerah,
ribuan naskah diyakini masih tersimpan sebagai properti pribadi yang dianggap
keramat di tangan masyarakat.
Masalahnya, kita belum
memiliki strategi kebudayaan yang jelas dan terukur untuk mengelola semua
sumber daya yang kita miliki itu, agar memberikan kontribusi yang signifikan
bagi kemajuan peradaban Indonesia sendiri. Semoga ‘pengalaman Birmingham’
memberikan pelajaran buat kita!
Unduh versi PDF artikel di sini.
2 Kommentare:
Menarik untuk kajian filologi, apakah sampean sudah menelitinya mas ?
Menarik sekali pak. Ada baiknya perguruan tinggi seperti uin syarif hidayatullah Jakarta membuka museum filologi tuk mahasiswa dan umum.
Post a Comment